Sabtu, 16 April 2016

Dr Zakir Naik, Siapa dan Bagaimana Ajarannya?


Dr Zakir Naik, Siapa dan Bagaimana Ajarannya. Foto: cover buku "Zakir Naik, A Brief Profile" dari IRF.
Dr Zakir Naik, Siapa dan Bagaimana Ajarannya. Foto: cover buku “Zakir Naik, A Brief Profile” dari IRF.
Dr. Zakir Abdul Karim Naik atau lebih dikenal dengan nama Zakir Naik lahir di India pada 18 Oktober 1965. Disebutkan dalam berbagai literatur, ia penah kuliah kedokteran di Mumbai, India. Para pengagumnya menyebut ia sebagai sosok “ulama” terlibat dalam dakwah Islam dan perbandingan agama. Bisa dikatakan Zakir Naik ini besar melalui Internet, seperti website dan video Youtube yang sengaja disebarluaskan di Indonesia.
Sebutan “ulama” yang disandang Zakir Naik tentu dipertanyakan. Karena darimana ia belajar ilmu agama Islam pun tidak jelas. Tidak pernah disebutkan siapa gurunya, sama seperti sosok Al Ustadz Ahmad Sukina, pemimpin Majelis Tafsir Alquran (MTA) di Solo. Tidak akan anda temukan darimana ia belajar agama meski dalam website resminya seperti IRF. Tidak diketahui darimana ia belajar agama. Yang ada, klaim Zakir Naik yang menyebut dirinyya sebagai murid Syaikh Ahmad Deedat.
Belum lagi bacaan Qurannya yang tidak beraturan. Siapa yang mengajarinya Al-Qur’an juga tidak jelas karena aksen Arab dan Qur’annya benar-benar sudah keluar dari makhraj, tidak bagus, dan tidak memenuhi kaidah ilmu Tajwid. Dimana dan dengan ulama siapa Zakir Naik belajar Tafsir, Hadits, Fiqih, Syariah, bahasa Arab, dan lain sebagainya juga tidak pernah diketahui. Tiba-tiba sosok ini muncul bak seorang ulama besar yang faham betul tentang Islam, memahami tafsir, memahami hadits, memahami syariat, dan lain sebagainya. (Download ebook PDF Dr Zakir Naik, A Brief Profile dari IRF.net)
Dalam pidatonya, Zakir Naik mengatakan bahwa dirinya adalah sarjana perbandingan agama, tapi faktanya ia seringkali mengeluarkan “fatwa” perihal masalah agama Islam yang bukan bidangnya. Ia pun tidak ragu-ragu menyalahkan ulama sekelas Imam Madzhab Fiqih dan Hadits. Dikatakan Zakir Naik bahwa para Imam Fiqih dan Hadits itu tidak memiliki informasi (ilmu) yang lengkap saat mereka (para Imam Fiqih dan Hadits) memberikan atau mengeluarkan hukum-hukum Islam. Bahkan Zakir Naik menyatakan bahwa menerima dan mengikuti para Imam tersebut sebagai guru dalam Islam dapat merusak Islam itu sendiri. Hal ini diungkapkan Zakir Naik saat ia diwawancarai seputar masalah Taqlid. Innalillahi, orang yang tidak jelas darimana belajarnya seperti Zakir Naik, begitu mudahnya menyalahkan ulama sekelas Imam Madzhab.
Dikatakan Zakir Naik terpengaruh oleh Syaikh Ahmad Deedat rahimahullah saat ia belajar ilmu kedokteran. Syaikh Ahmad Deedat sendiri adalah seorang ulama sufi ahlussunnah wal jamaah dari Afrika Selatan (1918-2005) yang konsen di bidang perbandingan agama. Dari sini menunjukan bahwa Zakir Naik mulai membaca dan mengkaji buku-buku agama Islam saat ia berusia sekitar 22 tahun atau saat kuliah di Kedokteran sekitar tahun 1987. Hebatnya, hanya dalam waktu 3 tahun (1987-1990) setelah membaca buku pelajaran agama Islam secara otodidak, dan ini termasuk aktivitasnya sebagai mahasiswa kedokteran dengan kegiatannya yang padat seperti mempelajari buku-buku kedokteran, ujian, kepaniteraan klinik, dll, ia telah mempelajari segala sesuatu tentang Islam dan mendirikan Islamic Research Foundation (IRF) pada Februari 1991 dan mulai berdakwah secara penuh. Sungguh aneh bin ajaib, cukup berbekal belajar buku pelajaran agama Islam dalam 3 tahun sambil kuliah kedokteran yang begitu sibuknya, tiba-tiba keluar sebagai “ulama”, bahkan menyalahkan para ulama Imam ahlussunnah wal jamaah.
