Dr. Zakir Abdul Karim Naik atau lebih
dikenal dengan nama Zakir Naik lahir di India pada 18 Oktober 1965.
Disebutkan dalam berbagai literatur, ia penah kuliah kedokteran di
Mumbai, India. Para pengagumnya menyebut ia sebagai sosok “ulama”
terlibat dalam dakwah Islam dan perbandingan agama. Bisa dikatakan Zakir
Naik ini besar melalui Internet, seperti website dan video Youtube yang
sengaja disebarluaskan di Indonesia.
Sebutan “ulama” yang disandang Zakir
Naik tentu dipertanyakan. Karena darimana ia belajar ilmu agama Islam
pun tidak jelas. Tidak pernah disebutkan siapa gurunya, sama
seperti sosok Al Ustadz Ahmad Sukina, pemimpin Majelis Tafsir Alquran
(MTA) di Solo. Tidak akan anda temukan darimana ia belajar agama meski
dalam website resminya seperti IRF. Tidak diketahui darimana ia belajar
agama. Yang ada, klaim Zakir Naik yang menyebut dirinyya sebagai murid
Syaikh Ahmad Deedat.
Belum lagi bacaan Qurannya yang tidak
beraturan. Siapa yang mengajarinya Al-Qur’an juga tidak jelas karena
aksen Arab dan Qur’annya benar-benar sudah keluar dari makhraj, tidak
bagus, dan tidak memenuhi kaidah ilmu Tajwid. Dimana dan dengan ulama
siapa Zakir Naik belajar Tafsir, Hadits, Fiqih, Syariah, bahasa Arab,
dan lain sebagainya juga tidak pernah diketahui. Tiba-tiba sosok ini
muncul bak seorang ulama besar yang faham betul tentang Islam, memahami
tafsir, memahami hadits, memahami syariat, dan lain sebagainya. (Download ebook PDF Dr Zakir Naik, A Brief Profile dari IRF.net)
Dalam pidatonya, Zakir Naik mengatakan
bahwa dirinya adalah sarjana perbandingan agama, tapi faktanya ia
seringkali mengeluarkan “fatwa” perihal masalah agama Islam yang bukan
bidangnya. Ia pun tidak ragu-ragu menyalahkan ulama sekelas Imam Madzhab
Fiqih dan Hadits. Dikatakan Zakir Naik bahwa para Imam Fiqih dan Hadits
itu tidak memiliki informasi (ilmu) yang lengkap saat mereka (para Imam
Fiqih dan Hadits) memberikan atau mengeluarkan hukum-hukum Islam.
Bahkan Zakir Naik menyatakan bahwa menerima dan mengikuti para Imam
tersebut sebagai guru dalam Islam dapat merusak Islam itu sendiri. Hal
ini diungkapkan Zakir Naik saat ia diwawancarai seputar masalah Taqlid.
Innalillahi, orang yang tidak jelas darimana belajarnya seperti Zakir
Naik, begitu mudahnya menyalahkan ulama sekelas Imam Madzhab.
Dikatakan Zakir Naik terpengaruh oleh
Syaikh Ahmad Deedat rahimahullah saat ia belajar ilmu kedokteran. Syaikh
Ahmad Deedat sendiri adalah seorang ulama sufi ahlussunnah wal jamaah
dari Afrika Selatan (1918-2005) yang konsen di bidang perbandingan
agama. Dari sini menunjukan bahwa Zakir Naik mulai membaca dan mengkaji
buku-buku agama Islam saat ia berusia sekitar 22 tahun atau saat kuliah
di Kedokteran sekitar tahun 1987. Hebatnya, hanya dalam waktu 3 tahun
(1987-1990) setelah membaca buku pelajaran agama Islam secara otodidak,
dan ini termasuk aktivitasnya sebagai mahasiswa kedokteran dengan
kegiatannya yang padat seperti mempelajari buku-buku kedokteran, ujian,
kepaniteraan klinik, dll, ia telah mempelajari segala sesuatu tentang
Islam dan mendirikan Islamic Research Foundation (IRF) pada Februari
1991 dan mulai berdakwah secara penuh. Sungguh aneh bin ajaib, cukup
berbekal belajar buku pelajaran agama Islam dalam 3 tahun sambil kuliah
kedokteran yang begitu sibuknya, tiba-tiba keluar sebagai “ulama”,
bahkan menyalahkan para ulama Imam ahlussunnah wal jamaah.
Lebih aneh lagi, dalam pidatonya, Zakir
Naik mengatakan dirinya telah mulai berdakwah sebelum IRF didirikan. Hal
ini menunjukan Zakir Naik mempunyai kemampuan luar biasa dalam
menghafal. Membaca buku pelajaran Islam tidak untuk dipahami, tetapi
hanya sekedar sebagai memori (dihafal). Semakin tajam memori seseorang
maka umumnya semakin cerdas, layaknya sebuah kamus yang menyimpan banyak
memori. Sama halnya dengan orang yang akan menghadapi ujian kenaikan
kelas. Dan dengan sedikit polesan kemahiran berorasi maka jadilah tampak
perdebatan yang menghebohkan. Alhasil banyak penonton yang terpukau.
Meski begitu Zakir Naik sering mengaku
sebagai murid Syaikh Ahmad Deedat. Benarkah? Tentu saja ini tidak benar.
Bagaimana mungkin seorang murid menyebut gurunya sendiri secara tak
langsung sebagai orang yang syirik dan kafir. Lihatlah bagaimana Zakir
Naik mengatakan memperingati Maulid Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa
Alihi wa Shohbihi wa Sallam adalah perbuatan syirik dan ia menyamakan
perbuatan tersebut dengan Festival Hindu dan Kristen (festival
orang-orang kafir). Maulid Nabi dikatakan Haram, dan lain sebagainya.
Na’udzubillah. Padahal Syaikh Ahmad Deedat yang ia klaim sebagai gurunya
adalah pecinta maulid Nabi.
Syaikh Ahmad Deedat berkata,
“Ada jutaan muslim termasuk saya, dan
saya tidak keberatan merayakan hari-hari yang baik seperti yang anda
katakan (peringatan maulid nabi). Saya katakan itu OK. Dan saya tidak
akan bersama anda, saya tidak setuju dengan anda, saya tidak ingin anda
untuk mengubah (pendapat) saya”.
Kenapa? Karena Zakir Naik adalah
penganut ajaran Salafi (Wahabi), yang begitu mudah menuduh syirik,
bid’ah, kafir kepada umat Islam yang berbeda dengannya. Dalam Wikipedia
berbahasa Inggris, Zakir Naik disebut sebagai dai Salafi (Wahabi) paling
berpengaruh di India, bahkan dikatakan sebagai dai Salafi (Wahabi)
paling terkemuka di dunia. Tidak hanya itu, dalam halaman Wikipedia
dituliskan agama Zakir Naik adalah Salafi Islam, kemudian diganti
menjadi Sunni Islam, dan sekarang menjadi Islam saja tanpa embel-embel.
Meski dirinya hakikatnya seorang Salafi tapi tidak sedikit orang-orang
Salafi yang menyebutkan Zakir Naik adalah sesat dan menyesatkan.
Sebagai penganut ajaran Salafi (meski
dirinya menolak Salafi), Zakir Naik beraqidah mujassimah tidak diragukan
lagi. Ia menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhlukNya yang
merupakan bagian faham mujassimah. Dikatakan Zakir Naik bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala memiliki dua tangan, dua mata, wajah, kaki, tulang
kering, dan memiliki tubuh yang besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala duduk
di atas langit, di atas kursi yang besar menghadap ke ‘Arsy. Inilah
aqidah di luar ahlussunnah wal jamaah yang banyak dianut kaum Salafi
(Wahabi) yang membedakan dengan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja).
Baca juga:
- Dr Zakir Naik, Pemikiran dan Aqidah yang Dianutnya
- Pemahaman dan Pemikiran Dr Zakir Naik yang Sebenarnya
- Menyikapi Tokoh yang Banyak Mengislamkan Tapi Aqidahnya Sesat
Kemudian seeorang bertanya, “Bagaimana
tangan dan tubuh Allah?”. Zakir naik menjawab, “Kami tidak tahu, yang
tahu hanya Allah”. Dan kalau kita cermati pandangan aqidah mujassimah
yang dianut Salafi ini serupa dengan pemikiran Tuhannya Hindu, Dewa
Wisnu. Bedanya tuhannya Hindu itu menikah dan ada model patung dewa
Wisnu. Banyak sekali pemahaman dan ajaran Salafi Wahabi yang dianut
Zakir Naik yang tidak dapat disebutkan satu per satu di sini.
Selain menganut aqidah salafi
mujassimah, Zakir Naik juga acapkali menyebarkan pemahaman dan pemikiran
ajaran Ahmadiyyah. Dalam berbagai pidato dan tulisan-tulisannya, Zakir
Naik mengklaim bahwa kemunculan Nabi Muhammad Shollalohu ‘Alaihi wa
Alihi wa Shohbihi wa Sallam telah disebutkan dalam kitab suci agama
Hindu. Pemikiran Zakir Naik tersebut ternyata bersumber dari buku
“Mohammad (صلى الله عليه و آله وسلم) in world scriptures” karya Abdul
Haq Vidyarthi Qadiyani (1888-1977), seorang penyebaar dan penganut
ajaran Ahmadiyyah Lahore India. Bahkan tulisan-tulisan Zakir Naik ini
hampir sama persis dan banyak kemiripan dengan tulisan yang ada dalam
buku Qadiyani itu. Anehnya, Zakir Naik tidak pernah menyebutkan sumber
kutipan tulisannya itu. (Download ebook Hubungan Zakir Naik dengan Ajaran Ahmadiyah Qadiyani)
Ketika ditanya apakah kitab Wedha dan kitab suci umat Hindu lainnya adalah wahyu Allah, Zakir Naik menjawab,
“Tidak ada teks dalam Al Quran dan
Hadits shahih yang menyebutkan nama bahwa wahyu itu dikirim ke India.
Karena nama-nama Weda atau Hindu lainnya tidak ditemukan dalam Quran dan
Hadits shahih, maka seseorang tidak bisa mengatakan dengan pasti bahwa
kitab-kitab tersebut berasal dari wahyu Allah. Kitab-kitab tersebut
mungkin saja wahyu dari Allah atau mungkin bukan wahyu dari Allah”.
Dari jawaban di atas, Zakir Naik
sebenarnya ingin mengatakan bahwa ia percaya kitab suci agama Hindu
adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (sama halnya dengan Alkitab
Injil yang telah berubah), meskipun ia sendiri tidak ingin menyatakannya
secara terbuka. Hal ini dipertegas dengan jawaban Zakir Naik yang tidak
berani mengatakan kitab suci umat Hindu adalah bukan firman Allah
Ta’ala, tetapi justru ia menjawab dengan plin-plan dengan mengatakan
“mungkin wahyu Allah atau mungkin bukan”. Ini tidak lain karena ia
terpengaruh pemikiran ajaran Ahmadiyyah Lahore dari Qadiyani.
Dan anehnya banyak orang-orang Islam
yang sudah terpengaruh dengan pemikiran Ahmadiyyah yang dibawa oleh
Zakir Naik ini, baik disadari maupun tidak disadari. Meskipun Zakir Naik
sendiri tidak pernah berani mengatakan di depan publik bahwa itu hasil
pemikiran Ahmadiyah (Qadiyani). Tapi fakta menunjukan pidato dan
tulisannya mengambil dari tulisan Ahmadiyah.
Fakta-fakta di atas tentu sangat
berbahaya, tetapi ada yang lebih berbahaya lagi ketika Zakir Naik sudah
mempermainkan ayat Al Quran dan Hadits. Ayat Al Quran dan Hadits sering
disalah tafsirkan. Menafsirkan Quran tanpa ilmu dan asal-asalan. Ini
tentu sangat berbahaya.
Salah satu contohnya adalah bagaimana
Zakir Naik menyamakan arti kata bahasa Arab dari Syifa dan Syafa’ah
dalam Al Qur’an. Dua kata yang artinya berbeda tetapi dianggap sama oleh
Zakir Naik. Ini kesalahan fatal. Akibatnya ia pun tergelincir dalam
memahami Quran, tidak sesuai dengan pemahaman para ulama tafsir. Ini
adalah bentuk kebohongan nyata yang disengaja oleh Zakir Naik dalam
menipu umat Islam khususnya mereka yang awam. Sebuah fitnah keji yang
mengatasnamakan Qur’an. Para ulama sudah memperingatkan Zakir Naik
tetapi pemikirannya ini tetap ia sebarkan.
Masih banyak penyimpangan-penyimpangan
Zakir Naik lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Yang jelas
dan perlu ditekankan disini adalah kita harus berhati-hati dengan Zakir
Naik. Banyak ulama-ulama lain yang mestinya kita ikuti, yang jelas
sanad ilmunya, jelas siapa gurunya, jelas keilmuannya, yang bersamabung
dengan Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam,
yang akan membawa kepada keselamatan di dunia dan akhirat.
Dikutip dan dialihbahasakan dari Correct
Islamic Faith (Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah Ash-Shohihah) International
Association pimpinan Syaikh Al-Habib Mir Asadullah Qadiri, Hyderabad,
India.
Pemikiran dan Aqidah yang Dianutnya
ZAKIR NAIK BOLEHKAN UMAT ISLAM MENYEBUT ALLAH DENGAN PANGGILAN NAMA DEWA HINDU
Sang orator ulung Zakir Naik dalam tulisannya berjudul “Concept of God in Hinduism”
menyatakan bahwa umat Islam diperbolehkan mengganti nama Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama dewa umat Hindu seperti Wisnu atau
Brahma. Tulisan Zakir Naik tersebut masih dapat anda temukan salah
satunya dalam halaman resmi website Islamic Research Foundation (IRF) miliknya atau dalam bukunya yang berjudul “Islam and Universal Brotherhood” hal. 33.
Berikut salah satu kutipannya yang diambil dari website irf.net miliknya:
…Among the various attributes of God, one of the beautiful attributes mentioned in the Rigveda Book II hymn 1 verse 3, is Brahma. Brahma means ‘The Creator’. Translated into Arabic it means Khaaliq. Muslims can have no objection if Almighty God is referred to as Khaaliq or ‘Creator’ or Brahma. However if it is said that Brahma is Almighty God who has four heads with each head having a crown, Muslims take strong exception to it….…Another beautiful attribute of God mentioned in the Rigveda Book II hymn 1 verse 3 is Vishnu. Vishnu means ‘The Sustainer’. Translated into Arabic it means Rabb. Again, Muslims can have no objection if Almighty God is referred to as Rabb or ‘Sustainer’ or Vishnu. But the popular image of 9[Atharveda Samhita vol 2 William Dwight Whitney page 910], Vishnu among Hindus, is that of a God who has four arms, with one of the right arms holding the Chakra, i.e. a discus and one of the left arms holding a ‘conch shell’, or riding a bird or reclining on a snake couch. Muslims can never accept any image of God….(Lihat: Concept of God in Hinduism by Dr. Zakir Naik in irf.net)
Yang artinya kurang lebihnya addalah:
…Diantara berbagai nama Allah, salah satu nama yang indah yang disebutkan dalam kitab Rgveda Buku II himne 1 ayat 3 adalah Brahma. Brahma berarti “Pencipta”. Dalam bahasa Arab disebut Khaliq. Umat Islam tidak keberatan (diperbolehkan) kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala dipanggil dengan Khaliq atau Pencipta atau Brahma. Namun, jika dikatakan Brahma adalah Tuhan Yang Maha Kuasa yang memiliki empat kepala dengan masing-masing kepala memiliki mahkota, umat Islam sangat tidak setuju……Nama lain yang indah dari Allah yang disebutkan dalam kitab Rgveda Buku II himne 1 ayat 3 adalah Wisnu. Wisnu artinya “Pemelihara (alam semesta)”. Dalam bahasa Arab disebut Rabb. Sekali lagi, umat Islam tidak keberatan (diperbolehakn) jika Allah Subhanahu wa Ta’ala dipanggil sebagai Rabb atau Pemelihara (alam semesta) atau Wisnu. Tetapi penggambaran terkenal dalam Atharveda Samhita vol Halaman 2 William Dwight Whitney 910, Vishnu adalah Tuhan yang mempunyai 4 tangan, tiap tangan memegang cakra, tangan kirinya memegang rumah kerang, menaiki seekor burung garuda sambil bersandar pada gulungan ular. Umat muslim tidak pernah menerima penggambaraan Allah…
Begitulah pandangan Zakir Naik yang
mengatakan kalau umat Islam tidak keberatan mengganti nama Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan Brahma atau Wisnu. Coba kita kembalikan
kepada umat Islam, maukah Anda duhai Muslimin wal Muslimat memanggil
“Ya Brahma”, “Ya Wisnu”? Dan maaf kalau ini terlalu vulgar, maukah Anda
mengganti lafadz Bismillahirrahmanirrahim dengan “BismiBrahma” atau
“BismiWisnu” Ar-Rahmani Ar-Rahim? Tentu saja tidak mau.
Oleh karena itulah para ulama dari Darul
Ifta Darul Ulum Deobandi India mengeluarkan fatwa tegas menolak
pemikiran Zakir Naik ini. Para ulama Darul Ulum melarang umat Islam
memanggil nama Allah dengan kata-kata non-Arab tersebut sebagaimana
diyakini Zakir Naik. Tidak boleh memanggil nama Allah Subhanahu wa
Ta’ala dengan menggunakan nama-nama yang tidak khusus bagiNya. Bagaimana
mungkin diperbolehkan untuk memanggil Allah dengan nama-nama seperti
Wisnu dan Brahma yang mana itu adalah bagian tanda-tanda dari ajaran
Hindu?
وَلِلّٰهِ
الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوْهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِيْنَ
يُلْحِدُوْنَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ –
سورة الأعراف:١٨٠
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna
(nama-nama yang agung yang sesuai dengan sifat-sifat Allah), maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap
apa yang telah mereka kerjakan. (Quran Surat Al-A’raf:180)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki
nama-nama yang indah, nama-nama yang agund dan bagus. Maka sebutlah dan
panggilah Allah dengan nama-nama tersebut, Ya Rahman, Ya Rahim, Ya
Malik, Ya Quddus, Ya Salam, dan lain sebagainya. Bukan menyebut Allah
dengan nama seperti Ya Brahma, Ya Wisnu, yang identik dengan ajaran
Hindu.
ZAKIR NAIK DAN HUBUNGANNYA DENGAN AJARAN AHMADIYAH QADIYANI
Dalam tulisannya yang berjudul “Prophet Muhammad (pbuh) in Hindu scripture”
dan juga pidato-pidatonya, Zakir Naik mengklaim bahwa kemunculan Nabi
Muhammad Shollalohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam telah
disebutkan dalam kitab suci agama Hindu. Salah satu tulisannya dapat
ditemukan dalam halaman website resmi IRF miliknya.
Melalui tulisannya tersebut, Zakir Naik
sebenarnya ingin mengupas beberapa nubuwah akan kemunculan Nabi Muhammad
yang menurutnya disebutkan dalam kitab Hindu. Zakir Naik mengemukakan
berbagai nubuwat dalam empat sub judul, yaitu:
- I. Muhammad (pbuh) prophesised in Bhavishya Purana,
- II. Prophet Muhammad (pbuh) Prophesised in Atharvaveda,
- III. Muhammad (pbuh) prophesised in the Rigveda,
- IV. Muhummad (pbuh) is also prophesised in the Samveda.
Pada sub judul pertama dikatakan ada 3
nubuwah dari kitab Bhavishya Purana. Diantaranya nubuwah pertamanya
sebagaiman dikutip dari Zakir Naik adalah,
According to Bhavishya Purana in the Prati Sarag Parv III Khand 3 Adhay 3 Shloka 5 to 8. “A malecha (belonging to a foreign country and speaking a foreign language) spiritual teacher will appear with his companions. His name will be Mohammad. Raja (Bhoj) after giving this Maha Dev Arab (of angelic disposition) a bath in the Panchgavya and the Ganga water (i.e. purifying him of all sins) offered him the present of his sincere devotion and showing him all reverence said, “I make obeisance to thee. O ye! The pride of mankind, the dweller in Arabia, Ye have collected a great force to kill the Devil and you yourself have been protected from the malecha opponents.”
Ada apa dengan nubuwah pertama Zakir
Naik di atas? Ternyata tulisan yang dikatakan oleh Zakir Naik sebagai
nubuwah pertama di atas adalah tulisan yang hampir sama persis dengan
nubuwah pertama yang dikarang oleh Abdul Haq Vidyarthi Qadiyani
(1888-1977) dalam bukunya yang berjudul “Mohammad in world scriptures”. Bedanya, Zakir Naik menuliskan ejaan malecha, sementara Abdul Haq Vidyarthi Qadiyani menuliskannya dengan ejaan malechha dan dengan sedikit tambahan kata-kata yang lain.
Pertanyaannya sekarang, siapa Abdul Haq Vidyarthi Qadiyani?
Abdul Haq Vidyarthi Qadiyani adalah
seorang cendekiawan gerakan Ahmadiyah Lahore yang berpusat di Lahore,
ibukota Provinsi Punjab, Pakistan. Gelar Vidyarthi diperolehnya karena
kemahirannya dalam memahami kitab Hindu Veda, dan gelar Qadiyani adalah
berasal dari kata Qadian, sebuah kota kecil di negara bagian Punjab,
India, tempat kelahiran Mirza Ghulam Ahmad, pemimpin ajaran sempalan
Ahmadiyah.
Pemikiran Zakir Naik dalam tulisannya “Prophet Muhammad (pbuh) in Hindu scripture”
yang ia sebarluaskan di berbagai media ternyata adalah hasil pemikiran
ajaran Ahmadiyah dari Abdul Haq Vidyarthi Qadiyani dalam bukunya
berjudul “Mohammad in world scriptures” atau “Mithaq-un-nabiyyin” dalam versi bahasa Urdu.
Pemikiran tersebut tidak hanya ditemukan
dalam kaitannya terkait dengan nubuwah pertama di atas. Tapi kemiripan
lain juga ditemukan dari tulisan Zakir Naik selanjutnya. Diantaranya,
Zakir Naik menuliskan,
“The Egyptian Monarchs were called as Pharaoh and the Roman Kings were known as Caesar, similarly the Indian Rajas were given the title of Bhoj”.
Sementara dalam bukunya Abdul Haq Vidyarthi Qadiyani ditulis,
“Just as the Egyptian monarchs were known as Pharaohs and the Roman kings were called Kaisers, similarly, the Indian rajas were given the epithet of Bhoj”.
Kemudian dalam komentar Zakir Naik terkait ritual mandi suci di sungai Gangga dikatakan,
“The Prophet did not physically take a bath in the Panchgavya and the water of Ganges. Since the water of Ganges is considered holy, taking bath in the Ganges is an idiom, which means washing away sins or immunity from all sorts of sins. Here the prophecy implies that Prophet Muhammad (pbuh) was sinless, i.e. Maasoom.”
Komentar yang mempunyai arti yang sama juga dituliskan oleh Abdul Haq Vidyarthi Qadiyani,
“Another point which requires elucidation is the Prophet’s taking bath in ‘Panchgavya’ and the water of the Ganges. This did not, of course, actually happen as it was only a vision; so we give it the interpretation that the Prophet will be purged of and made immune from all sorts of sins.”
Dan masih banyak lagi persamaan dan
kemiripan tulisan Zakir Naik dengan pentolah ajaran Ahmadiyah Abdul Haq
Vidyarthi Qadiyani. Untuk lebih jelasnya, silahkan lihat tulisan Zahid
Aziz Qadiyani (pengikut Ahmadiyah) yang berjudul “Comparison of work of Zakir Naik Salafi and Abdul Haq Vidyarthi Qadiyani” dalam website ahmadiyya.org.
Kemudian kalau kita mau telusuri, buku
karangan Abdul Haq Vidyarthi Qadiyani yang tulisannya mirip dan bahkan
dikatakan sama persis dengan tulisan Zakir Naik telah diterbitkan pada
1936 (versi Urdu) dan 1940 (versi English), yang berarti 25 tahun
sebelum Zakir Naik dilahirkan karena Zakir Naik lahir pada 1965. Ini
berarti Zakir Naik telah melakukan plagiat. Kenapa? karena ia tidak
pernah menyebutkan darimana sumber tulisannya. Zakir Naik tidak pernah
menyatakan bahwa itu hasil pemikiran seorang cendekia Ahmadiyah bernama
Abdul Haq Vidyarthi Qadiyani. Mungkinkah Zakir Naik tidak tahu atau
tidak mau tahu? Atau mungkin karena ia takut dituduh sebagai
penganut ajaran Ahmadiyah disebabkan telah menyebarkan paham dan ajaran
penulis Ahmadiyah? Atau ada alasan lainnya? Jawabannya ada pada Zakir
Naik sendiri.
Tindakan plagiarisme yang dilakukan oleh
Zakir Naik membuat Ahmadiyya Anjuman Isha’at Islam Lahore (AAIIL),
sebuah organisasi gerakan Ahmadiyah Lahore, pada 2009 melayangkan
undangan kepada Zakir Naik untuk berdebat membuktikan kebenaran
tulisannya (Lihat: Majalah The Islamic Sunrise
terbitan AAIIL pada Agustus 2009 ). Tidak diketahui apakah Zakir Naik
kemudian memenuhi tantangan AAIIL atau tidak, karena tidak tertulis
dalam majalah tersebut. Tapi yang jelas, tulisan Zakir Naik yang kuat
dugaan adalah hasil plagiat milik Abdul Haq Vidyarthi Qadiyani masih
terpampang di website miliknya di irf.net. Dan ia pun masih terus
menyebarkan pemahaman dan pemikirannya itu dengan leluasa. Dan bahkan
“menyihir” umat Islam yang mendengarnya.
ZAKIR NAIK PENGANUT AQIDAH MUJASSIMAH
Dalam sebuah program acara miliknya,
Zakir Naik pernah ditanya tentang keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
dimana Allah Ta’ala? Zakir Naik menjawab yang intinya bahwa dalam Al
Quran disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersemayam di ‘Arsy,
sementara Hadits mengatakan Allah ada di langit, Allah berada di atas
Kursi. Silahkan simak video pernyataan Zakir Naik tersebut pada menit ke
1:55.
Keyakinan yang mengatakan Allah
bersemayam di atas ‘Arsy, Allah ada di langit, atau Allah duduk di atas
Kursi, atau Allah memiliki tangan, wajah, kaki, dan sebagainya merupakan
keyakinan-keyakinan batil lagi sesat. Keyakinan tersebut adalah
keyakinan aqidah di luar Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Maha Suci
Allah atas apa yang mereka sifatkan.
Sementara di dalam aqidah ahlussunnah wal jama’ah menyatakan bahwa,
الله موجود بلا مكان ولا جهة ولا كيف
“ALLAH ADA TANPA TEMPAT, TANPA ARAH, & TANPA DISIFATI OLEH SIFAT MAKHLUK”
Aqidah inilah aqidah yang lurus yang
dianut para sahabat Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi
wa Sallam, para Imam Madzahibil Arba’ah (Imam Hanafi, Maliki, Syafii,
dan Hanbali), dan para ulama ahlussunnah wal jama’ah di dalam dalam
menjelaskan kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya dan di dalam
menjelaskan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah.
Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallohu ‘Anhu berkata:
كَانَ اللّٰهُ وَلاَ مَكَان وَهُوَ الآنَ عَلَى مَا عَليْه كَانَ
“Allah ada tanpa permulaan dan tanpa
tempat, dan Dia Allah sekarang -setelah menciptakan tempat- tetap
sebagaimana pada sifat-Nya yang azali; ada tanpa tempat” (Diriwayatkan
oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h.
333).
Beliau juga berkata:
إِنَّ اللّٰهَ خَلَقَ العَرْشَ إْظهَارًا لِقُدْرَتهِ وَلَمْ يَتّخِذْهُ مَكَانًا لِذَاتِهِ
“Sesungguhnya Allah menciptakan ‘arsy
(makhluk Allah yang paling besar bentuknya) untuk menampakan
kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya”
(Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain
al-Firaq, h. 333).
Sementara itu Al-Imam al-Mujtahid Abu
Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit rahimahullah, salah seorang ulama salaf
terkemuka, perintis madzhab Hanafi, berkata:
قُلْتُ:
أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أَيْنَ اللّٰهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى
وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى
وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.
“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada
orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan
dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada
tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum
segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat
al-Fiqhul Absath karya Imam Abu Hanifah dalam kumpulan
risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).
Juga berkata:
وَنُقِرّ
بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ
أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ
العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ
مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ
كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ
فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ
عُلُوّا كَبِيْرًا.
“Dan kita mengimani adanya ayat
“ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa” -sebagaimana disebutkan dalam
al-Qur’an- dengan menyakini bahwa Allah tidak membutuhkan kepada ‘arsy
tersebut dan tidak bertempat atau bersemayam di atasnya. Dia Allah yang
memelihara ‘arsy dan lainnya tanpa membutuhkan kepada itu semua. Karena
jika Allah membutuhkan kepada sesuatu maka Allah tidak akan kuasa untuk
menciptakan dan mengatur alam ini, dan berarti Dia seperti seluruh
makhluk-Nya sendiri. Jika membutuhkan kepada duduk dan bertempat, lantas
sebelum menciptakan makhluk-Nya -termasuk ‘arsy- di manakah Dia? Allah
Maha Suci dari itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah
dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid
al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh asy-Syekh Mullah ‘Ali al-Qari dalam
Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70.).
