Bismillah...
Salah
satu tanda-tanda akhir zaman adalah akan bermunculan fitnah dari
orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim An Najdi yakni
orang-orang yang berfatwa tanpa ilmu.
mi
Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari
Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash
berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari
hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama
hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat
pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka
berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98)
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim An Najdi adalah
orang-orang yang pemahamannya telah keluar (kharaja) dari pemahaman
mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) yang disebut juga dengan
khawarij. Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim
fail) artinya yang keluar.
Orang-orang seperti Dzul
Khuwaishirah dari Bani Tamim An Najdi yakni orang-orang yang membaca Al
Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi
mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “Dari kelompok
orang ini (orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim Al
Najdi), akan muncul nanti orang-orang yang pandai membaca Al Qur`an
tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka, bahkan mereka membunuh
orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala; mereka keluar
dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya. Seandainya aku
masih mendapati mereka, akan kumusnahkan mereka seperti musnahnya kaum
‘Ad.” (HR Muslim 1762)
Kalimat yang artinya “mereka yang
membaca Al Qur’an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan” adalah
kalimat majaz . “Tidak melewati kerongkongan” kiasan dari “tidak sampai
ke hati” artinya mereka membaca Al Qur’an namun tidak menjadikan mereka
berakhlakul karimah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang
bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak
bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Semakin
banyak mengenal Allah (ma’rifatullah) melalui ayat-ayat-Nya qauliyah dan
kauniyah, maka semakin dekat hubungan dengan-Nya. Ilmu harus dikawal
hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan
semakin jauh dari Allah ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama)
yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka hubungannya dengan Allah
ta’ala semakin dekat sehingga meraih maqom disisiNya.
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi
semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka
semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Akan muncul suatu
sekte/firqoh/kaum dari umatku yang pandai membaca Al Qur`an. Dimana,
bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan mereka.
Demikian pula shalat kalian daripada shalat mereka. Juga puasa mereka
dibandingkan dengan puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an dan mereka
menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun
ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak
sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam sebagaimana
anak panah meluncur dari busurnya”. (HR Muslim 1773)
Kalimat
yang artinya “Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan”
adalah kalimat majaz . “Tidak melewati batas kerongkongan” kiasan dari
“tidak sampai ke hati” maknanya sholat mereka tidak sampai ke hati yakni
sholatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar sehingga
mereka semakin jauh dari Allah ta’ala
Rasulullah bersabda,
“Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan
mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh
dariNya” (diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025,
11/46)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al Ankabut [29]:45).
Orang-orang seperti Dzul Khuwaisarah at Tamimi an Najdi atau khawarij
karena pemahaman mereka telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas
kaum muslim (as-sawad al a’zham) sehingga berani menghardik Sayyidina
Ali bin Abi Thalib telah berhukum dengan thagut, berhukum dengan selain
hukum Allah.
Semboyan kaum khawarij pada waktu itu adalah “La
hukma illah lillah”, tidak ada hukum melainkan hanya dari Allah.
Sayyidina Ali ra menanggapi semboyan tersebut berkata , “kalimatu haqin
urida bihil batil” (perkataan yang benar dengan tujuan yang salah).
Kaum khawarij salah memahami firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan
barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS: Al-Maa’idah: 44).
Kesalahpahaman kaum khawarij sehingga berkeyakinan bahwa Imam Sayyidina
Ali ra telah kafir dan berakibat mereka membunuh Sayyidina Ali ra
Abdurrahman ibn Muljam adalah seorang yang sangat rajin beribadah.
Shalat dan shaum, baik yang wajib maupun sunnah, melebihi kebiasaan
rata-rata orang di zaman itu. Bacaan Al-Qurannya sangat baik. Karena
bacaannya yang baik itu, pada masa Sayyidina Umar ibn Khattab ra, ia
diutus untuk mengajar Al-Quran ke Mesir atas permintaan gubernur Mesir,
Amr ibn Al-’Ash. Namun, karena ilmunya yang dangkal (pemahamannya tidak
melampaui tenggorokannya) , sesampai di Mesir ia malah terpangaruh oleh
hasutan (gahzwul fikri) orang-orang Khawarij yang selalu berbicara
mengatasnamakan Islam, tapi sesungguhnya hawa nafsu yang mereka turuti.