Lebih aneh lagi, dalam pidatonya, Zakir Naik mengatakan dirinya telah mulai berdakwah sebelum IRF didirikan. Hal ini menunjukan Zakir Naik mempunyai kemampuan luar biasa dalam menghafal. Membaca buku pelajaran Islam tidak untuk dipahami, tetapi hanya sekedar sebagai memori (dihafal). Semakin tajam memori seseorang maka umumnya semakin cerdas, layaknya sebuah kamus yang menyimpan banyak memori. Sama halnya dengan orang yang akan menghadapi ujian kenaikan kelas. Dan dengan sedikit polesan kemahiran berorasi maka jadilah tampak perdebatan yang menghebohkan. Alhasil banyak penonton yang terpukau.
Meski begitu Zakir Naik sering mengaku sebagai murid Syaikh Ahmad Deedat. Benarkah? Tentu saja ini tidak benar. Bagaimana mungkin seorang murid menyebut gurunya sendiri secara tak langsung sebagai orang yang syirik dan kafir. Lihatlah bagaimana Zakir Naik mengatakan memperingati Maulid Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam adalah perbuatan syirik dan ia menyamakan perbuatan tersebut dengan Festival Hindu dan Kristen (festival orang-orang kafir). Maulid Nabi dikatakan Haram, dan lain sebagainya. Na’udzubillah. Padahal Syaikh Ahmad Deedat yang ia klaim sebagai gurunya adalah pecinta maulid Nabi.
Syaikh Ahmad Deedat berkata,
“Ada jutaan muslim termasuk saya, dan saya tidak keberatan merayakan hari-hari yang baik seperti yang anda katakan (peringatan maulid nabi). Saya katakan itu OK. Dan saya tidak akan bersama anda, saya tidak setuju dengan anda, saya tidak ingin anda untuk mengubah (pendapat) saya”.
Kenapa? Karena Zakir Naik adalah penganut ajaran Salafi (Wahabi), yang begitu mudah menuduh syirik, bid’ah, kafir kepada umat Islam yang berbeda dengannya. Dalam Wikipedia berbahasa Inggris, Zakir Naik disebut sebagai dai Salafi (Wahabi) paling berpengaruh di India, bahkan dikatakan sebagai dai Salafi (Wahabi) paling terkemuka di dunia. Tidak hanya itu, dalam halaman Wikipedia dituliskan agama Zakir Naik adalah Salafi Islam, kemudian diganti menjadi Sunni Islam, dan sekarang menjadi Islam saja tanpa embel-embel. Meski dirinya hakikatnya seorang Salafi tapi tidak sedikit orang-orang Salafi yang menyebutkan Zakir Naik adalah sesat dan menyesatkan.
Sebagai penganut ajaran Salafi (meski dirinya menolak Salafi), Zakir Naik beraqidah mujassimah tidak diragukan lagi. Ia menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhlukNya yang merupakan bagian faham mujassimah. Dikatakan Zakir Naik bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki dua tangan, dua mata, wajah, kaki, tulang kering, dan memiliki tubuh yang besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala duduk di atas langit, di atas kursi yang besar menghadap ke ‘Arsy. Inilah aqidah di luar ahlussunnah wal jamaah yang banyak dianut kaum Salafi (Wahabi) yang membedakan dengan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja).
Baca juga:
Kemudian seeorang bertanya, “Bagaimana tangan dan tubuh Allah?”. Zakir naik menjawab, “Kami tidak tahu, yang tahu hanya Allah”. Dan kalau kita cermati pandangan aqidah mujassimah yang dianut Salafi ini serupa dengan pemikiran Tuhannya Hindu, Dewa Wisnu. Bedanya tuhannya Hindu itu menikah dan ada model patung dewa Wisnu. Banyak sekali pemahaman dan ajaran Salafi Wahabi yang dianut Zakir Naik yang tidak dapat disebutkan satu per satu di sini.
Selain menganut aqidah salafi mujassimah, Zakir Naik juga acapkali menyebarkan pemahaman dan pemikiran ajaran Ahmadiyyah. Dalam berbagai pidato dan tulisan-tulisannya, Zakir Naik mengklaim bahwa kemunculan Nabi Muhammad Shollalohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam telah disebutkan dalam kitab suci agama Hindu. Pemikiran Zakir Naik tersebut ternyata bersumber dari buku “Mohammad (صلى الله عليه و آله وسلم) in world scriptures” karya Abdul Haq Vidyarthi Qadiyani (1888-1977), seorang penyebaar dan penganut ajaran Ahmadiyyah Lahore India. Bahkan tulisan-tulisan Zakir Naik ini hampir sama persis dan banyak kemiripan dengan tulisan yang ada dalam buku Qadiyani itu. Anehnya, Zakir Naik tidak pernah menyebutkan sumber kutipan tulisannya itu. (Download ebook Hubungan Zakir Naik dengan Ajaran Ahmadiyah Qadiyani)
Ketika ditanya apakah kitab Wedha dan kitab suci umat Hindu lainnya adalah wahyu Allah, Zakir Naik menjawab,
“Tidak ada teks dalam Al Quran dan Hadits shahih yang menyebutkan nama bahwa wahyu itu dikirim ke India. Karena nama-nama Weda atau Hindu lainnya tidak ditemukan dalam Quran dan Hadits shahih, maka seseorang tidak bisa mengatakan dengan pasti bahwa kitab-kitab tersebut berasal dari wahyu Allah. Kitab-kitab tersebut mungkin saja wahyu dari Allah atau mungkin bukan wahyu dari Allah”.
Dari jawaban di atas, Zakir Naik sebenarnya ingin mengatakan bahwa ia percaya kitab suci agama Hindu adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (sama halnya dengan Alkitab Injil yang telah berubah), meskipun ia sendiri tidak ingin menyatakannya secara terbuka. Hal ini dipertegas dengan jawaban Zakir Naik yang tidak berani mengatakan kitab suci umat Hindu adalah bukan firman Allah Ta’ala, tetapi justru ia menjawab dengan plin-plan dengan mengatakan “mungkin wahyu Allah atau mungkin bukan”. Ini tidak lain karena ia terpengaruh pemikiran ajaran Ahmadiyyah Lahore dari Qadiyani.
Dan anehnya banyak orang-orang Islam yang sudah terpengaruh dengan pemikiran Ahmadiyyah yang dibawa oleh Zakir Naik ini, baik disadari maupun tidak disadari. Meskipun Zakir Naik sendiri tidak pernah berani mengatakan di depan publik bahwa itu hasil pemikiran Ahmadiyah (Qadiyani). Tapi fakta menunjukan pidato dan tulisannya mengambil dari tulisan Ahmadiyah.
Fakta-fakta di atas tentu sangat berbahaya, tetapi ada yang lebih berbahaya lagi ketika Zakir Naik sudah mempermainkan ayat Al Quran dan Hadits. Ayat Al Quran dan Hadits sering disalah tafsirkan. Menafsirkan Quran tanpa ilmu dan asal-asalan. Ini tentu sangat berbahaya.
Salah satu contohnya adalah bagaimana Zakir Naik menyamakan arti kata bahasa Arab dari Syifa dan Syafa’ah dalam Al Qur’an. Dua kata yang artinya berbeda tetapi dianggap sama oleh Zakir Naik. Ini kesalahan fatal. Akibatnya ia pun tergelincir dalam memahami Quran, tidak sesuai dengan pemahaman para ulama tafsir. Ini adalah bentuk kebohongan nyata yang disengaja oleh Zakir Naik dalam menipu umat Islam khususnya mereka yang awam. Sebuah fitnah keji yang mengatasnamakan Qur’an. Para ulama sudah memperingatkan Zakir Naik tetapi pemikirannya ini tetap ia sebarkan.
Masih banyak penyimpangan-penyimpangan Zakir Naik lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Yang jelas dan perlu ditekankan disini adalah kita harus berhati-hati dengan Zakir Naik. Banyak ulama-ulama lain yang mestinya kita ikuti, yang jelas sanad ilmunya, jelas siapa gurunya, jelas keilmuannya, yang bersamabung dengan Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, yang akan membawa kepada keselamatan di dunia dan akhirat.
Dikutip dan dialihbahasakan dari Correct Islamic Faith (Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah Ash-Shohihah) International Association pimpinan Syaikh Al-Habib Mir Asadullah Qadiri, Hyderabad, India.

Pemikiran dan Aqidah yang Dianutnya


ZAKIR NAIK BOLEHKAN UMAT ISLAM MENYEBUT ALLAH DENGAN PANGGILAN NAMA DEWA HINDU
Sang orator ulung Zakir Naik dalam tulisannya berjudul “Concept of God in Hinduism” menyatakan bahwa umat Islam diperbolehkan mengganti nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama dewa umat Hindu seperti Wisnu atau Brahma. Tulisan Zakir Naik tersebut masih dapat anda temukan salah satunya dalam halaman resmi website Islamic Research Foundation (IRF) miliknya atau dalam bukunya yang berjudul “Islam and Universal Brotherhood” hal. 33.