Dan Al-Imam al-Mujtahid Muhammad ibn
Idris asy-Syafi’i rahimahullah, perintis madzhab Syafi’i, dalam salah
satu kitab karyanya, al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar,
menuliskan:
(فصل)
وَاعْلَمُوْا أنّ اللهَ تَعَالَى لاَ مَكَانَ لَهُ، وَالدّلِيْلُ عَلَيْهِ
هُوَ أنّ اللهَ تَعَالَى كَانَ وَلاَ مَكَانَ فَخَلَقَ الْمَكَانَ وَهُوَ
عَلَى صِفَةِ الأزَلِيّةِ كَمَا كَانَ قَبْلَ خَلْقِهِ الْمَكَانَ لاَ
يَجُوْزُ عَلَيْهِ التَّغَيُّرُ فِي ذَاتِهِِ وَلاَ التَّبَدُّلُ فِي
صِفَاتِهِ، وَلأنّ مَنْ لَهُ مَكَانٌ فَلَهُ تَحْتٌ، وَمَنْ لَهُ تَحْتٌ
يَكُوْنُ مُتَنَاهِي الذّاتِ مَحْدُوْدًا، وَالْمَحْدُوْدُ مَخْلُوْقٌ،
تَعَالَى اللهُ عَنْ ذلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا، ولِهذَا الْمَعْنَى
اسْتَحَالَ عَليْه الزّوْجَةُ وَالوَلدُ، لأنّ ذلِك لاَ يَتِمّ إلاّ
بالْمُبَاشَرَةِ والاتّصَالِ والانْفِصَال.
“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat.
Argumentasi atas ini ialah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa
tempat. Maka setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang
azali sebelum Dia menciptakan tempat; yaitu ada tanpa tempat. Tidak
boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik perubahan pada Dzat-Nya
maupun pad asifat-sifatNya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia
pasti memiliki arah bawah. Dan bila demikian maka ia pasti memiliki
bentuk tubuh dan batasan. Dan sesuatu yang memiliki batasan pasti
sebagai makhluk, dan Allah maha suci dari pada itu semua. Karena itu
mustahil pada haknya terdapat istri dan anak. Sebab hal semacam itu
tidak akan terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel dan
terpisah. Allah mustahil pada-Nya sifat terbagi-bagi dan terpisah-pisah.
Tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah.
Oleh sebab itu adanya istilah suami, istri dan anak pada hak Allah
adalah sesuatu yang mustahil” (Lihat al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh
al-Akbar, h. 13).
Pada bagian lain dalam kitab yang sama
dalam pembahasan firman Allah QS. Thaha: 5, al-Imam as-Syafi’i
menuliskan sebagai berikut:
فَإنْ
قِيْل: أليْسَ قَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى (الرّحْمنُ عَلَى العَرْشِ
اسْتَوَى)، يُقَال: إنّ هذِهِ الآيَة مِنَ الْمُتَشَابِهَاتِ، وَالّذِيْ
نَخْتَارُ مِنَ الْجَوَابِ عَنْهَا وَعَنْ أمْثَالِهَا لِمَنْ لاَ يُرِيْدُ
التّبَحُّر فِي العِلْمِ أنْ يُمِرَّ بِهَا كَمَا جَاءَتْ وَلاَ يَبْحَثُ
عَنْهَا وَلاَ يَتَكَلّمُ فيْهَا لأنّهُ لاَ يَأمَنُ مِنَ الوُقُوْعِ فِي
وَرَطَةِ التّشْبِيْهِ إذَا لَمْ يَكُنْ رَاسِخًا فِي العِلْمِ، وَيَجِبُ
أنْ يَعْتَقِدَ فِي صِفَاتِ البَارِي تَعَالَى مَاذَكَرْنَاهُ، وَأنّهُ لاَ
يَحْويْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِي عَليْهِ زَمَانٌ، مُنَزَّهٌ عَنِ
الحُدُوْدِ وَالنّهَايَاتِ، مُسْتَغْنٍ عَنِ الْمَكَانِ وَالْجِهَاتِ،
وَيَتَخَلَّصُ مِن َالمَهَالِكِ وَالشُّبُهَاتِ.
“Jika dikatakan bukankah Allah telah
berfirman: “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa”? Jawab: Ayat ini termasuk
ayat mutasyabihat. Sikap yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat
yang semacam dengannya ialah bahwa bagi seorang yang tidak memiliki
kompetensi dalam bidang ini agar supaya mngimaninya dan tidak secara
mendetail membahasnya atau membicarakannya. Sebab seorang yang tidak
memiliki kompetensi dalam hal ini ia tidak akan aman, ia akan jatuh
dalam kesesatan tasybih. Kewajiban atas orang semacam ini, juga seluruh
orang Islam, adalah meyakini bahwa Allah -seperti yang telah kita
sebutkan di atas-, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku
atas-Nya waktu dan zaman. Dia maha suci dari segala batasan atau bentuk
dan segala penghabisan. Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan
arah. Dengan demikian orang ini menjadi selamat danri kehancuran dan
kesesatan” (al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Serta Al-Imam al-Mujtahid Abu ‘Abdillah
Ahmad ibn Hanbal rahimahullah, perintis madzhab Hanbali, juga seorang
Imam yang agung ahli tauhid. Beliau mensucikan Allah dari tempat dan
arah. Bahkan beliau adalah salah seorang terkemuka dalam akidah tanzih.
Dalam pada ini as-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami menuliskan:
وَمَا
اشْتُهِرَ بَيْنَ جَهَلَةِ الْمَنْسُوْبِيْنَ إلَى هذَا الإمَامِ
الأعْظَمِ الْمُجْتَهِدِ مِنْ أنّهُ قَائِلٌ بِشَىءٍ مِنَ الْجِهَةِ أوْ
نَحْوِهَا فَكَذِبٌ وَبُهْتَانٌ وَافْتِرَاءٌ عَلَيْهِ.
“Apa yang tersebar di kalangan
orang-orang bodoh yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Hanbali bahwa
beliau telah menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah, maka sungguh
hal tersebut adalah merupakan kedustaan dan kebohongan besar atasnya”
(Lihat Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah, h. 144).
Baca juga:
- Aqidah Aswaja: Allah Tidak Bertempat di Langit
- Benarkah Allah Berada di Langit Berdasarkan Hadits Shahih?
- Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan Konsensus Para Sahabat dan Imam: Allah Ada Tanpa Tempat
- Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah: Allah Tidak Bertempat di Langit
- Penting, Ajarkan Pendidikan Aqidah yang Benar Kepada Anak Tentang Allah Sejak Dini
- Ketika Anak Bertanya “Dimana Allah?”, Beginilah Jawabnya
- Download MP3 Kajian Ilmiah Islamiyah: Jawaban Untuk Mereka Yang Mengingkari Takwil
- Benarkah Allah Berada di Atas Arsy ? Ini Penjelasannya !
- Ta’wil Hadits: Dimanakah Tuhan Sebelum Terjadinya Langit dan Bumi?
- Membongkar Aqidah Sesat Tasybih dan Tajsim Yang Mengatasnamakan Imam Abu Hanifah
Ketahuilah duhai saudaraku, Allah adalah
Dzat yang keberadaan-Nya tidak harus terikat berada di tempat mana,
termasuk tidak berada di langit maupun di surga. Karena Allah itu bukan
makhluk yang membutuhkan tempat. Allah adalah Dzat yang berdiri sendiri,
dan tempat itu adalah makhluk. Sedangkan langit juga adalah makhluk,
dan tempat yang berada di bawah juga di atas langit adalah makhluk.
Semua makhluk, termasuk langit, dan tempat yang berada di atas maupun di
bawah langit itu adalah ciptaan Allah, sedangkan sebelum Allah
menciptakan makhluk, Allah tidak membutuhkan apapun terhadap makhluk.
Termasuk tidak butuh makhluk yang bernama tempat.
Artinya Allah tidak membutuhkan tempat
untuk keberadaan-Nya, karena Allah itu bukan suatu materi yang
membutuhkan tempat. Allah adalah Dzat yang Maha Suci dari membutuhkan
tempat. Keberadaan Allah itu, tidak sama dengan keberadaan makhluk.
Karena keberadaan makhluk itu selalu membutuhkan tempat, dan Allah itu
sangat berbeda dan tidak sama dengan makhluk. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ – سورة الشورى:١١
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat” (Quran Surat Asy-Syura: 11)
Lafadz innallah ma`ana, itu
berarti Sungguh Allah menyertai kita, artinya kekuasaan dan ilmunya
Allah meliputi seluruh alam, sehingga di manapun kita berada, maka Allah
selalu mengetahui perilaku kita.
Innahu fis saama (Sesungguhnya Dia ada
di langit), artinya kekuasaan Allah itu meliputi langit. Wa innahu fil
ardli (dan sesungguhnya Dia ada di bumi), artinya kekuasaan Allah itu
meliputi bumi.
Fainamaa tuwallu fatsamma wajhullah
(kemana saja engkau menghadap/ ke langit, ke bumi, ke segala penjuru,
maka di sanalah Allah berada, alias kekuasaan dan ilmu-Nya berada di
mana-mana), jelas-jelas ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak menetap
di langit seperti pemahaman kaum Wahhabi (Salafi).
Jadi, menurut Ahlus sunnah wal jamaah Allah itu adalah Dzat yang
tidak membutuhkan tempat dan kekuasaan serta ilmu-Nya meliputi segala
sesuatu dan di mana-mana. Wallohu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar