Senin, 30 November 2015

Nasihat-Nasihat Imam Al-Ghazaly


-Nasihat Pertama (1) Imam al-Ghazali-

“Buku-buku yang ditulis oleh Syeikh, seperti Ihya Ulumidin dan banyak kitab lainnya cukup untuk menjawab setiap persoalan yang saya hadapi, namun, saya berharap Syeikh menulis kesimpulan penting dalam beberapa halaman saja, agar bisa saya jadikan bekal hidup, dan saya jadikan pedoman sepanjang hayat, Insya Allah”, pinta sang murid.
Kemudian Imam al-Ghazali menjawab, “Anaku terkasih, semoga Allah memanjangkan usiamu dalam ketaatan kepada-Nya. Dan menuntunmu menuju jalan yang dilalui para pecinta-Nya, nasihat bertebaran dalam buku-buku yang bersumber dari ajaran Rasulullah saw, pasti diantaranya telah Engkau ketahui, jika ya lalu apa lagi gunanya nasihatku? Jika tidak ada yang kau dapat sedikitpun, lalu apa yang telah Engkau peroleh selama bertahun-tahun ini?
Lalu Imam al-Ghazali menyampaikan nasihat pertamanya
(1); “Anaku, diantara nasihat Rasulullah saw kepada umatnya, beliau Saw menyampaikan: “Pertanda Allah Swt menjauhi hambanya adalah seorang hamba sibuk dengan sesuatu yang tidak penting, jika sedetik saja manusia melewatkan usianya untuk sesuatu yang tidak ada nilainya (sebuah aktivitas yang tidak memberi ruang untuk niat baik), layak ia berduka sepanjang waktu.
Siapa saja yang melewati usia 40 tahun sedangkan kebaikannya tidak lebih banyak dari keburukannya, maka besiaplah menyambut api neraka’, nasihat dari Rasulullah saw ini cukup bagi orang yang paham. (al-Gazali, Ayyuha al-Walad).

Nasihat Kedua (2) Imam al-Ghazali
“Anaku, memberi nasihat itu mudah, yang sulit adalah menerimanya. Karena bagi mereka yang menuruti nikmatnya ajakan hawa, nasihat itu teras amat pahit, sebab segala yang terlarang terasa menyenangkan baginya. Terutama, para pelajar atau santri mereka mengira ilmu yang mereka miliki tanpa diamalkan akan dapat membawa mereka pada kebahagiaan dan keselematan. Ini keyakinan filosof. Maha Suci Allah yang Maha Agung, mereka tidak tahu bahwa ilmu yang dimiliki tanpa diamalkan hanya akan menjadi penuntut dihadapan Allah kelak.
Rasulullah Saw bersabda, “Siksa paling berat pada hari kiamat kelak akan menimpa seorang berilmu namun tidak mengamalkan ilmunya.”
Alkisah pada malam hari setelah sehari wafat Imam al-Junaid ada seorang ulama yang bermimpi bertemu dengannya. al-Junaid ditanya, bagaimana keadaan Anda wahai Imam? Ilmu dan penemuan-penemuan saat ini tidak lagi memberi manfaat, kecuali raka’at-rakaat shalat yang telah aku lakukan ditengah malam”.
(al-Ghazali, Ayyuhal Walad)

Nasihat Ketiga (3) Imam al-Ghazali
“Anaku, jangan sampai Engkau defisit amal, tidak mempunyai pengalaman spiritual, dan yakinlah bahwa ilmu tanpa amal tiada guna. Jika seorang lelaki memiliki sepuluh pedang dan beberapa jenis senjata lain berada di hutan belantara, laki-laki itu seorang petarung tangguh atau tentara perang yang perkasa, kemudian datanglah seekor singa besar, gagah dan membuat ciut nyali, apakah Kau kira senjata sebanyak itu bisa menyelamatkan laki-laki tadi jika ia sama sekali tidak menggunakan pedangnya untuk menusuk singa demi melindungi diri? Tentu senjata sebanyak apapun tidak berarti apa-apa jika ia tidak menggunakannya untuk menyerang singa.
Demikian pula jika seseorang membaca 100.000 kitab ilmiah, ia mempelajarinya dengan seksama akan tetapi ia tidak mengamalkan pengetahuannya itu, ketahuilah hasil bacaannya tidak bermanfaat apa-apa kecuali jika ia mengamalkannya.
Sama halnya ketika ada orang yang terjangkit penyakit tipes, meskipun dokter memberi resep dan ia tahu bisa sembuh dengan obat itu, tapi jika ia tidak meminumnya, resep dokter tinggalah sebatas resep.
Seandainya Engkau mempelajari aneka disiplin ilmu 100 tahun lamanya, dan engkau membaca 1000 kitab, itu tidak cukup untuk menyongsong rahmat Allah Swt kecuali jika itu semua diamalkan.
“Tidak bermanfaat bagi manusia kecuali apa yang ia usahakan” (Qs. al-Najm: 39), “Barangsiapa berharap berjumpa Tuhannya, hendaklah ia beramal shalih” (Qs. al-Kahfi: 11) dan banyak ayat lainnya menjadi dasar argumen ini.
Apa pendapatmu tentang hadis berikut “Islam ditegakan atas lima dasar, pertama bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, kedua mendirikan shalat, ketiga mengeluarkan zakat, keempat puasa pada bulan Ramadhan, kelima melaksanakan ibadah haji bagi yang mempunyai bekal yang cukup”.
Iman adalah pernyataan lisan, membenarkan dalam hati dan merealisasikan dalam perbuatan. Dalil pentingnya pengamalan tak terhitung jumlahnya. Ya betul seorang hamba bisa masuk kedalam surga Allah atas anugrah dan kemurahan Allah swt, akan tetapi itu ia dapatkan setelah ia memantaskan diri dengan ketaatan, dan ibadah, karena rahmat Allah itu dekat kepada al-muhsinin (orang yang melakukan amal lebih dari sekedar memenuhi kewajiban atau kefardhuan).
Jika ada yang mengatakan rahmat Allah bisa digapai dengan iman saja, Aku jawab; ‘betul, akan tetapi kapan bisa menggapai? berapa banyak hambatan agar ia bisa menggapai? Iman itu bukan etape akhir tapi etape pertama, apakah ia menjamin ia bisa menjaga dari ketercabutan iman itu? Jika seandainya pun sampai, tentu ia dalam keadaan bangkrut dari amal.
Oleh sebab itu Imam Hasan al-Bahsri mengatakan,
“Kelak Allah Swt pada hari kiamat akan menyeru hamba-Nya, ‘masuklah wahai hambaku ke surga dengan rahmatku, dan bagilah rahmatku diantara kalian sesuai dengan saham (amal) mu’. (Al-Ghazali, Ayyuhal walad).

Nasihat Keempat (4) Imam al-Ghazali
“Anaku, engkau tidak bekerja (beramal) maka engkau tidak akan mendapat upah (pahala).
Dikisahkan, dahulu kala ada seorang pemuda dari Bani Israil tak kurang 70 tahun ia beribadah dengan ketat kepada Allah swt. Allah swt ingin menunjukan kemuliaan pemuda itu kepada Malaikat. Allah swt mengutus satu Malaikat untuk menyampaikan pesan kepada pemuda itu bahwa ia dengan ibadah yang sudah dilakukannya belum layak masuk surga. Setelah Malaikat menyampaikan pesan itu. Pemuda ahli ibadah tadi menjawab, ‘Kami diciptakan hanya untuk ibadah, (apapun yang terjadi) ibadah adalah tugas kami’. Malaikat berkata, ‘Tuhanku Engkau Maha Mengetahui apa yang dikatakan pemuda tadi’. Allah swt berfirman, ‘Dia tidak berhenti beribadah, Aku dengan kemurahanKu tida akan berhenti menagugerahinya rahmat. Saksikanlah wahai Malaikat-Ku Aku telah mengampuni dosanya’.
Rasulullah saw bersabda “berhitunglah kalian atas amal kalian sebelum kalian diadili, dan timbanglah amal kalian sebelum perbuatan kalian diadili”.
Imam Ali RA berkata, ‘Siapa saja yang menduga ia akan menggapai rahmat Allah tanpa mengerahkan tenaga maka orang itu pengkhayal, dan barang siapa yang yakin dengan upaya yang keras bisa menggapai rahmat Allah adalah orang yang lancang’.
Imam Hasan Rahimahullah berkata, “mengharap surga tanpa beramal adalah dosa besar”. Hasan menambahkan, “Ciri orang sampai pada makom hakikat ia tidak pernah belihat istimewa amalnya bukan meninggalkan amalannya”.
Rasulullah saw bersabda, “Orang bejo itu adalah orang yang rendah hati dan memperbanyak amal baik untuk menyongsong kehidupan setelah mati, dan orang idiot itu orang yang menuruti ajakan hawa nafsu dan banyak pengharapan kepada Allah swt”. (al-Ghazali, Ayyuhal walad).
Sumber : Habibana Muhammad Lutfi bin Ali Yahya, 