Berikut salah satu kutipannya yang diambil dari website irf.net miliknya:
…Among the various attributes of God, one of the beautiful attributes mentioned in the Rigveda Book II hymn 1 verse 3, is Brahma. Brahma means ‘The Creator’. Translated into Arabic it means Khaaliq. Muslims can have no objection if Almighty God is referred to as Khaaliq or ‘Creator’ or Brahma. However if it is said that Brahma is Almighty God who has four heads with each head having a crown, Muslims take strong exception to it….
…Another beautiful attribute of God mentioned in the Rigveda Book II hymn 1 verse 3 is Vishnu. Vishnu means ‘The Sustainer’. Translated into Arabic it means Rabb. Again, Muslims can have no objection if Almighty God is referred to as Rabb or ‘Sustainer’ or Vishnu. But the popular image of 9[Atharveda Samhita vol 2 William Dwight Whitney page 910], Vishnu among Hindus, is that of a God who has four arms, with one of the right arms holding the Chakra, i.e. a discus and one of the left arms holding a ‘conch shell’, or riding a bird or reclining on a snake couch. Muslims can never accept any image of God….
(Lihat: Concept of God in Hinduism by Dr. Zakir Naik in irf.net)
Yang artinya kurang lebihnya addalah:
…Diantara berbagai nama Allah, salah satu nama yang indah yang disebutkan dalam kitab Rgveda Buku II himne 1 ayat 3 adalah Brahma. Brahma berarti “Pencipta”. Dalam bahasa Arab disebut Khaliq. Umat Islam tidak keberatan (diperbolehkan) kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala dipanggil dengan Khaliq atau Pencipta atau Brahma. Namun, jika dikatakan Brahma adalah Tuhan Yang Maha Kuasa yang memiliki empat kepala dengan masing-masing kepala memiliki mahkota, umat Islam sangat tidak setuju…
…Nama lain yang indah dari Allah yang disebutkan dalam kitab Rgveda Buku II himne 1 ayat 3 adalah Wisnu. Wisnu artinya “Pemelihara (alam semesta)”. Dalam bahasa Arab disebut Rabb. Sekali lagi, umat Islam tidak keberatan (diperbolehakn) jika Allah Subhanahu wa Ta’ala dipanggil sebagai Rabb atau Pemelihara (alam semesta) atau Wisnu. Tetapi penggambaran terkenal dalam Atharveda Samhita vol Halaman 2 William Dwight Whitney 910, Vishnu adalah Tuhan yang mempunyai 4 tangan, tiap tangan memegang cakra, tangan kirinya memegang rumah kerang, menaiki seekor burung garuda sambil bersandar pada gulungan ular. Umat muslim tidak pernah menerima penggambaraan Allah…
Begitulah pandangan Zakir Naik yang mengatakan kalau umat Islam tidak keberatan mengganti nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan Brahma atau Wisnu. Coba kita kembalikan kepada umat Islam, maukah Anda  duhai Muslimin wal Muslimat memanggil “Ya Brahma”, “Ya Wisnu”? Dan maaf kalau ini terlalu vulgar, maukah Anda mengganti lafadz Bismillahirrahmanirrahim dengan “BismiBrahma” atau “BismiWisnu” Ar-Rahmani Ar-Rahim? Tentu saja tidak mau.
Oleh karena itulah para ulama dari Darul Ifta Darul Ulum Deobandi India mengeluarkan fatwa tegas menolak pemikiran Zakir Naik ini. Para ulama Darul Ulum melarang umat Islam memanggil nama Allah dengan kata-kata non-Arab tersebut sebagaimana diyakini Zakir Naik. Tidak boleh memanggil nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menggunakan nama-nama yang tidak khusus bagiNya. Bagaimana mungkin diperbolehkan untuk memanggil Allah dengan nama-nama seperti Wisnu dan Brahma yang mana itu adalah bagian tanda-tanda dari ajaran Hindu?
وَلِلّٰهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوْهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ – سورة الأعراف:١٨٠
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna (nama-nama yang agung yang sesuai dengan sifat-sifat Allah), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (Quran Surat Al-A’raf:180)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama yang indah, nama-nama yang agund dan bagus. Maka sebutlah dan panggilah Allah dengan nama-nama tersebut, Ya Rahman, Ya Rahim, Ya Malik, Ya Quddus, Ya Salam, dan lain sebagainya. Bukan menyebut Allah dengan nama seperti Ya Brahma, Ya Wisnu, yang identik dengan ajaran Hindu.

ZAKIR NAIK DAN HUBUNGANNYA DENGAN AJARAN AHMADIYAH QADIYANI


Dalam tulisannya yang berjudul “Prophet Muhammad (pbuh) in Hindu scripture” dan juga pidato-pidatonya, Zakir Naik mengklaim bahwa kemunculan Nabi Muhammad Shollalohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam telah disebutkan dalam kitab suci agama Hindu. Salah satu tulisannya dapat ditemukan dalam halaman website resmi IRF miliknya.