Ia pun terpengaruh. Ia tinggalkan tugasnya mengajar dan memilih
bergabung dengan orang-orang Khawarij sampai akhirnya, dialah yang
ditugasi menjadi eksekutor pembunuhan Imam Sayyidina Ali ra.
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah At Tamim An Najdi yakni
orang-orang muda yang suka berdalil atau berfatwa dengan Al Qur’an dan
Hadits namun salah paham.
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda “Akan keluar suatu kaum akhir jaman, orang-orang muda
yang pemahamannya sering salah paham. Mereka banyak mengucapkan
perkataan “Khairil Bariyyah” (maksudnya: suka berdalil dengan Al Qur’an
dan Hadits). Iman mereka tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka
keluar dari agama sebagaimana meluncurnya anak panah dari busurnya.
Kalau orang-orang ini berjumpa denganmu perangilah mereka (luruskan
pemahaman mereka).” (Hadits Sahih riwayat Imam Bukhari 3342).
"Orang-orang muda" adalah kalimat majaz yang maknanya orang-orang yang
kurang berpengalaman atau kurang berkompetensi dalam berijtihad dan
beristinbat atau bukan ahli istidlal
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal
pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah
berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Tentulah kita mempergunakan akal untuk memahami Al Qur’an namun ada dua jenis cara mempergunakan akal yakni
1. Akal mendahului firmanNya
2. Akal mengikuti firmanNya
Akal mendahului firmanNya ditimbulkan karena mengikuti hawa nafsu.
FirmanNya dipergunakan bukan untuk berdalil tetapi berdalih. Sebagaimana
contohnya orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim an
Najdi atau khawarij yang mempergunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi
orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang kaum muslim
Abdullah bin Umar ra dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan:
“Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir
lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman”.[Lihat:
kitab Sohih Bukhari jilid:4 halaman:197]
Akal mengikuti
firmanNya adalah akal pikiran yang ditundukkan kepada akal qalbu dan
mengikuti tata cara dalam memahami Al Qur’an. Untuk memahami Al Qur’an
dan As Sunnah tidak cukup dengan arti bahasa. Diperlukan kompetensi
menguasai alat bahasa seperti Nahwu, Shorof, Balaghoh (ma’ani, bayan dan
badi’) dan lain lain. Apalagi jika ingin menetapkan hukum-hukum syara’
bedasarkan dalil syar’i diperlukan penguasaan ilmu ushul fiqih.
Penjelasan tentang hal ini telah disampaikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/10/07/tak-cukup-arti-bahasa/
Ilmu fiqh adalah hukum yang terinci pada setiap perbuatan manusia, baik
halal, haram, makruh atau wajib beserta dalilnya masing-masing.
Adapun pengertian ‘ashl’ (jamaknya: ‘ushul’) menurut etimologi adalah
dasar (fundamen) yang diatasnya dibangun sesuatu. Pengertian ini sama
dengan pengertian ushul secara terminologi, karena ushul fiqh menurut
terminologi adalah “dasar yang dijadikan pijakan oleh ilmu fiqh”.
Oleh karena itu Syeikh Kamaluddin ibn Himam di dalam Tahrir memberikan
defenisi ushul fiqh: “ushul fiqh adalah pengertian tentang kaidah-kaidah
yang dijadikan sarana (alat) untuk menggali hukum-hukum fiqh”. Atau
dengan kata lain, ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan
tentang cara (methode) pengambilan (penggalian) hukum-hukum yang
berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’i. Sebagai
contoh, ushul fiqh mnenetapkan, bahwa perintah (amar) itu menunjukkan
hukum wajib, dan larangan (nahi) menunjukkan hukum haram dan lain lain.
Jadi Ushul Fiqh adalah pendekatan metodologi yang harus diikuti dalam
penafsiran teks, atau dengan redaksi lain, Ushul Fiqh adalah tata bahasa
dan ilmu pengetahuan yang harus diikuti dalam upaya menggali hukum dari
sumber-sumbernya. Atau menjelaskan sumber-sumber hukum fiqh yang sudah
mendapatkan legitimasi syari’at seperti Al-Quran, Sunnah, konsensus,
analogi, dan seterusnya.