Perbedaan Posisi Imam Shalat Jenazah Untuk Mayit Lelaki dan Wanita



ketika imam salat janazah posisinya tidak sama antara janazah laki-laki dan perempuan. Hal ini berdasarkan beberapa riwayat berikut:


عَنْ أَبِى غَالِبٍ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَلَى جَنَازَةِ رَجُلٍ فَقَامَ حِيَالَ رَأْسِهِ ثُمَّ جَاءُوا بِجَنَازَةِ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ فَقَالُوا يَا أَبَا حَمْزَةَ صَلِّ عَلَيْهَا. فَقَامَ حِيَالَ وَسَطِ السَّرِيرِ. فَقَالَ لَهُ الْعَلاَءُ بْنُ زِيَادٍ هَكَذَا رَأَيْتَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَامَ عَلَى الْجَنَازَةِ مُقَامَكَ مِنْهَا وَمِنَ الرَّجُلِ مُقَامَكَ مِنْهُ قَالَ نَعَمْ. فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ احْفَظُوا. (سنن الترمذي - ج 3 / ص 352)
”Abu Ghalib berkata: Saya salat janazah laki-laki bersama Anas bin Malik, kemudian ia berdiri lurus dengan kepala mayit. Lalu mereka mendatangkan janazah wanita dari Quraisy, mereka berkata: Wahai Abu Hamzah (kunyah / nama sebutan Anas), salatkanlah janazah wanita ini! Kemudian Anas berdiri lurus di tengah-tengah tempat janazah. Ala’ bin Ziyad bertanya: Seperti inikah engkau melihat Rasulullah Saw berdiri di depan janazah sebagaimana kamu berdiri di depan janazah laki-laki dan perempuan? Anas menjawab: Ya. Selesai salat Anas berkata: Jagalah oleh kalian” (HR Turmudzi, ia berkata hadis ini hasan. Asy-Syaukani berkata: Perawi sanadnya terpercaya)

Untuk posisi janazah wanita dijelaskan dalam hadis-hadis sahih:
عَن سَمُرَة بْن جُنْدُبٍ – رضى الله عنه – قَالَ صَلَّيْتُ وَرَاءَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – عَلَى امْرَأَةٍ مَاتَتْ فِى نِفَاسِهَا فَقَامَ عَلَيْهَا وَسَطَهَا  (البخارى 1332)
”Samurah bin Jundub berkata: Saya salat di belakang Rasulullah Saw terhadap janazah wanita yang meninggal saat nifasnya, kemudian Rasulullah berdiri di tengah-tengahnya” (HR al-Bukhari 1332 dan Muslim 2281)

Kendati demikian, para ulama berbeda pendapat berdasarkan dalil masing-masing:
 ( وَقَدْ ذَهَبَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ إِلَى هَذَا ) أَيْ إِلَى أَنَّ الْإِمَامَ يَقُومُ حِذَاءَ رَأْسِ الرَّجُلِ وَحِذَاءَ عَجِيزَةِ الْمَرْأَةِ ( وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ ) وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَهُوَ الْحَقُّ وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ ... وَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ إِلَى أَنَّ الْإِمَامَ يَقُومُ بِحِذَاءِ صَدْرِ الْمَيِّتِ رَجُلًا كَانَ أَوْ اِمْرَأَةً ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ الْمَشْهُورُ . وَقَالَ مَالِكٌ : يَقُومُ حِذَاءَ الرَّأْسِ مِنْهُمَا ، وَنُقِلَ عَنْهُ أَنْ يَقُومَ عِنْدَ وَسَطِ الرَّجُلِ وَعِنْدَ مَنْكِبَيْ الْمَرْأَةِ . وَقَالَ بَعْضُهُمْ : حِذَاءَ رَأْسِ الرَّجُلِ وَثَدْيِ الْمَرْأَةِ وَاسْتَدَلَّ بِفِعْلِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ... قَالَ الشَّوْكَانِيُّ بَعْدَ ذِكْرِ هَذِهِ الْأَقْوَالِ : وَقَدْ عَرَفْت أَنَّ الْأَدِلَّةَ دَلَّتْ عَلَى مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَأَنَّ مَا عَدَاهُ لَا مُسْتَنَدَ لَهُ مِنْ الْمَرْفُوعِ إِلَّا مُجَرَّدُ الْخَطَأِ فِي الِاسْتِدْلَالِ أَوْ التَّعْوِيلِ عَلَى مَحْضِ الرَّأْيِ أَوْ تَرْجِيحِ مَا فَعَلَهُ الصَّحَابِيُّ عَلَى مَا فَعَلَهُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (تحفة الأحوذي - ج 3 / ص 91)
”Sebagian ulama berpendapat bahwa imam berdiri lurus dengan kepala janazah laki-laki, dan berdiri lurus dengan posisi tengah janazah wanita. Ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq, dan Syafii. Ini adalah pendapat yang benar, dan sebuah riwayat dari Abu Hanifah. Sebagian ulama Hanafiyah berpendapat bahwa imam berdiri lurus dengan dada mayit, baik laki-laki maupun wanita, ini adalah pendapat yang masyhur dari Abu Hanifah. Malik berkata: Imam berdiri lurus dengan kepala janazah laki-laki maupun wanita. Diriwayatkan pula dari Malik bahwa imam berdiri di tengah janazah laki-laki dan pundak janazah wanita. Sebagian ulama berkata: Lurus dengan kepala mayit laki-laki dan dada mayit wanita. Mereka berdalil dengan yang dilakukan oleh Ali Ra. Asy-Syaukani berkata setelah menyebut pendapat-pendapat di atas: ”Anda mengetahui bahwa dalil-dalil menunjukkan pada pendapat Syafii. Dan pendapat lainnya tidak memiliki sandaran hadis kecuali kesalahan dalam mencari dalil atau berpegangan pada suatu pendapat atau menguatkan apa yang dilakukan sahabat daripada apa yang dilakukan oleh Nabi Saw” (Tuhfat al-Ahwadzi Syarah Sunan at-Tirmidzi 3/91)

Wallahu A’lam

Minggu, 01 November 2015

KH Masjkur, Komandan Barisan Sabilillah



KH Masjkur, Komandan Barisan Sabilillah
Satu dari sekian tokoh dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) yang layak disematkan gelar pahlawan adalah KH Masjkur (baca: Masykur). Kiai Masjkur yang pernah mengemban amanah sebagai Menteri Agama RI ini ikut berjuang dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah dan terdaftar sebagai salah satu “the founding father”.

Perjuangan ulama yang lahir di Singosari Malang tahun 1899 M/1315 H ini telah dirintis sejak usia muda di bidang pendidikan, dengan mendirikan Pesantren Misbahul Wathan. Namun, sebelum mendirikan pesantren dan terjun ke masyarakat, Masjkur muda terlebih dahulu telah mempersiapkan modal awal bagi dirinya sendiri, dengan mengenyam pelajaran agama di beberapa pesantren dengan berbagai konsentrasi keilmuan, antara lain Pesantren Kresek Cibatu, Pesantren Bungkuk Malang di bawah asuhan Kiai Thohir, Pesantren Sono Bundaran Sidoarjo untuk belajar nahwu sharaf dan di Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo untuk memperdalam ilmu fiqih.

Kemudian, di Tebu Ireng Jombang, ia menimba ilmu hadist dan tafsir dari Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Selain itu, Masjkur muda juga pernah berguru kepada Syaikhona Kholil Bangkalan Madura. Maka lengkap sudah, modal awal yang dimilikinya untuk menjadi seorang calon ulama dan pemimpin umat.

Ia juga sempat menjadi santri di Pesantren Jamsaren Surakarta, di bawah asuhan KH Idris, seorang kiai keturunan pasukan Pangeran Diponegoro. Di pesantren ini pula, ia bertemu dengan kawan-kawannya yang kelak juga menjadi pemimpin umat, antara lain KH Mustain (Tuban), KH Arwani Amin (Kudus) dan sebagainya. Sifat Kiai Idris yang terkenal non-kooperatif terhadap Belanda, ikut tertanam dalam jiwa sang murid, yang sedikit banyak mulai memahami arti penting perjuangan.

Mendirikan Pesantren

Setelah melanglangbuana ke berbagai daerah untuk menuntut ilmu, ia kembali ke Singosari dan di sana ia membuka pesantren yang diberi nama Misbahul Wathan (Pelita Tanah Air) pada tahun 1923.

Beberapa tahun berikutnya, ketika Nahdlatul Ulama berdiri, ia pun ikut aktif di dalamnya, dan di tahun 1932 ia sudah menjadi Ketua Cabang NU Kota Malang. Di organisasi tersebut, ia sering meminta nasihat kepada KH Wahab Chasbullah. Salah satunya, ketika pesantren yang ia pimpin sering mendapat gangguan dari pemerintah kolonial. Atas saran Kiai Wahab pula, ia kemudian mengganti nama pesantrennya menjadi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air). Sebelumnya, bersama Kiai Wahab, Kiai Masjkur juga sering mengikuti kegiatan kelompok Tashwirul Afkar yang sering membahas agama, dakwah dan sosial.
Pada tahun 1938, Masjkur diangkat sebagai salah satu Pengurus Besar NU yang berkedudukan pusat di Surabaya.