Melalui tulisannya tersebut, Zakir Naik sebenarnya ingin mengupas beberapa nubuwah akan kemunculan Nabi Muhammad yang menurutnya disebutkan dalam kitab Hindu. Zakir Naik mengemukakan berbagai nubuwat dalam empat sub judul, yaitu:
  • I. Muhammad (pbuh) prophesised in Bhavishya Purana,
  • II. Prophet Muhammad (pbuh) Prophesised in Atharvaveda,
  • III. Muhammad (pbuh) prophesised in the Rigveda,
  • IV. Muhummad (pbuh) is also prophesised in the Samveda.
Pada sub judul pertama dikatakan ada 3 nubuwah dari kitab Bhavishya Purana. Diantaranya nubuwah pertamanya sebagaiman dikutip dari Zakir Naik adalah,
According to Bhavishya Purana in the Prati Sarag Parv III Khand 3 Adhay 3 Shloka 5 to 8. “A malecha (belonging to a foreign country and speaking a foreign language) spiritual teacher will appear with his companions. His name will be Mohammad. Raja (Bhoj) after giving this Maha Dev Arab (of angelic disposition) a bath in the Panchgavya and the Ganga water (i.e. purifying him of all sins) offered him the present of his sincere devotion and showing him all reverence said, “I make obeisance to thee. O ye! The pride of mankind, the dweller in Arabia, Ye have collected a great force to kill the Devil and you yourself have been protected from the malecha opponents.”
Ada apa dengan nubuwah pertama Zakir Naik di atas? Ternyata tulisan yang dikatakan oleh Zakir Naik sebagai nubuwah pertama di atas adalah tulisan yang hampir sama persis dengan nubuwah pertama yang dikarang oleh Abdul Haq Vidyarthi Qadiyani (1888-1977) dalam bukunya yang berjudul “Mohammad in world scriptures”. Bedanya, Zakir Naik menuliskan ejaan malecha, sementara Abdul Haq Vidyarthi Qadiyani menuliskannya dengan ejaan malechha dan dengan sedikit tambahan kata-kata yang lain.
Pertanyaannya sekarang, siapa Abdul Haq Vidyarthi Qadiyani?
Abdul Haq Vidyarthi Qadiyani adalah seorang cendekiawan gerakan Ahmadiyah Lahore yang berpusat di Lahore, ibukota Provinsi Punjab, Pakistan. Gelar Vidyarthi diperolehnya karena kemahirannya dalam memahami kitab Hindu Veda, dan gelar Qadiyani adalah berasal dari kata Qadian, sebuah kota kecil di negara bagian Punjab, India, tempat kelahiran Mirza Ghulam Ahmad, pemimpin ajaran sempalan Ahmadiyah.
Pemikiran Zakir Naik dalam tulisannya “Prophet Muhammad (pbuh) in Hindu scripture” yang ia sebarluaskan di berbagai media ternyata adalah hasil pemikiran ajaran Ahmadiyah dari Abdul Haq Vidyarthi Qadiyani dalam bukunya berjudul “Mohammad in world scriptures” atau “Mithaq-un-nabiyyin” dalam versi bahasa Urdu.
Pemikiran tersebut tidak hanya ditemukan dalam kaitannya terkait dengan nubuwah pertama di atas. Tapi kemiripan lain juga ditemukan dari tulisan Zakir Naik selanjutnya. Diantaranya, Zakir Naik menuliskan,
“The Egyptian Monarchs were called as Pharaoh and the Roman Kings were known as Caesar, similarly the Indian Rajas were given the title of Bhoj”.
Sementara dalam bukunya Abdul Haq Vidyarthi Qadiyani ditulis,
“Just as the Egyptian monarchs were known as Pharaohs and the Roman kings were called Kaisers, similarly, the Indian rajas were given the epithet of Bhoj”.
Kemudian dalam komentar Zakir Naik terkait ritual mandi suci di sungai Gangga dikatakan,
“The Prophet did not physically take a bath in the Panchgavya and the water of Ganges. Since the water of Ganges is considered holy, taking bath in the Ganges is an idiom, which means washing away sins or immunity from all sorts of sins. Here the prophecy implies that Prophet Muhammad (pbuh) was sinless, i.e. Maasoom.”
Komentar yang mempunyai arti yang sama juga dituliskan oleh Abdul Haq Vidyarthi Qadiyani,
“Another point which requires elucidation is the Prophet’s taking bath in ‘Panchgavya’ and the water of the Ganges. This did not, of course, actually happen as it was only a vision; so we give it the interpretation that the Prophet will be purged of and made immune from all sorts of sins.”