Untuk memahami hukum bersumber dari Al
Quran dan As Sunnah maka harus betul betul memahami gaya bahasa (uslub)
yang ada dalam bahasa Arab dan cara penunjukkan lafazh nash kepada
artinya. Para ulama ahli ushul fiqih mengarahkan perhatian mereka kepada
penelitian terhadap uslub-uslub dan ibarat-ibarat bahasa Arab yang
lazim dipergunakan oleh sastrawan-sastrawan Arab dalam menggubah syair
dan menyusun prosa. Dari penelitian ini, mereka menyusun kaidah-kaidah
dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipergunakan untuk memahami nash-nash
syari’at secara benar sesuai dengan pemahaman orang Arab sendiri yang
nash itu diturunkan dalam bahasa mereka.
Kompetensi yang dibutuhkan untuk dapat menggali sendiri dari Al Qur’an dan As Sunnah seperti
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena
al-Quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan
balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung
hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan
hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa
arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak,
bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan
as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan
as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti ada lafadz nash, ada lafadz
dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada
yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada
majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. Semua itu masing-masing
mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab
an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad,
baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan
yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi yang tidak memiliki sanad ilmu dan kompetensi di atas maka
termasuk orang awam (bukan ahli istidlal) sehingga tidak ada jalan lain
kecuali taqlid kepada imam mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan
kemampuannya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:
- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
- Imam Ahmad bin Hanbal.
Sehingga bagi para ulama yang bukan ahli istidlal maka dalam berfatwa
sebaiknyalah merujuk kepada ulama-ulama yang sholeh terdahulu yang
mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat.
Kita tentu
boleh memahami Al Qur'an dan As Sunnah untuk keperluan diri sendiri
namun ketika kita akan menetapkah hukum perkara terhadap sebuah
perbuatan dilakukan atau tidak dilakukan maka kita wajib menanyakan atau
merujuk kepada ulama yang istiqomah mengikuti salah satu dari Imam
Mazhab yang empat
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah :
Aku bertanya pada bapakku : “Ada seorang lelaki yang memiliki
kitab-kitab mushannaf, di dalam kitab tersebut ada perkataan Rasulullah
Shallallahu alaihi wa Sallam, para sahabat dan tabi’in, akan tetapi ia
tidak meliliki ilmu untuk bisa mengetahui hadits yang lemah yang matruk
dan tidak pula bisa membedakan hadits yang kuat dari yang lemah, maka
bolehkah mengamalkan sesuai dengan apa yang dia inginkan dan memilih
sekehendaknya lantas ia berfatwa dan mengamalkannya?”
Beliau
menjawab : “Tidaklah boleh mengamalkannya sehingga ia bertanya dari apa
yang ia ambil, maka hendaknya ia beramal di atas perkara yang shahih dan
hendaknya ia bertanya tentang yang demikian itu kepada ahli ilmu”
(lihat i’lamul muwaqi’in 4/179)
Kita tidak boleh sembarangan
menetapkan hukum perkara terhadap perkara yang jika dikerjakan berdosa
(larangan dan pengharaman) atau terhadap perkara yang jika ditinggalkan
berdosa (kewajiban) karena perkara tersebut adalah hak Allah Azza wa
Jalla menetapkannya atau mensyariatkannya
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa
agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah
diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya
dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa). Allah ta’ala
tidak lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan
berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan
beberapa larangan (dikerjakan berdosa)), maka jangan kamu langgar dia;
dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan
kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai
tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu
perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Telah sempurna agama Islam maka telah sempurna atau tuntas segala
laranganNya, apa yang telah diharamkanNya dan apa yang telah
diwajibkanNya, selebihnya adalah perkara yang didiamkanNya atau
dibolehkanNya.
Firman Allah ta’ala yang artinya “dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS Maryam [19]:64)
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-Maaidah: [5] : 3)
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak
ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu
yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali
perkara yang di syariatkan-Nya.”
Rasulullah Shallallau ‘Alaihi
wa Sallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah
halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan
apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan
dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala
sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali
Rabbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya.
Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)
Jadi kaum muslim tidak boleh
mengada ada larangan yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak
diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya karena hal
tersebut termasuk bid'ah dalam urusan agama (urusan kami) yakni bid'ah
dalam urusan Allah Azza wa Jala untuk menetapkannya atau
menyasriatkannya. Allah ta'ala tidak lupa. Hal ini telah dijelaskan
dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/10/29/tidaklah-tuhanmu-lupa/ Bidah dalam urusan agama (urusan kami) atau bid'ah dalam perkara syariat termasuk bid'ah yang sesat (dholalah)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang
membuat perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya (tidak
turunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Telah menceritakan kepada kami Ya’qub telah menceritakan kepada kami
Ibrahim bin Sa’ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah
radliallahu ‘anha berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang
tidak ada perintahnya (tidak turunkan keterangan padanya) maka perkara
itu tertolak.” (HR Bukhari 2499)
Firman Allah Azza wa Jalla
yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak
baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan
durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang
Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama)
Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7] :
33)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian
ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku
berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan
sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka.
Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan
atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi
supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak
turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Allah Azza wa
Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka
sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah
para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai
tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak
menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta
itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan
jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka
mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah
bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram
terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram,
kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada
mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Bagi orang-orang yang mengikuti
ulama yang berfatwa tanpa ilmu sama dengan menjadikan ulama-ulama mereka
"sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 ) karena ulama
mereka boleh jadi melarang atau mengharamkan yang tidak dilarang atau
diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla
Jadi ulama tidak boleh
sembarangan berfatwa untuk melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan
yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya.
Jika ragu dalam beristinbat atau menetapkan suatu hukum perkara maka
sebaiknya untuk perkara yang dianggap terlarang hukum perkara
tertingginya adalah makruh sedangkan untuk perkara yang dianggap
kebaikan, hukum perkara tertingginya adalah anjuran atau sunnah(mandub).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Orang muslim yang
paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya
adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak
diharamkan (dilarang) bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu
tersebut diharamkan (dilarang) bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR
Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)
Berikut contoh kasus beberapa ulama melarang wanita berziarah kubur, mereka beralasan dengan hadits:
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم لعن زوارات القبور
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam melaknat zawaaraat (wanita peziarah) kubur. (HR. At
Tirmidzi No. 1056, )
عن ابن عباس قال لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم زائرات القبور والمتخذين عليها المساجد والسرج .
Dari Ibnu Abbas, katanya: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
melaknat para wanita yang berziarah kubur, dan orang-orang yang
menjadikan masjid dan penerangan di atasnya. (HR. Abu Daud No. 3236)
Inilah pendapat ulama Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, ulama Abdul
Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, ulama Sholeh Al-Fauzan dan lainnya. Menurut
mereka hadits ini tegas menjadi larangan bagi wanita, yakni haram
berziarah kubur. Makna zawarat menurut mereka bukan sering atau banyak
berziarah, tetapi bermakna asalnya yakni berziarah itu sendiri.
Ulama Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan berkata “Dan ziarah itu disyariatkan
bagi laki-laki, adapun wanita diharamkan bagi mereka berziarah kubur”
(Al-Muntaqo Min Fatawa, Sholeh Al-Fauzan).
Ulama Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr menjelaskan:
فالقول الصحيح هو القول بالتحريم، وأن النساء لا يجوز لهن أن يزرن القبور،
ثم أيضاً -كما هو واضح- أن المرأة إذا تركت الزيارة فأكثر ما في الأمر
أنها تركت أمراً مستحباً، وأما إذا فعلت الزيارة فإنها تتعرض للعنة كما في
هذا الحديث، ومعلوم أن ترك هذا الفعل الذي تسلم فيه من اللعنة أولى ومقدم
على كونها تفعل شيئاً لو تركته لم يحصل لها شيء إلا أنها تركت أمراً
مستحباً لا يترتب على تركه شيء. إذاً: القول بالتحريم والمنع هو الأظهر
والأولى
Maka, pendapat yang benar adalah pendapat yang
mengharamkannya, bahwa wanita tidak boleh berziarah kubur, lalu juga
–sebagaimana yang telah jelas- bahwa wanita jika dia meninggalkan
ziarah, maka paling banyak dia akan meninggalkan perkara sunah saja,
ada pun jika dia melakukan ziarah, maka dia akan mendapatkan laknat
sebagaimana disebutkan oleh hadits, telah maklum bahwa meninggalkan
perbuatan ini, yang dengan itu akan membuatnya selamat dari laknat,
adalah lebih utama dan didahulukan dibanding dia melakukan perbuatan
yang jika dia tinggalkan tidak berdampak apa-apa, melainkan hanya dia
telah meninggalkan anjuran saja, dan jika dia tinggalkan tidak apa-apa.
Jadi, pendapat yang mengharamkannya lebih kuat dan utama. (Syarh Sunan
Abi Daud, 17/150)
Sedangkan fatwa Abdul Aziz bin Baaz ada pada
http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihatfatwa&id=626 Banyak ulama yang membolehkan wanita untu berziarah kubur dan telah mengkoreksi alasan-alasan pihak yang melarang ini.
عن بُرَيْدَة - رضي الله عنه - ، قَالَ : قَالَ رسول الله - صلى الله عليه
وسلم - : (( كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عن زِيَارَةِ القُبُورِ فَزُوروها ))
رواه مسلم . وفي رواية : (( فَمَنْ أرَادَ أنْ يَزُورَ القُبُورَ
فَلْيَزُرْ ؛ فإنَّهَا تُذَكِّرُنَا الآخِرَةَ ))
Dari Buraidah
Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam: “Dahulu saya melarang kalian dari berziarah kubur, maka sekarang
berziarahlah.” (HR. Muslim). Riwayat lain: “maka barangsiapa yang
hendak berziarah kubur maka berziarahlah, karena hal itu bisa
mengingatkan akhirat.”
Kata fazuuruuha (maka berziarahlah kalian) adalah berlaku umum, baik laki-laki atau wanita.
Imam At Tirmidzi Rahimahullah mengatakan tentang hadits La’ana Az
Zawaaraat Al Qubur (Rasulullah melaknat wanita yang berziarah kubur):
قد رأى بعض أهل العلم أن هذا كان قبل أن برخص النبي - صلى الله عليه وسلم - في زيارة القبور، فلما رخص دخل في رخصته الرجال والنساء.
Sebagian ulama mengatakan bahwa hal ini terjadi ketika sebelum
diberikan keringanan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang
ziarah kubur, maka ketika sudah diberikan keringanan, maka keringanan
itu mencakup laki-laki dan wanita. (Lihat Sunan At Tirmidzi No. 1056,
lihat juga Imam As Suyuthi dalam Syarh Sunan Ibni Majah, 1/113, Imam Al
Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 2/417 )
Imam Ibnu Abdil Bar menyebutkan:
قال أبو بكر وسمعت أبا عبد الله يعني أحمد بن حنبل يسأل عن المرأة تزور
القبر فقال أرجو إن شاء الله أن لا يكون به بأس عائشة زارت قبر أخيها قال
ولكن حديث ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم لعن زوارات القبور ثم قال
هذا أبو صالح ماذا كأنه يضعفه ثم قال أرجو إن شاء الله عائشة زارت قبر
أخيها قيل لأبي عبد الله فالرجال قال أما الرجال فلا بأس به
Berkata Abu Bakar: Aku mendengar Abu Abdillah –yakni Imam Ahmad bin
Hambal- ditanya tentang wanita yang berziarah kubur. Beliau menjawab:
“Aku harap hal itu tidak apa-apa, Insya Allah. ‘Aisyah menziarahi kubur
saudaranya. ” Orang itu berkata: “Tetapi ada hadits Ibnu Abbas bahwa
Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam melaknat wanita peziarah kubur.” Imam
Ahmad menjawab: “Hadits ini terdapat Abu Shalih.” Apa yang
dikatakannya seakan dia mendhaifkan hadits ini. Lalu Imam Ahmad berkata:
“Aku harap tidak apa-apa, Insya Allah, ‘Aisyah berziarah ke kubur
saudaranya.” Ditanyakan kepada beliau: “Kalau kaum laki-laki?” Beliau
menjawab: “Ada pun laki-laki, tidak apa-apa.” (At Tamhid, 3/234)
Imam As Suyuthi mengatakan, bahwa yang dilaknat dalam hadits ini adalah
wanita yang berziarah dengan tanpa menjaga adab dan akhlak, katanya:
إن اللعن محمول على زيارتهم بما لا يجوز كالتبرج والجزع والصياح وغير ذلك
مما لا ينبغي ، وأما إذا أمن جميع ذلك فلا مانع من الإذن لهن
Sesungguhnya laknat di sini dimaknai bahwa ziarahnya mereka itu
dibarengi dengan hal-hal yang tidak diperbolehkan seperti tabarruj
(bersolek), mengeluh, berteriak, dan hal-hal tidak pantas lainnya. Ada
pun jika aman dari semua hal ini, maka tidak terlarang mengizinkan
mereka (untuk ziarah). (Misykah Al Mashabih, 5/1033)
Hadits ini
telah mansukh (dihapus) sebagaimana yang disebutkan oleh Imam At
Tirmidzi, Imam Al Baghawi, dan lainnya, bahwa laknat ini terjadi ketika
sebelum diberikan kebolehan berziarah.
Mansukh-nya hadits ini semakin jelas dengan riwayat ketika ‘Aisyah berziarah ke kubur saudaranya:
فقيل لها أليس قد نهى النبي صلى الله عليه و سلم عن ذلك قالت نعم كان نهى ثم أمر بزيارتها انتهى
Dikatakan kepada ‘Aisyah, bukankah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
telah melarang hal itu? Beliau menjawab: “Ya, dahulu Beliau melarang,
kemudian Beliau memerintahkan untuk berziarah.” (Tuhfah Al Ahwadzi,
4/137)
Aisyah Radhiallahu ‘Anha pernah berziarah ke kubur saudaranya, bernama Abdurrahman bin Abu Bakar.
عن ابن أبي مليكة عن عائشة رضي الله عنها أنها كانت إذا قدمت مكة جاءت إلى
قبر أخيها عبد الرحمن بن أبي بكر رضي الله عنهما فسلمت عليه
Dari
Ibnu Abi Malikah, dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Beliau jika
datang ke Mekkah, mendatangi ke kubur saudaranya Abdurrahman bin Abu
Bakr Radhiallahu ‘Anhuma, dan mengucapkan salam kepadanya. (HR. Al
Fakihi, Akhbar Makkah, No. 2443, Ibnu Abdil Bar, At Tamhid, 3/235)
Apa yang ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha lakukan menunjukkan kebolehannya,
sebab jika berziarah ke kubur terlarang bagi wanita, tentu ‘Aisyah
adalah pihak yang paling tahu itu, karena Beliau isteri terdekat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu menceritakan:
مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِامْرَأَةٍ تَبْكِي
عِنْدَ قَبْرٍ فَقَالَ اتَّقِي اللَّهَ وَاصْبِرِي قَالَتْ إِلَيْكَ عَنِّي
فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيبَتِي وَلَمْ تَعْرِفْهُ فَقِيلَ لَهَا
إِنَّهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَتْ بَابَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ
بَوَّابِينَ فَقَالَتْ لَمْ أَعْرِفْكَ فَقَالَ إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ
الصَّدْمَةِ الْأُولَى
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
melewati seorang wanita yang menangis di sisi kubur. Nabi bersabda:
“Bertaqwa-lah kepada Allah dan bersabarlah.” Wanita itu berkata: “Enyah
kau dariku, kau tidak mendapatkan musibah seperti yang aku terima.”
Wanita itu tidak mengenalinya, lalu dikatakan kepadanya bahwa itu adalah
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Lalu wanita itu mendatangi pintu
rumah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak menemui penjaga pintu.
Lalu dia berkata: “Aku tadi tidak mengenali engkau.” Nabi bersabda:
“Sabar itu dihantaman yang pertama.” (HR. Bukhari No. 1283)
Hadits ini sangat jelas menunjukkan kebolehannya, jika terlarang
tentulah wanita itu sudah dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam.
Wassalam