Perjuangan Perang

Keinginan untuk terbebas dari belenggu penjajahan, membuat para putera bangsa ini ikut mengangkat senjata untuk merebut kemerdekaan. Termasuk, Kiai Masjkur yang kala itu masih aktif sebagai seorang pengajar di Nahdlatul Wathan dan aktivis NU.

Pada zaman pendudukan Jepang, Masjkur menjadi utusan dari Karesidenan Malang untuk mengikuti latihan kemiliteran di Bogor, disusul dengan latihan khusus bagi ulama. Dari itulah, “karirnya” di bidang militer dimulai. Ia berjuang bersama pasukan Hizbullah. Hingga, sejak 1945-1947 ia diangkat menjadi Ketua Markas Tertinggi Sub. Bagian Sabilillah yang berpusat di Kota Malang.

Belakangan, ia juga ikut dimasukkan dalam Dewan Pertahanan Negara dan anggota Konstituante.

Dalam suasana perang yang tengah berkecamuk, Masjkur beberapa kali dipercaya untuk mengemban amanah Menteri Agama (Menag), secara berturut-turut pada Kabinet Amir Syarifuddin (1947), Kabinet Presidenssil Moh. Hatta (1948), Kabinet VII Negara RI, Kabinet Darurat dan Komisariat PDRI (1949), Kabinet Hatta (1949) dan Kabinet Peralihan RI. Ia sempat mundur dari posisi Menag, karena sakit-sakitan akibat bergerilya. Pada masa Kabinet Ali-Arifin (1953-1955) ia kembali dipercaya untuk menjadi Menag.

Alhasil, ketika menjadi seorang menteri, ia juga ikut bergerilya bersama para pejuang lainnya (pernah pula bergabung bersama kelompok gerilyawan yang dipimpin Panglima Besar Soedirman), sembari tetap mengatur jalannya kementrian yang ia pimpin, mulai dari soal instruksi serta peraturan darurat. Kemudian juga menyusun KUA, pengadilan agama, pendidikan, madrasah, mengatur shalat, dan membantu secara nyata perjuangan nasional.

Sebagai Menag, tiap bulan ia mendapat gaji Rp. 300 Oeang Repoeblik Indonesia (ORI), jumlah uang yang saat itu cukup untuk makan sekeluarga selama sepekan.

Saat kembali menjadi Menag, di tahun 1954 Kiai Masjkur memprakarsai Konferensi Ulama yang diadakan di Cipanas Jawa Barat. Pertemuan para ulama tersebut, salah satunya menetapkan gelar “Waliyul Amri Dlaruri bis Syaukah” (pemegang pemerintahan dalam keadaan darurat dengan kekuasaan penuh) untuk Presiden Soekarno. Penetapan tersebut berdasar pada pertimbangan syara’, yakni Presiden RI saat itu terpilih belum memperoleh “baiat” dari rakyat karena tidak dipilih melalui Pemilu. Penetapan itu sekaligus menghapus kecurigaan dari golongan tertentu, apakah umat Islam Indonesia mengakui kepemimpinan Soekarno (RI) atau Kartosuwiryo (DI/TII).

Memimpin NU

September 1951, menjelang dilaksanakannya Muktamar NU ke-19 yang akan dihelat di Palembang, Saat itu NU masih masuk dalam Masyumi, PBNU membentuk sebuah badan yang bernama Majelis Pertimbangan Politik (MPP) PBNU, terdiri dari 9 ulama, termasuk di dalamnya Kiai Masjkur. Badan tersebut dibentuk dalam sebuah rapat PBNU yang diadakan di sebuah rumah milik KH Abdulmukti, Jl. Slamet Riyadi 45 Solo.

Kemudian, Muktamar NU ke-19 digelar 26 April – 1 Mei 1952 dan menghasilkan sebuah keputusan penting : NU memisahkan diri dari Masyumi!

Sejak Muktamar NU ke-19, Kiai Masjkur memimpin NU sebagai Ketua Umum Tanfidziyah. bersama KH Wahid Hasyim yang menjadi Ketua Muda. Sedangkan posisi Rais ‘Aam masih dipegang KH Wahab Chasbullah.

Namun, setelah wafatnya KH Wahid Hasyim serta diangkatnya KH Masjkur kembali menjadi Menteri Agama, maka PB Tanfidziyah sehari-hari dipimpin oleh KH M Dahlan.

Kiai Masjkur terus berjuang bersama NU hingga akhir hayatnya. Tercatat selepas menjadi ketua, ia tetap aktif di kepengurusan PBNU yakni anggota tanfidziyah (1954-1956), Ketua Fraksi Konstituante Partai NU (1956-1959), Ketua Sarbumusi (1959-1962), Rais Syuriyah (1967-1971, 1971-1979) dan Mustasyar (1984-1989, 1989-1994). Hingga wafat pada tahun 1992, Kiai Maskjur masih tercatat dalam kepengurusan Mustasyar PBNU.

Kiai Masjkur dimakamkan di pemakaman yang terletak di kompleks Masjid Bungkuk Singosari Malang, yang juga terdapat makam KH Nahrawi Thohir dan Kiai Thohir. Lahumul-fatihah! (Ajie Najmuddin)

*Foto bersumber dari buku Aboebakar Atjeh tentang Sejarah Hidup KH A Wahid Hasjim. Foto ini belum banyak beredar.

Mengenang Jejak KH Ahmad Siradj Solo



Mengenang Jejak KH Ahmad Siradj Solo
Selama ini, tokoh yang akrab dengan panggilan Mbah Siradj (baca : Siroj) dari Kota Solo, dikenal sebagai seorang waliyullah yang memiliki berbagai kisah penuh karomah. Semisal, ia memiliki ilmu “melipat bumi”, sehingga perjalanan yang ia tempuh menjadi lebih singkat atau cerita tentang berbagai kekeramatan lainnya.
Namun, pada tulisan kali ini, sengaja penulis tidak paparkan berbagai kisah kekeramatan yang dimiliki Kiai Siradj, akan tetapi lebih pada kepribadian serta kisah perjuangannya, agar selalu dikenang dan dapat diteladani oleh para generasi sesudahnya.
Dari buku Mengenang Jejak Kyai Ahmad Siroj Sala (1989), diperoleh keterangan ayah Kiai Siradj bernama Kiai Umar atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Pura, salah seorang Waliyullah. Makam Kiai Imam Pura berada di Susukan, Kabupaten Semarang. Kiai Imam Pura ini bila ditarik lebih adalah memiliki garis keturunan dengan Sunan Hasan Munadi, salah seorang paman R. Fatah yang ditugaskan mengislamkan daerah lereng Gunung Merbabu sebelah utara, atau sekarang dikenal sebagai Desa Nyatnyono.
Selain Kiai Siraj, Kiai Imam Pura ini memiliki beberapa keturunan, di antaranya adalah Kyai Kholil yang bermukim di Kauman, Solo, dan Kyai Djuwaidi yang bertempat tinggal di Tengaran, Kabupaten Semarang.
Sosok yang Inklusif
Kiai Siradj dilahirkan pada tahun 1878 M. Secara fisik, penampilan Mbah Siradj cukup mudah untuk dikenali, sebab dalam sehari-hari maupun saat bepergian jauh, ia sering berpakaian khas dengan memakai iket (semacam kain batik yang digunakan untuk menutupi kepala), berbaju putih, bersarung ‘wulung’ dan memakai ‘gamparan’ tinggi.
Model pakaian ini agak mirip dengan pakaian yang dikenakan para ulama lain di lingkup Keraton Surakarta, semisal guru Mamba’ul Ulum yang memakai kain batik panjang, baju jas dengan leher tinggi (jas tutup) warna putih, dan memakai blangkon.
Namun, tidak hanya kekhasan dalam berpakaian semata, Mbah Siradj juga dikenal sebagai seorang ulama yang alim, bijaksana dan kharismatik. Setiap ucapannya, konon memiliki sejumlah sasmita (isyarat). Bahkan di wilayah Solo dan sekitarnya, banyak yang menyebutnya sebagai seorang Waliyullah, dengan ilmu dan beberapa karomah yang dimilikinya.
Salah satu cicit Mbah Siradj, Agus Taufik, menjelaskan kakek buyutnya dikenal banyak orang karena sosoknya yang inklusif, dan pendekatannya dalam menyebarkan agama Islam dengan cara humanis.
“Mbah Siradj tidak pernah membedakan agama atau suku saat bergaul. Ajaran beliau untuk mempersatukan umat dan pluralisme, mungkin mirip dengan ajaran Gus Dur,” jelasnya.
Bahkan, karena sifatnya yang sangat terbuka terhadap segala macam lapisan masyarakat ini, hingga sekarang setiap diperingati haulnya, seorang penjual bakso di Notosuman yang beragama Khatolik dan seorang Tionghoa, berkenan mengirim tiga kambing serta beberapa kuintal beras untuk menyukseskan acara haul tersebut.
Berawal dari Gedhek
Semasa muda, Kiai Siradj pernah berguru kepada sejumlah ulama besar. Di antaranya di Pesantren Mangunsari yang berada di Nganjuk, Jawa Timur, Siradj muda menimba ilmu kepada Kyai Bahri (ayah Kiai Ibnu Mundhir). Kemudian di Pesantren Tremas, ia berguru kepada K.H. Dimyati At-Tirmizi, dan di Semarang, ia menjadi santri Kiai Sholeh Darat.
Setelah menimba ilmu dari berbagai pesantren, ia kemudian mendirikan pesantren (kelak dikenal dengan nama Pesantren As-Siroj) di Jalan Honggowongso 57 Kelurahan Panularan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah di atas tanah seluas 200 m².
Di pesantren tersebut, Kiai Siradj mengajarkan berbagai pelajaran, antara lain Sullamut Taufiq, Safinatun-Najah, Duratul-bahiyyah dan Fathul Qorib.
Menurut penuturan dari keturunannya, salah satunya Mujab Shoimuri (74), mengungkapkan bangunan pondok dulunya hanya sebuah gedhek (rumah sederhana). “Bangunan ini, dibangun Mbah Siradj, pada awalnya hanya sebuah gedhek. Kemudian setelah Mbah Siraj wafat tahun 1961, pesantren diasuh oleh ayah saya Kiai Shoimuri,” kenang Mujab, kala penulis menyambanginya tahun 2014 lalu.
Pada zaman dulu, Pesantren As-Siraj sangatlah ramai, begitu pula dengan lingkungan di sekitar pesantren. Sebab, selain karena ketokohan Kiai Siraj, di sekitarnya juga terdapat berbagai lembaga pendidikan terkenal seperti Pesantren Jamsaren, Al-Islam, Mamba’ul Ulum dan lain sebagainya.
Mujab juga mengisahkan, ketika ia masih kecil ia bersama santri lainnya, mengikuti pelajaran yang diajarkan Mbah Siradj, yakni belajar membaca surah al-fatihah dan tasyahud.
“Sesudah KH Shoimuri wafat, pondok diasuh oleh adik saya, KH Mubin Shoimuri. Saat dipegang Mubin kemudian tempat ini dibangun rumah dan pondok yang bagus. Santri lambat laun juga bertambah banyak, kalau bulan puasa bahkan ada sekitar 200 santri yang ikut mengaji di sini. Semuanya dicukupi mulai dari makan, pakaian dan lain-lain,” terang dia.
Kiai Mubin, yang juga pernah mengemban amanah sebagai Ketua Tanfidziyah PCNU Surakarta 2003-2008, mengasuh pondok sampai akhirnya dia wafat pada tahun 2007.
Mbah Siradj juga dikenal khalayak sebagai seorang guru Thariqah Qadariyah Naqsabandiyah. Setiap hari, ia senantiasa istiqamah melaksanakan shalat berjamaah lima waktu dan shalat sunnah rawatib, yang selalu dijalankannya secara lengkap.
Doa yang banyak dipanjatkan olehnya adalah “Ya Allah, Tuhan kami, Engkaulah yang kami tuju dan ridha-Mu yang kami cari. Berilah kepada kami ridha-Mu dan kecintaan-Mu serta ma’rifat-Mu.”
Ikut Barisan Kiai
Saat masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Indonesia dari cengkraman penjajah, Mbah Siradj juga ikut berjuang dalam kelompok “Barisan Kiai”. Barisan Kiai yang dibentuk pada akhir tahun 1945 ini berisi para kiai sepuh, yang diharapkan nasihat-nasihatnya dalam peperangan juga untuk membakar semangat para pejuang. Beberapa dari mereka juga ada yang memanggul senjata, ikut berperang di front terdepan.
Ulama lain yang tergabung dalam Barisan Kiai ini antara lain KH R M Adnan, Kiai Abdurrahman, Kiai Ma’ruf Mangunwiyoto, Kiai Abdul Karim Tasyrif, Kiai Martoikoro, dan Kiai Amir Thohar.
Sebagai salah satu anggota Barisan Kiai, Mbah Siradj sering didatangkan di hadapan para pejuang Laskar Hizbullah untuk memberikan pengarahan dan penggembelengan, baik jasmani maupun rohani.
H. Abdullah Adnan, veteran pejuang RI eks Laskar Hizbullah dan pasukan “Lawa-Lawa”, mengenang pernah suatu ketika ia dan pasukan lainnya yang tergabung dalam Hizbullah berkumpul di Begalon Solo. Ketika itu, tentara Belanda sudah mulai memasuki Kota Solo untuk mengadakan Agresi Militer II tahun 1948.
Saat itulah, Mbah Siradj bersama anggota Barisan Kiai mengadakan inspeksi kepada pasukan Hizbullah yang berjumlah sekitar 50 orang. Tiba-tiba seorang anggota Hizbullah bernama Hayyun, 25 tahun, didekati lalu dipeluknya seraya berucap : “ahlul jannah … ahlul jannah!”.
Tak lama kemudian, datang tentara Belanda dengan sejumlah pasukan tank, lewat Pasar Kembang ke arah selatan. Hayyun maju dengan beraninya sendirian sambil membawa granat nanas, lalu dicabutnya dan melompat sambil melempar granat ke arah tank. Ketika tank meledak, terbakarlah tentara Belanda yang berada di dalam tank juga termasuk Hayyun, si pelempar granat tersebut.
Wariskan Perjuangan NU
Tidak banyak yang dapat diceritakan dari kisah perjuangan Mbah Siradj bersama NU, mengingat keterbatasan data dan narasumber. Namun, dari satu fakta penting yang penulis temukan pada catatan dari Kongres ke Kongres (Muktamar) Nahdlatul Ulama (NU), nama KH Siradj tercatat pernah mengikuti Kongres I NU yang diadakan pada bulan Rabi’ul Awwal 1345 H/ 21-23 September 1926 di Hotel Muslimin Peneleh Kota Surabaya. Ketika itu ia datang bersama KH Mawardi (ayah KH Chalid Mawardi) sebagai utusan golongan ulama muda dari Kota Solo.
Melalui fakta tersebut, dapat penulis asumsikan, pertama, sosok bernama lengkap KH Ahmad Siradj ini merupakan salah satu tokoh generasi pertama yang ikut mendirikan NU di lingkup daerah Karesidenan Surakarta, khususnya di Kota Solo.
Kedua, ini berarti NU di Kota Solo juga sudah ada sejak tahun 1926, tahun awal berdirinya NU, meski baru dalam lingkup kecil. Sampai sekarang, Kota Solo sebagai sebuah kota pergerakan yang terdapat berbagai macam aliran ideologi, keberadaan NU di daerah itu, tentu menjadi pilihan warna dan wadah tersendiri bagi para kaum santri.
Perjuangan Mbah Siradj bersama NU kemudian diteruskan oleh anak keturunannya hingga sekarang. Semisal puteranya yang bernama KH Shoimuri (wafat tahun 1983) pernah menjadi Rais Syuriyah PCNU Boyolali. Kemudian dilanjutkan oleh para cucunya antara lain KH Tamam Shoimuri (Rais Syuriyah PCNU Boyolali/ wafat tahun 2014), KH Mubin Shoimuri (Ketua PCNU Surakarta/ wafat tahun 2007), KH Makin Shoimuri (Pengasuh Pesantren Putri Raudhatut Thalibin Leteh Rembang), Nyai Hj. Basyiroh Shoimuri (Ketua PP IPPNU periode kedua) dan lain sebagainya.
Kabar Kematian
Menjelang kematiannya, Mbah Siradj hadir dalam mimpi beberapa sahabatnya, antara lain KH Zaenal Makarim (Karang Gede).
“Mengapa saya sakit tak kau jenguk?” Tanya Mbah Siradj kepada KH Zaenal Makarim dalam mimpi.
Terperanjatlah Kiai Zaenal Makarim, lalu seketika beliau berangkat ke Solo untuk menjenguk Kyai Ahmad Siroj. Sesampai di Solo, ternyata jenazah telah diberangkatkan sampai di Jalan Rajiman, Kadipolo.
Kejadian serupa juga dialami oleh Habib Abdullah di Kepatihan, Solo. Pada pagi hari itu, ia bermimpi didatangi Mbah Siradj, dan membangunkannya seraya berucap : “Sampun nggih Bib, kula rumiyin, sampeyan kantun.” (Sudah ya, Bib! saya duluan, anda menyusul).
Alangkah terkejutnya Sang Habib. Seketika itu pula, Sayyid Abdullah pergi ke Panularan di mana rumah Kyai Ahmad Siroj. Ternyata dapat berita, bahwa Kyai Ahmad Siroj telah meninggal dunia pada pukul 04.00 pagi hari itu.
Kyai Ahmad Siroj wafat pada hari Senin Pahing, 27 Muharram 1381 H atau 10 Juni 1961 M. Jenazahnya dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Makam Haji, Kartasura, Sukoharjo.
(AhmadGhozali)

Daftar Pustaka :
Hakim, Adnan. 1989. Mengenang Jejak Kyai Ahmad Siroj Sala. Solo: Pesantren As-Siroj.
Aboebakar, Atjeh. Sejarah Hidup KH A Wahid Hasjim. Jombang: Pesantren Tebuireng.
Abdul Basit, Adnan. 2003. Prof. KHR Mohammad Adnan, Untuk Islam dan Indonesia. Solo: Yayasan Mardikontoko Surakarta.

Detik-detik Wafatnya Syekh Abdul Qadir al-Jailani



Detik-detik Wafatnya Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Jasadnya memang sudah terkubur lebih dari delapan abad. Namun nama dan tauladan hidupnya tetap membekas kuat di kalangan umat Islam. Dialah Syekh Abdul Qadir al-Jailani, ulama sufi kelahiran Persia yang kemasyhurannya setingkat dunia.

Syekh Abdul Qadir terkenal sebagai pribadi yang teguh dalam berprinsip, sang pencari sejati, dan penyuara kebenaran kepada siapapun, dan dengan risiko apapun. Usianya dihabiskan untuk menekuni jalan tasawuf, hingga ia mengalami pengalaman spiritual dahsyat yang mempengaruhi keseluruhan hidupnya. Jejak Syekh Abdul Qadir juga dijumpai dalam belasan karya orisinalnya.

Selain mewarisi banyak karya tulisan, Syekh Abdul Qadir meninggalkan beberapa buah nasehat menjelang kewafatannya. Akhir hayat Syekh didahului dengan kondisi kesehatannya yang terus menurun. Kala itu putra-putranya menghampiri dan mengajukan sejumlah pertanyaan.

”Berilah aku wasiat, wahai ayahku. Apa yang harus aku kerjakan sepergian ayah nanti?” tanya putra sulungnya, Abdul Wahab.

”Engkau harus senantiasa bertaqwa kepada Allah. Jangan takut kepada siapapun, kecuali Allah. Setiap kebutuhan mintalah kepada-Nya. Jangan berpegang selain kepada tali-Nya. Carilah segalanya dari Allah,” jawab sang ayah.

”Aku diumpamakan seperti batang yang tanpa kulit,” sambung Syekh Abdul Qadir. ”Menjauhlah kalian dari sisiku sebab yang bersamamu itu hanyalah tubuh lahiriah saja, sementara selain kalian, aku bersama dengan batinku.”

Putra lainnya, Abdul Azis, bertanya tentang keadaannya. ”Jangan bertanya tentang apapun dan siapapun kepadaku. Aku sedang kembali dalam ilmu Allah,” sahut Syekh Abdul Qadir.

Ketika ditanya Abdul Jabar, putranya yang lain, ”Apakah yang dapat ayahanda rasakan dari tubuh ayahanda?” Syekh Abdul Qadir menjawab, ”Seluruh anggota tubuhku terasa sakit kecuali hatiku. Bagaimana ia dapat sakit, sedang ia benar-benar bersama dengan Allah.”

”Mintalah tolong kepada Tuhan yang tiada tuhan yang wajib disembah kecuali Dia. Dialah Dzat yang hidup, tidak akan mati, tidak pernah takut karena kehilangannya.” Kematian pun segera menghampiri Syekh Abdul Qadir.

Syekh Abdul Qadir al-Jainlani menghembuskan nafas terakhir di Baghdad, Sabtu bakda maghrib, 9 Rabiul Akhir 561 H atau 15 Januari 1166 M, pada usia 89 tahun. Dunia berduka atas kepulangannya, tapi generasi penerus hingga sekarang tetap setia melanjutkan ajaran dan perjuangannya.

Ketika Hasan-Husain Menaiki Punggung Nabi



Ketika Hasan-Husain Menaiki Punggung Nabi


Menyayangi anak adalah sifat dan naluri yang dimiliki setiap orang tua. Tetapi, kasih sayang semacam apakah yang paling hakiki? Apakah dengan memanjakannya orang tua telah memenuhi tanggung jawabnya? Cerita dalam kitab Tanqih al-Qaul karya Syekh Nawawi al-Bantani berikut ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Suatu hari Abu Dzar dan sahabat-sahabat lainnya duduk berbicang dengan Rasulullah. Di tengah-tengah perbincangan, tiba-tiba kedua cucu beliau, Sayidina Hasan dan Husain, datang dan menaiki punggung kakeknya.

Setelah selesai bincang-bincang, Rasulullah pun meminta kepada kedua cucu kesayangannya untuk turun. “Wahai cucuku sayang, turunlah,” pinta Rasulullah.

Sayyinda Ali sebagai ayah menatap tajam kepada putra-putranya. Hasan dan Husain semakin takut dengan tatapan ayahnya tersebut, dan akhirnya keduanya turun dari punggung Rasulullah.

Rasulullah pun bertanya kepada kedua cucunya, “Kenapa kalian gemetar wahai cucuku?”

“Kami takut kepada ayah,” jawab polos Hasan dan Husain.

Sayidina Ali pun memberi pelajaran dengan memukul pelan paha kedua anaknya dan menasihati dengan nada sedikit tinggi, “Bersopan santunlah kalian ketika ada tamu, wahai putraku.”

Rasulullah pun berkata, “Wahai menantuku, Ali, janganlah kamu bentak Hasan dan Husain, karena mereka adalah buah hatiku.”

Ali pun langsung menundukan kepala dan berkata dengan penuh penghormatan, “Ya”.

Jibril datang dan menegur Nabi Muhammad. “Wahai Muhammad, tindakan Ali adalah benar.”

“Rawatlah, kasihlah nama yang bagus, dan perbaikilah gizi anak-anakmu, karena di akhirat nanti anak-anakmu akan memberi pertolongan,” pesan Malaikat Jibril.

Ketika mendengar teguran dan pesan tesebut, Rasulullah bersabda, “Wahai kaum muslimin, barang siapa yang diberi anak oleh Allah, maka wajib baginya mengajarkan sopan santun dan mendidiknya dengan baik. Bilamana hal itu dilakukannya, maka Allah akan menerima permohonan syafa’at anaknya. Tapi barang siapa yang membiarkan anaknya bodoh, tidak mengenal agama, suka melakukan pelanggaran serta tidak berakhlak, maka setiap pelanggaran dan dosa yang dilakukan anak-anaknya, orang tua ikut menanggungnya”.

Tatkala Menganggap Diri Lebih Baik dan Benar





Tatkala Menganggap Diri Lebih Baik dan Benar
Ibrahim bin Adham suatu ketika sedang berjalan di tepi pantai. Tanpa sengaja, matanya melirik sepasang manusia berduaan dengan begitu mesranya. Terlintas di benak sufi ini bahwa sepasang kekasih itu sedang dimabuk cinta. Bukan hanya mabuk cinta, ternyata mereka juga sedang mabuk dalam arti yang sesungguhnya. Terlihat di sekeliling mereka beberapa botol minuman berseliweran, terdapat bekas botol yang baru saja selesai dikosongkan isinya. Beberapa saat, Ibrahim bin Adham terkesima dengan pemandangan yang dia lihat sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia berpikir betapa musykilnya sepasang manusia ini, bermaksiat sedemikian mudahnya, seakan tak ada dosanya.

Tiba-tiba dalam jarak beberapa meter di depan mereka, gelombang laut mengganas menerjang pinggiran pantai. Menghanyutkan sesiapa yang berdekatan, tak pandang bulu. Beberapa orang berusaha berdiri, berenang, dan berlari menjauh ke arah daratan. Sebagian mereka bisa melepaskan diri dari terjangan ombak. Namun nahas, lima lelaki tak kuasa diseret gelombang. Seketika, lelaki mabuk yang sedang bermesraan di pinggir pantai itu berlarian menuju ke arah lima orang yang hanyut. Ia berusaha menarik satu-persatu lelaki yang hampir terbawa arus. Ibrahim bin Adham yang melihat kejadian itu hanya bisa tercengang, berdiri mematung di tempatnya. Antara tercengang dengan kejadian yang terjadi begitu cepat di depan matanya dan juga tidak bisa berenang.

Sementara si lelaki ini begitu cekatan berlari dan berenang. Tak membutuhkan waktu lama, si pemuda mabuk tadi berhasil menyelamatkan empat orang. Kemudian ia kembali. Namun bukannya kembali ke perempuan yang tadi sempat ditinggalkan sejenak, lelaki ini justru menuju ke arah Ibrahim bin Adham. Belum terjawab kebingungan Ibrahim bin Adham, tiba-tiba saja, ia mengucapkan beberapa kalimat, padahal Ibrahim bin Adham tidak bertanya sepatah katapun.

“Tadi itu aku hanya bisa menyelamatkan empat nyawa, sementara kau seharusnya menyelamatkan sisa satu nyawa yang tidak bisa aku selamatkan.”

Belum selesai kebingungan Ibrahim bin Adham, lelaki ini melanjutkan, “Perempuan yang di sebelahku itu adalah ibuku. Dan minuman yang kami minum hanyalah air biasa.” Ia memberikan alasan. Seolah ia mampu membaca semua apa yang dipikirkan oleh Ibrahim bin Adham.

Kejadian sederhana itu mampu menyadarkan sang ulama terkenal, Ibrahim bin Adham. Seketika itu hati beliau dipenuhi sesal dan taubat. Lelaki yang sempat dianggap ahli maksiat ternyata jauh lebih baik dibandingkan beliau yang terkenal ahli ibadah. Kejadian itu begitu membekas dalam hidup Ibrahim bin Adham hingga wafatnya. Jika seorang Ibrahim sang Sufi saja bisa terjebak dalam perangkap itu, bagaimana dengan kita manusia akhir zaman?

Betapa seringnya kita berada di posisi menjustifikasi manusia. Atas sedikit fakta yang kita tahu tentang cuplikan kehidupannya, kita menuduhnya dengan stigma yang sangat tak pantas. Tatkala seorang teman yang tak menyapa ketika berpapasan dengannya sekali waktu, seketika kita beropini bahwa ia sombong. Padahal di balik itu, ia sedang dirundung masalah besar, bersedih, atau juga tak melihat kita. Di saat seorang teman tak memberi kita pinjaman uang, seketika kita menduga bahwa ia pelit. Padahal di balik itu ia sedang berusaha mendapatkan banyak uang untuk kebutuhan ibunya atau untuk membayar utang-utangnya. Di saat seorang karib tak memenuhi undangan kita, terlintas di benak jika ia seorang yang tak menghargai. Padahal di balik itu, dia mendapatkan sebuah tanggungan yang harus segera diselesaikan hari itu juga sementara ia sungkan untuk memohon izin dikarenakan penghormatannya.

Penyebab retaknya ukhwah dengan sesama salah satunya disebabkan urusan salah persepsi. Lalu melahirkan saling mencurigai dan saling bersu’udzon. Tak sengaja ketika kita menganggap seseorang berdasarkan persepsi kita maka yang terjadi adalah rasa kekecewaan terhadap semua orang. Sementara tanpa disadari hal ini juga membangkitkan rasa ego sedikit demi sedikit menjadi pribadi yang superior, tanpa cela, dan antikritik. Sampai akhirnya menganggap diri sendiri adalah segalanya. Sang manusia sempurna dan pemilik kebenaran seorang diri, atau kelompoknya semata. Betapa berbahayanya.

Jauh-jauh hari Nabi SAW mengingatkan, "Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah seduta-dustanya ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari hadits no. 6064 dan Muslim hadits no. 2563]. Pesan Nabi tidak sekadar nasihat biasa. Beliau mewanti-wanti supaya umatnya selalu menjaga diri. Betapa gelisahnya Nabi jika mengetahui ada diantara umatnya yang saling merendahkan sesama.

Berburuk sangka termasuk laku yang salah, pemantik dosa. Ketika seseorang berburuk sangka dan sangkaannya itu benar, maka sama sekali ia tak akan mendapat pahala apapun. Sementara jika ia berburuk sangka dan sangkaannya itu salah, maka pasti atasnya perbuatan dosa. Betapa tak bermanfaatnya berburuk sangka, menstigmaisasi, dan menghakimi seseorang dari apa yang sedikit pengetahuan kita tentang dia.

Bertemu dengan semua orang seharusnya menjadi cermin untuk diri kita untuk lebih baik lagi. Hal ini diawali dengan rasa saling percaya dan berbaik sangka. Ketika bertemu anak kecil, pikirkan bahwa bisa jadi ia jauh lebih baik dari kita, karena di umurnya yang sedikit, ia masih sedikit dosa dan salah. Ketika bertemu dengan orang tua, pikirkan bahwa ia jauh lebih baik dari kita, karena umurnya yang sudah sepuh, berarti ibadahnya pun jauh lebih banyak dibanding kita. Bertemu orang gila sekalipun ada kesempatan bagi kita berpikir positif, bisa jadi ia lebih baik dan lebih dulu masuk surga dibanding kita. Sebab, orang gila itu tidak dibebani syariat oleh Tuhan yang Maha Adil, sehingga ia tanpa cela. Terlebih ketika bertemu dengan manusia yang cacat fisiknya. Orang buta, tuli, bisu, bisa jadi mereka jauh lebih baik dari kita. Mereka tak pernah menggunakan inderanya untuk meliha, mendengar, dan mengucap dosa. Bukankah mereka lebih selamat di dunia dan akhirat? Lalu masihkah ada kesempatan kita merasa jauh lebih baik, lalu terbersit angkuh dan sombong, dan kemudian merendahkan manusia lainnya, bahkan kemudian menganggap bahwa pemilik kebenaran sempurna adalah sosok diri sendiri seorang? Wajarkah?

Wallahu a’lam bishawab.


Muhammad Ridha Basri, Santri-mahasiswa Lingkar Studi al-Quran (LSQ) Ar-Rahmah, Yogyakarta.

4 Sumber Hukum dalam Aswaja




madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) bersumber kepada empat pokok; Al-Qur’an, Hadits/as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Secara singkat, paparannya sebagai berikut;

Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’an. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 2; Al-Maidah Ayat 44-45, 47 :
ذلِكَ اْلكِتَبَ لاَرَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ
Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”. (Al-Baqarah; 2)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ اْلكفِرُوْنَ
Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah golongan orang-orang kafir”.
Tentu dalam hal ini yang bersangkutan dengan aqidah, lalu;
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ الظّلِمُوْنَ
Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang dhalim”.
Dalam hal ini urusan yang berkenaan dengan hak-hak sesama manusia
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ اْلفسِقُوْن َ
Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah golongan orang-orang fasik”.
Dalam hal ini yang berkenaan dengan ibadat dan larangan-larangan Allah.
Al-Hadits/Sunnah
Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah ٍSAW. Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 44 dan al-Hasyr ayat 7, sebagai berikut;
وَاَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الذِكْرَ لِتُبَيِنَ لِلنَّاسِ مَانُزِلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan”. (An-Nahl : 44)
وَمَاءَاتَكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَانَهكُمْ عَنْهُ فَانْتَهَوْاوَاتَّقُوْااللهَ, اِنَّ اللهَ شَدِيْدُاْلعِقَابِ
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras sikapnya”. (Al-Hasyr: 7)
Kedua ayat tersebut di atas jelas bahwa Hadits atau Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an dalam menentukan hukum.
Al-Ijma’
Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid.
Kemudian ijma’ ada 2 macam :
1. Ijma’ Bayani (الاجماع البياني ) ialah apabila semua Mujtahid mengeluarkan pendapatnya baik berbentuk perkataan maupun tulisan yang menunjukan kesepakatannya.
2. Ijma’ Sukuti (الاجماع السكوتي) ialah apabila sebagian Mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan sebagian yang lain diam, sedang diamnya menunjukan setuju, bukan karena takut atau malu.

Dalam ijma’ sukuti ini Ulama’ masih berselisih faham untuk diikuti, karena setuju dengan sikap diam tidak dapat dipastikan. Adapun ijma’ bayani telah disepakati suatu hukum, wajib bagi ummat Islam untuk mengikuti dan menta’ati.
Karena para Ulama’ Mujtahid itu termasuk orang-orang yang lebih mengerti dalam maksud yang dikandung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan mereka itulah yang disebut Ulil Amri Minkum (اولىالامر منكم  ) Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat : 59
ياأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْاأَطِيْعُوْااللهَ وَأَطِيْعُوْاالرَّسُوْلَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu”.
Dan para Sahabat pernah melaksanakan ijma’ apabila terjadi suatu masalah yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah S.A.W. Pada zaman sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar r.a jika mereka sudah sepakat maka wajib diikuti oleh seluruh ummat Islam. Inilah beberapa Hadits yang memperkuat Ijma’ sebagai sumber hokum, seperti disebut dalam Sunan Termidzi Juz IV hal 466.
اِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ اُمَّتىِ عَلىَ ضَلاَ لَةٍ, وَيَدُاللهِ مَعَ اْلَجَماعَةِ
Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku atas kesesatan dan perlindungan Allah beserta orang banyak.
Selanjutnya, dalam kitab Faidlul Qadir Juz 2 hal 431
اِنَّ اُمَّتىِ لاَتَجْتَمِعُ عَلىَ ضَلاَ لَةٍ فَاءِذَارَأَيْتُمُ اخْتِلاَ فًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِاْ لأَعْظَمِ.
 “Sesungguhnya ummatku tidak berkumpul atas kesesatan maka apabila engkau melihat perselisihan, maka hendaknya engkau berpihak kepada golongan yang terbanyak”.
Al-Qiyas
Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari kata Qasa (قا س  ). Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang antara keduanya. Rukun Qiyas ada 4 macam: al-ashlu, al-far’u, al-hukmu dan as-sabab. Contoh penggunaan qiyas, misalnya gandum, seperti disebutkan dalam suatu hadits sebagai yang pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-far’u-nya adalah beras (tidak tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits), al-hukmu, atau hukum gandum itu wajib zakatnya, as-sabab atau alasan hukumnya karena makanan pokok.
Dengan demikian, hasil gandum itu wajib dikeluarkan zakatnya, sesuai dengan hadits Nabi, dan begitupun dengan beras, wajib dikeluarkan zakat. Meskipun, dalam hadits tidak dicantumkan nama beras. Tetapi, karena beras dan gandum itu kedua-duanya sebagai makanan pokok. Di sinilah aspek qiyas menjadi sumber hukum dalam syareat Islam. Dalam Al-Qur’an Allah S.WT. berfirman :
فَاعْتَبِرُوْا يأُوْلِى اْلأَيْصَارِ
Ambilah ibarat (pelajaran dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (Al-Hasyr : 2)
عَنْ مُعَاذٍ قَالَ : لَمَا بَعَثَهُ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم اِلىَ اْليَمَنِى قَالَ: كَيْفَ تَقْضِى اِذَا عَرَضَ قَضَاءٌ ؟ قَالَ اَقْضِى بِكَتَابِ اللهِ قَالَ فَاءِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ, قَالَ فَاءِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلاَ فىِ كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ اَجْتَهِدُ بِرَأْيِى وَلاَ الُوْ قَالَ فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَدْرَهُ وَقَالَ اْلحَمْدُ للهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَا يَرْضَاهُ رَسُوْلُ اللهِ. رواه أحمد وابو داود والترمذى.
Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu’adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu’adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai-Nya.
Kemudian Al-Imam Syafi’i memperkuat pula tentang qiyas dengan firman Allah S.W.T dalam Al-Qur’an :
ياأَيُّهَااَّلذِيْنَ ءَ امَنُوْا لاَتَقْتُلُوْاا لصَّيْدَوَاَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَاعَدْلٍ مِنْكُمْ
 “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram, barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu”. (Al-Maidah: 95).
Sebagaimana madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah lebih mendahulukan dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits dari pada akal. Maka dari itu madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah mempergunakan Ijma’ dan Qiyas kalau tidak mendapatkan dalil nash yang shareh (jelas) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
KH A Nuril Huda

Download Kitab Al-Ahkam Al-Wustho - Ibnul Khorroth


Judul Kitab : Al-Ahkam Al-Wustho Min Haditsin Nabi

Penulis : Abdul Haq bin Abdurrohman Al-Azdi Al-Isybili (Ibnul Khorroth)

Tahqiq : Hamdi As-Salafi - Shubhi As-Samaro'i

Penerbit : Maktabah Ar-Rusyd

Cetakan :

Tahun : 1995

Link Download : Klik disini

Download Kitab Al-Ijaz Syarah Sunan Abu Dawud - An-Nawawi


Judul kitab : Al-Ijaz Fi Syarhi Sunan Abi Dawud As-Sajistani
Penulis : Imam Muhyiddin Yahya bin Syarof An-Nawawi
Muhaqqiq : Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Sulaiman
Penerbit : Ad-Dar Al-Atsariyah, Amman - Yordania
Cetakan : Pertama
Tahun terbit : 2008
Link download (PDF) : Klik disini

Download Kitab Ikmal Al-Mu'allim Syarah Shohih Muslim - Qodhi Iyadh

Judul Kitab : Ikmal  Al-Mu'allim Bifawaidi Muslim

Penulis : Abu al-Fadhl, Iyadh bin Musa bin Iyadh al-Yahshobi

Tahqiq : Yahya Isma'il

Penerbit : Darul Wafa'

Cetakan : Pertama

Tahun : 1998

Link Download : Cover  Juz 1  Juz 2  Juz 3  Juz 4  Juz 5  Juz 6   Juz 7  Juz 8  Juz 9



Download Kitab Fiqih Muhammadiyah (Jilid 3)



Judul Kitab : Fiqih Muhammadiyah
Penerbit : Tamam Poestaka, Yogyakarta
Link Download : Klik disini


Keterangan: Kitab fiqih ini ditulis pada masa awal berdirinya Muhammadiyah, uniknya penjelasan hukum-hukum fiqih dalam kitab ini berbeda dengan yang sekarang diamalkan warga Muhammadiyah dan sering kali diperselisihkan antara Muhammadiyah dan NU, uniknya penjelasan fiqih dalam kitab ini justru sama dengan amaliyah NU. Diantaramya:

1. Niat sholat dilafalkan (Hal.25)
2. Membaca Basmalah saat membaca surat Al-Fatihah (Hal. 26 & 32)
3. Membaca do'a qunut saat sholat shubuh (Hal. 27)
4. Bacaan sholawat pada tahiyat memakai kata "Sayyidina" (Hal. 29)
5. Dzikiran & Wiridan seusai sholat (Hal. 45)
6. Bilangan sholat tarawih 20 roka'at dan salam setiap 2 roka'at (Hal. 51 - 52)
7. Memegang tongkat saat khutbah (Hal. 59)

Dll..

Download kitab Asy-Syifa Bi Ta'rifi Huquqil Musthofa



Judul kitab :Asy-Syifa Bi Ta'rifi Huquqil Musthofa

Penulis : Al-Qodhi Abul Fadhl Iyadh bin Musa Al-Yahshubi Al-Andalusi


VERSI PERTAMA

Muhaqqiq : -

Penerbit : Dar Ibnu Hazm, Beirut Lebanon

Cetakan : Pertama

Tahun terbit : 2002

Link download (PDF) : Klik disini


VERSI KEDUA

Muhaqqiq : Amir Al-Jazzar

Penerbit : Darul Hadits, Kairo - Mesir

Cetakan : Pertama

Tahun terbit : 2004

Link download (PDF) : Klik disini



VERSI KETIGA

Muhaqqiq : -

Penerbit : Abdul Hamid Ahmad Al-Hanafi - Mesir

Cetakan : -

Tahun terbit : -

Link download (PDF) : Cover  Juz 1  Juz 2


VERSI KEEMPAT

Muhaqqiq : Abdus Salam Muhammad Amin

Penerbit : Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut - Lebanon

Cetakan : Kedua

Tahun terbit : 2002

Link download (PDF) : Cover  Juz 1  Juz 2


VERSI KELIMA

Muhaqqiq : Ali Muhammad Al-Bajawi

Penerbit : Darul Kitab Al-Arobi, Beirut - Lebanon

Cetakan : -

Tahun terbit : 1984

Link download (PDF) : Muqoddimah  Kitab

Download kitab Nuzhatul Muttaqin Syarah Riyadhus Sholihin


Judul kitab : Nuzhatul Muttaqin Syarah Riyadhus Sholihin Min Kalami Sayyidil Mursalin

Penulis : Dr. Musthofa Sa'id Al Khin

                  Dr. Musthofa Al Bugho
                 
                  Muhyiddin Mastu
                 
                  Ali Asy-Syarbaji
                 
                  Muhammad Amin Luthfi

Muhaqqiq : -

Penerbit : Mu'assisah Ar-Risalah, Beirut Lebanon

Cetakan : Keempat belas

Tahun terbit : 1987

Link download (PDF) : Klik disini

Download Kitab Ittihafus Sadah Al-Muttaqin Syarah Ihya' Ulumiddin - Azzabidi


Judul Kitab : Ittihafus Sadah Al-Muttaqin Syarah Ihya' Ulumiddin

Penulis : Murtadho Az-Zabidi

Penerbit : Al-Maimuniyah, Mesir

Cetakan : -

Tahun : 1311 H.

Link Download : Juz 1  Juz 2  Juz 3  Juz 4  Juz 5  Juz 6  Juz 7  Juz 8  Juz 9  Juz 10





Minggu, 11 Oktober 2015

KAJIAN KITAB IHYA' 'ULUMUDDIN (EMPAT GOLONGAN YANG TERTIPU/GHURUR)


Orang-orang salaf dahulu sangat berhati-hati sekali dalam ketaqwaan. Sangat menjauhi kesyubhatan-kesyubhatan (apalagi yang haram). Mereka seringkali menangis, sebab menyesali dirinya sendiri yang tentu tidak luput dari dosa. Ini biasa terjadi saat mereka merenung dalam kesunyian atau kesendirian, Lalu bagaimana dengan diri kita??? yang tingkat ketaqwaan juga tingkat keilmuan sangat jauh dibanding ulama'-ulama' salaf, para ulama' mampu menyusun beberapa kitab dan tetap digunakan sampai sekarang, dan mereka pun orang-orang yang sangat tawadlu', tapi bagaimana dengan diri kita yang tinggal membaca dan memahami karya-karya mereka saja yang kadang masih kesulitan, tapi mengapa sudah merasa paling hebat dan mudah menyalahkan yang lain???Sungguh kebanyakan kita adalah golongan orang-orang yang tertipu, semoga dengan kajian Kitab Ihya' Ulumuddin ini, kita semua bisa muhasabah dan menjadikan diri kita lebih baik dari sebelumnya ^_^ Aamiin Allaahumma Aamiin ^_^

Ghurur adalah penyakit hati yang menimpa banyak orang di dunia ini, ghurur menurut bahasa artinya adalah tertipu daya, penyakit ghurur ini telah di jelaskan oleh Imam Ghazali dengan panjang luas sekali di dalam kitabnya “Ihya` Ulumuddin “

Penyakit ghurur ini sangat membahayakan sekali sebab kebanyakan orang yang menderitanya tidak merasa bahwa mereka terserang penyakit ghurur ini, kita tidak membicarakan ghururnya orang-orang kafir terhadap diri mereka atau kehidupan dunia ini, tetapi kita membicarakan penyakit ghurur yang diderita oleh umat Islam selama ini.

Imam Ghazali telah membagi ghurur ini kepada empat golongan :

1. Golongan ulama.
2. Golongan para Abid ( orang yang suka beribadah).
3. Golongan orang yang mengaku sufi.
4. Golongan orang yang memiliki harta , dan orang-orang tetipu daya dengan dunia.

1. Golongan ulama.

Penyakit ghurur ini tidak terlepas dari hati seorang ulama, bahayanya jika mereka tidak mengetahui bahwa mereka telah terkena virus ghurur yang membahayakan, akhirnya tidak secepatnya untuk mengobati penyakit itu, penyakit ghurur ini menyerang dengan cepat sehingga si penderita "mati" dari rasa harapan dan kesadaran diri kepada Allah.

Seorang yang alim merasa bahwa ilmu itu adalah mulia, mengajarkannya kepada orang adalah perkara yang mulia pula, maka dia lalai dan tertipu daya dengan sibuk mengajarkan ilmu tanpa membekalkan amal ibadah dan mengamalkannya terlebih dahulu sebelum disampaikan kepada orang lain, ini adalah penyakit ghurur.

Seorang yang alim merasa memiliki ilmu sehingga beliau merasa bahwa dirinya mesti di hormati dan disegani, ingin selalu dikedepankan dan di ketengahkan, keinginannya agar seluruh perkatannya didengar, seluruh perkataannya benar, ingin diangkat-angkat dan dipuja-puja, setiap orang mesti mencium tangannya, ini adalah penyakit ghurur.

Seorang ulama yang alim dengan ilmu syari`at dan selalu mengamalkannya kemudian mengajarkannya kepada orang lain, tetapi beliau tidak memahami ilmu makrifat kepada Allah, dengan alasan bahwa tidak ada ilmu tersebut, maka ini juga bagian dari orang yang memilki penyakit ghurur.

Seorang yang berhasil mengamalkan ilmunya , menjauhkan anggota tubuhnya dari segala maksiat, melaksanakan segala amalan ta`at, tetapi lupa membersihkan dirinya dan hatinya dari segala maksiat hati seperti hasad, riya`, takabbur, ini juga orang yang terserang penyakit ghurur.

Seorang ulama yang mengamalkan segala ta`at dan menjauhkan segala maksiat, beliau merasa bahwa dirinya bersih dan dekat dengan Allah, maka ini juga penyakit ghurur, sebab Allah lebih mengetahui keadaan hati para hambanya.

Seorang ulama yang sibuk dengan berjidal, berdebat, bukan untuk mencari kebenaran tetapi untuk mencari ketenaran dan kehebatan, bila mampu mengalahkan lawan maka dia tergolong orang yang hebat dan alim, ini juga tergolong penyakit ghurur.

Seorang ulama yang selalu berdakwah dan berceramah dengan menyampaikan untaian kata-kata yang indah, dapat menarik perhatian para pendengar, sehingga mendatangkan peminat-peminat yang banyak, pengikut yang setia, lupa dengan tujuan dakwah yang sebenarnya, sibuk hanya mencari ketenaran dan nama, penyakit ini juga tergolong ghurur.

2. Golongan 'Abid.

Kegiatan ibadah juga dapat membawa seseorang tertipu daya dengan diri sendiri sehingga bukan menjadikan diri semakin dekat dengan Allah bahkan membuat diri menjadi jauh, diantara contohnya :

Seseorang yang sibuk dengan ibadah-ibadah sunnah dan fadhilah tetapi melupakan dan meninggalkan ibadah-ibadah wajib, seperti sibuk melaksanakan shalat sunnah malam tetapi meninggalkan shalat subuh karena ketiduran dan kelelahan ketika waktu malamnya atau senang dengan sholat tarawih tapi masih punya hutang sholat fardlu/belum diqodlo'.

Orang yang sibuk mengambil air wudhu` dan berlebih-lebihan di dalam membasuhnya disebabkan was-was yang datang didalam hati mengkabarkan bahwa wudhu`nya tidak sah, penyakit was-was yang menimpa pada setiap ibadah merupakan bagian ghurur juga.

Seseorang yang terlalu sibuk membaca al-Qur`an, tetapi tanpa mau memikirkan dan memahami segala makna-maknanya, sehingga tidak memahami apa maksud atau penjelasan-penjelasan dari yang ia baca setiap hari.

Seseorang yang sibuk dengan puasa setiap harinya, tetapi lidahnya selalui menceritakan aib orang lain, tidak pernah menjauhkan hatinya dari riya` dan penyakit-penyakit hati, puasanya selalu dibuka dengan makanan-makanan yang haram.

Seseorang yang menunaikan ibadah haji hanya karena ingin digelar dengan haji, tidak mengikhlaskan diri untuk melaksanakan amal ibadah haji, tidak meninggalkan segala kejahatan-kejahatan, melaksanakan ibadah haji agar dipandang orang dan dianggap orang kaya.

Seseorang yang mengamalkan Ibadah sunnah dan fadhilah merasakan ibadah tersebut nikmat dan lezat, mendapatkan ke khusyu'an, tetapi jika melaksanakan ibadah yang wajib dan fardhu tidak merasakan kenikmatan dan kekhyusu'an.

Seseorang yang melaksanakan zuhud dan ibadah , bertaubat dan berzikir, merasakan bahwa dia telah sampai kepda derajat kezuhudan, telah sampai kepda derajat makrifah kepada Allah, padahal hatinya masih tersimpan segudang kecintaan terhadap dunia, mengaharap pangkat dan kedudukan, mengharap pujian dan penghormatan.

3. Golongan orang yang mengaku sufi.

Seseorang yang mengaku sufi, menggunakan pakaian-pakaian tertentu, bergaya dengan gaya ulama-ulama sufi, berzikir dengan menari dan nyanyian-nyanyian pemenuh hawa nafsu, menganggap diri telah sampai kepada Allah, menganggap mendapat ilham dan kasyaf. inilah termasuk mereka yang tertipu/ghurur.

Seorang yang mengaku sufi, merasa telah berbuat zuhud dan wara`, memakai pakaian yang usang dan bau, mementingkan bersih hati, tetapi segala anggota tubuh kotor dengan maksiat dan dosa. ini adalah penyakit ghurur

Seseorang yang mengaku sufi, tetapi tidak mengikuti jalan para ulama-ulama pembesar sufi seperti Imam Abu Qosim al-Junaidi al-Baghdadi dan yang lainnya, mengaku telah sampai kepada fana` fillah dan baqa fi llah , tidak menjadikan al-Qur`an dan sunnah sebagai pegangan, menghina syariat dan memuja-muja hakikat. ini adalah penyakit ghurur

4. Golongan orang yang memiliki harta dan orang yang tertipu daya dengan dunia.

Seseorang yang menganggap bahwa harta dan uangnya yang mampu menyelamatkannya dan memuliakannya di permukaan dunia ini, harta merupakan pujaan dan ketinggian, memiliki harta berarti memiliki kebesaran dan kesenangan yang hakiki, sehingga lupa membayar zakat, menyantuni orang miskin, dan bisa berbuat sesuka hatinya. ini adalah penyakit ghurur

Imam Nawawi Spd.i
Seseorang yang membangun masjid, menyantun anak yatim, membantu korban bencana alam, tetapi ingin di puji dan di besar-besarkan kebaikannya, agar orang menyanjungnya dan menggelarnya seorang yang dermawan. ini adalah penyakit ghurur

dengan memahami hal yang demikian, semoga kita semua tidak termasuk golongan orang-orang yang terkena penyakit ghurur (tipu daya) penyakit yang menjadikan seorang hamba jauh dari ridlo Allah Ta'ala