Dan masih banyak lagi persamaan dan kemiripan tulisan Zakir Naik dengan pentolah ajaran Ahmadiyah Abdul Haq Vidyarthi Qadiyani. Untuk lebih jelasnya, silahkan lihat tulisan Zahid Aziz Qadiyani (pengikut Ahmadiyah) yang berjudul “Comparison of work of Zakir Naik Salafi and Abdul Haq Vidyarthi Qadiyani” dalam website ahmadiyya.org.
Kemudian kalau kita mau telusuri, buku karangan Abdul Haq Vidyarthi Qadiyani yang tulisannya mirip dan bahkan dikatakan sama persis dengan tulisan Zakir Naik telah diterbitkan pada 1936 (versi Urdu) dan 1940 (versi English), yang berarti 25 tahun sebelum Zakir Naik dilahirkan karena Zakir Naik lahir pada 1965. Ini berarti Zakir Naik telah melakukan plagiat. Kenapa? karena ia tidak pernah menyebutkan darimana sumber tulisannya. Zakir Naik tidak pernah menyatakan bahwa itu hasil pemikiran seorang cendekia Ahmadiyah bernama Abdul Haq Vidyarthi Qadiyani. Mungkinkah Zakir Naik tidak tahu atau tidak mau tahu? Atau mungkin karena ia takut dituduh sebagai penganut ajaran Ahmadiyah disebabkan telah menyebarkan paham dan ajaran penulis Ahmadiyah? Atau ada alasan lainnya? Jawabannya ada pada Zakir Naik sendiri.
Tindakan plagiarisme yang dilakukan oleh Zakir Naik membuat Ahmadiyya Anjuman Isha’at Islam Lahore (AAIIL), sebuah organisasi gerakan Ahmadiyah Lahore, pada 2009 melayangkan undangan kepada Zakir Naik untuk berdebat membuktikan kebenaran tulisannya (Lihat: Majalah The Islamic Sunrise terbitan AAIIL pada Agustus 2009 ). Tidak diketahui apakah Zakir Naik kemudian memenuhi tantangan AAIIL atau tidak, karena tidak tertulis dalam majalah tersebut. Tapi yang jelas, tulisan Zakir Naik yang kuat dugaan adalah hasil plagiat milik Abdul Haq Vidyarthi Qadiyani masih terpampang di website miliknya di irf.net. Dan ia pun masih terus menyebarkan pemahaman dan pemikirannya itu dengan leluasa. Dan bahkan “menyihir” umat Islam yang mendengarnya.

Cover Majalah Ahmadiyah AAIIL yang mengungkap tindakan plagiarisme Zakir Naik terhadap tulisan hasil pemikiran cendekiawan Ahmadiyah.
Cover Majalah Ahmadiyah AAIIL yang mengungkap tindakan plagiarisme Zakir Naik terhadap tulisan hasil pemikiran cendekiawan Ahmadiyah. Foto: archive.org

ZAKIR NAIK PENGANUT AQIDAH MUJASSIMAH


Dalam sebuah program acara miliknya, Zakir Naik pernah ditanya tentang keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dimana Allah Ta’ala? Zakir Naik menjawab yang intinya bahwa dalam Al Quran disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersemayam di ‘Arsy, sementara Hadits mengatakan Allah ada di langit, Allah berada di atas Kursi. Silahkan simak video pernyataan Zakir Naik tersebut pada menit ke 1:55.
Keyakinan yang mengatakan Allah bersemayam di atas ‘Arsy, Allah ada di langit, atau Allah duduk di atas Kursi, atau Allah memiliki tangan, wajah, kaki, dan sebagainya merupakan keyakinan-keyakinan batil lagi sesat. Keyakinan tersebut adalah keyakinan aqidah di luar Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Maha Suci Allah atas apa yang mereka sifatkan.
Sementara di dalam aqidah ahlussunnah wal jama’ah menyatakan bahwa,
الله موجود بلا مكان ولا جهة ولا كيف
“ALLAH ADA TANPA TEMPAT, TANPA ARAH, & TANPA DISIFATI OLEH SIFAT MAKHLUK”
Aqidah inilah aqidah yang lurus yang dianut para sahabat Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, para Imam Madzahibil Arba’ah (Imam Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali), dan para ulama ahlussunnah wal jama’ah di dalam dalam menjelaskan kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya dan di dalam menjelaskan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah.
Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallohu ‘Anhu berkata:
كَانَ اللّٰهُ وَلاَ مَكَان وَهُوَ الآنَ عَلَى مَا عَليْه كَانَ
“Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, dan Dia Allah sekarang -setelah menciptakan tempat- tetap sebagaimana pada sifat-Nya yang azali; ada tanpa tempat” (Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333).
Beliau juga berkata:
إِنَّ اللّٰهَ خَلَقَ العَرْشَ إْظهَارًا لِقُدْرَتهِ وَلَمْ يَتّخِذْهُ مَكَانًا لِذَاتِهِ
“Sesungguhnya Allah menciptakan ‘arsy (makhluk Allah yang paling besar bentuknya) untuk menampakan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya” (Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333).
Sementara itu Al-Imam al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit rahimahullah, salah seorang ulama salaf terkemuka, perintis madzhab Hanafi, berkata:
قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أَيْنَ اللّٰهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.
“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat al-Fiqhul Absath karya Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).
Juga berkata:
وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.
“Dan kita mengimani adanya ayat “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa” -sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an- dengan menyakini bahwa Allah tidak membutuhkan kepada ‘arsy tersebut dan tidak bertempat atau bersemayam di atasnya. Dia Allah yang memelihara ‘arsy dan lainnya tanpa membutuhkan kepada itu semua. Karena jika Allah membutuhkan kepada sesuatu maka Allah tidak akan kuasa untuk menciptakan dan mengatur alam ini, dan berarti Dia seperti seluruh makhluk-Nya sendiri. Jika membutuhkan kepada duduk dan bertempat, lantas sebelum menciptakan makhluk-Nya -termasuk ‘arsy- di manakah Dia? Allah Maha Suci dari itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh asy-Syekh Mullah ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70.).
Dan Al-Imam al-Mujtahid Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i rahimahullah, perintis madzhab Syafi’i, dalam salah satu kitab karyanya, al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, menuliskan:
(فصل) وَاعْلَمُوْا أنّ اللهَ تَعَالَى لاَ مَكَانَ لَهُ، وَالدّلِيْلُ عَلَيْهِ هُوَ أنّ اللهَ تَعَالَى كَانَ وَلاَ مَكَانَ فَخَلَقَ الْمَكَانَ وَهُوَ عَلَى صِفَةِ الأزَلِيّةِ كَمَا كَانَ قَبْلَ خَلْقِهِ الْمَكَانَ لاَ يَجُوْزُ عَلَيْهِ التَّغَيُّرُ فِي ذَاتِهِِ وَلاَ التَّبَدُّلُ فِي صِفَاتِهِ، وَلأنّ مَنْ لَهُ مَكَانٌ فَلَهُ تَحْتٌ، وَمَنْ لَهُ تَحْتٌ يَكُوْنُ مُتَنَاهِي الذّاتِ مَحْدُوْدًا، وَالْمَحْدُوْدُ مَخْلُوْقٌ، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا، ولِهذَا الْمَعْنَى اسْتَحَالَ عَليْه الزّوْجَةُ وَالوَلدُ، لأنّ ذلِك لاَ يَتِمّ إلاّ بالْمُبَاشَرَةِ والاتّصَالِ والانْفِصَال.
“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Argumentasi atas ini ialah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Maka setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang azali sebelum Dia menciptakan tempat; yaitu ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik perubahan pada Dzat-Nya maupun pad asifat-sifatNya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah. Dan bila demikian maka ia pasti memiliki bentuk tubuh dan batasan. Dan sesuatu yang memiliki batasan pasti sebagai makhluk, dan Allah maha suci dari pada itu semua. Karena itu mustahil pada haknya terdapat istri dan anak. Sebab hal semacam itu tidak akan terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel dan terpisah. Allah mustahil pada-Nya sifat terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya istilah suami, istri dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (Lihat al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Pada bagian lain dalam kitab yang sama dalam pembahasan firman Allah QS. Thaha: 5, al-Imam as-Syafi’i menuliskan sebagai berikut:
فَإنْ قِيْل: أليْسَ قَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى (الرّحْمنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى)، يُقَال: إنّ هذِهِ الآيَة مِنَ الْمُتَشَابِهَاتِ، وَالّذِيْ نَخْتَارُ مِنَ الْجَوَابِ عَنْهَا وَعَنْ أمْثَالِهَا لِمَنْ لاَ يُرِيْدُ التّبَحُّر فِي العِلْمِ أنْ يُمِرَّ بِهَا كَمَا جَاءَتْ وَلاَ يَبْحَثُ عَنْهَا وَلاَ يَتَكَلّمُ فيْهَا لأنّهُ لاَ يَأمَنُ مِنَ الوُقُوْعِ فِي وَرَطَةِ التّشْبِيْهِ إذَا لَمْ يَكُنْ رَاسِخًا فِي العِلْمِ، وَيَجِبُ أنْ يَعْتَقِدَ فِي صِفَاتِ البَارِي تَعَالَى مَاذَكَرْنَاهُ، وَأنّهُ لاَ يَحْويْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِي عَليْهِ زَمَانٌ، مُنَزَّهٌ عَنِ الحُدُوْدِ وَالنّهَايَاتِ، مُسْتَغْنٍ عَنِ الْمَكَانِ وَالْجِهَاتِ، وَيَتَخَلَّصُ مِن َالمَهَالِكِ وَالشُّبُهَاتِ.
“Jika dikatakan bukankah Allah telah berfirman: “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa”? Jawab: Ayat ini termasuk ayat mutasyabihat. Sikap yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya ialah bahwa bagi seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang ini agar supaya mngimaninya dan tidak secara mendetail membahasnya atau membicarakannya. Sebab seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam hal ini ia tidak akan aman, ia akan jatuh dalam kesesatan tasybih. Kewajiban atas orang semacam ini, juga seluruh orang Islam, adalah meyakini bahwa Allah -seperti yang telah kita sebutkan di atas-, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Dia maha suci dari segala batasan atau bentuk dan segala penghabisan. Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah. Dengan demikian orang ini menjadi selamat danri kehancuran dan kesesatan” (al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Serta Al-Imam al-Mujtahid Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Hanbal rahimahullah, perintis madzhab Hanbali, juga seorang Imam yang agung ahli tauhid. Beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah. Bahkan beliau adalah salah seorang terkemuka dalam akidah tanzih. Dalam pada ini as-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami menuliskan:
وَمَا اشْتُهِرَ بَيْنَ جَهَلَةِ الْمَنْسُوْبِيْنَ إلَى هذَا الإمَامِ الأعْظَمِ الْمُجْتَهِدِ مِنْ أنّهُ قَائِلٌ بِشَىءٍ مِنَ الْجِهَةِ أوْ نَحْوِهَا فَكَذِبٌ وَبُهْتَانٌ وَافْتِرَاءٌ عَلَيْهِ.
“Apa yang tersebar di kalangan orang-orang bodoh yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Hanbali bahwa beliau telah menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah, maka sungguh hal tersebut adalah merupakan kedustaan dan kebohongan besar atasnya” (Lihat Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah, h. 144).
Baca juga:
Ketahuilah duhai saudaraku, Allah adalah Dzat yang keberadaan-Nya tidak harus terikat berada di tempat mana, termasuk tidak berada di langit maupun di surga. Karena Allah itu bukan makhluk yang membutuhkan tempat. Allah adalah Dzat yang berdiri sendiri, dan tempat itu adalah makhluk. Sedangkan langit juga adalah makhluk, dan tempat yang berada di bawah juga di atas langit adalah makhluk. Semua makhluk, termasuk langit, dan tempat yang berada di atas maupun di bawah langit itu adalah ciptaan Allah, sedangkan sebelum Allah menciptakan makhluk, Allah tidak membutuhkan apapun terhadap makhluk. Termasuk tidak butuh makhluk yang bernama tempat.
Artinya Allah tidak membutuhkan tempat untuk keberadaan-Nya, karena Allah itu bukan suatu materi yang membutuhkan tempat. Allah adalah Dzat yang Maha Suci dari membutuhkan tempat. Keberadaan Allah itu, tidak sama dengan keberadaan makhluk. Karena keberadaan makhluk itu selalu membutuhkan tempat, dan Allah itu sangat berbeda dan tidak sama dengan makhluk. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ – سورة الشورى:١١
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat” (Quran Surat Asy-Syura: 11)
Lafadz innallah ma`ana, itu berarti Sungguh Allah menyertai kita, artinya kekuasaan dan ilmunya Allah meliputi seluruh alam, sehingga di manapun kita berada, maka Allah selalu mengetahui perilaku kita.
Innahu fis saama (Sesungguhnya Dia ada di langit), artinya kekuasaan Allah itu meliputi langit. Wa innahu fil ardli (dan sesungguhnya Dia ada di bumi), artinya kekuasaan Allah itu meliputi bumi.
Fainamaa tuwallu fatsamma wajhullah (kemana saja engkau menghadap/ ke langit, ke bumi, ke segala penjuru, maka di sanalah Allah berada, alias kekuasaan dan ilmu-Nya berada di mana-mana), jelas-jelas ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak menetap di langit seperti pemahaman kaum Wahhabi (Salafi).
Jadi, menurut Ahlus sunnah wal jamaah Allah itu adalah Dzat yang tidak membutuhkan tempat dan kekuasaan serta ilmu-Nya meliputi segala sesuatu dan di mana-mana. Wallohu A’lam.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar