Minggu, 11 Oktober 2015

KAJIAN KITAB IHYA' 'ULUMUDDIN (EMPAT GOLONGAN YANG TERTIPU/GHURUR)


Orang-orang salaf dahulu sangat berhati-hati sekali dalam ketaqwaan. Sangat menjauhi kesyubhatan-kesyubhatan (apalagi yang haram). Mereka seringkali menangis, sebab menyesali dirinya sendiri yang tentu tidak luput dari dosa. Ini biasa terjadi saat mereka merenung dalam kesunyian atau kesendirian, Lalu bagaimana dengan diri kita??? yang tingkat ketaqwaan juga tingkat keilmuan sangat jauh dibanding ulama'-ulama' salaf, para ulama' mampu menyusun beberapa kitab dan tetap digunakan sampai sekarang, dan mereka pun orang-orang yang sangat tawadlu', tapi bagaimana dengan diri kita yang tinggal membaca dan memahami karya-karya mereka saja yang kadang masih kesulitan, tapi mengapa sudah merasa paling hebat dan mudah menyalahkan yang lain???Sungguh kebanyakan kita adalah golongan orang-orang yang tertipu, semoga dengan kajian Kitab Ihya' Ulumuddin ini, kita semua bisa muhasabah dan menjadikan diri kita lebih baik dari sebelumnya ^_^ Aamiin Allaahumma Aamiin ^_^

Ghurur adalah penyakit hati yang menimpa banyak orang di dunia ini, ghurur menurut bahasa artinya adalah tertipu daya, penyakit ghurur ini telah di jelaskan oleh Imam Ghazali dengan panjang luas sekali di dalam kitabnya “Ihya` Ulumuddin “

Penyakit ghurur ini sangat membahayakan sekali sebab kebanyakan orang yang menderitanya tidak merasa bahwa mereka terserang penyakit ghurur ini, kita tidak membicarakan ghururnya orang-orang kafir terhadap diri mereka atau kehidupan dunia ini, tetapi kita membicarakan penyakit ghurur yang diderita oleh umat Islam selama ini.

Imam Ghazali telah membagi ghurur ini kepada empat golongan :

1. Golongan ulama.
2. Golongan para Abid ( orang yang suka beribadah).
3. Golongan orang yang mengaku sufi.
4. Golongan orang yang memiliki harta , dan orang-orang tetipu daya dengan dunia.

1. Golongan ulama.

Penyakit ghurur ini tidak terlepas dari hati seorang ulama, bahayanya jika mereka tidak mengetahui bahwa mereka telah terkena virus ghurur yang membahayakan, akhirnya tidak secepatnya untuk mengobati penyakit itu, penyakit ghurur ini menyerang dengan cepat sehingga si penderita "mati" dari rasa harapan dan kesadaran diri kepada Allah.

Seorang yang alim merasa bahwa ilmu itu adalah mulia, mengajarkannya kepada orang adalah perkara yang mulia pula, maka dia lalai dan tertipu daya dengan sibuk mengajarkan ilmu tanpa membekalkan amal ibadah dan mengamalkannya terlebih dahulu sebelum disampaikan kepada orang lain, ini adalah penyakit ghurur.

Seorang yang alim merasa memiliki ilmu sehingga beliau merasa bahwa dirinya mesti di hormati dan disegani, ingin selalu dikedepankan dan di ketengahkan, keinginannya agar seluruh perkatannya didengar, seluruh perkataannya benar, ingin diangkat-angkat dan dipuja-puja, setiap orang mesti mencium tangannya, ini adalah penyakit ghurur.

Seorang ulama yang alim dengan ilmu syari`at dan selalu mengamalkannya kemudian mengajarkannya kepada orang lain, tetapi beliau tidak memahami ilmu makrifat kepada Allah, dengan alasan bahwa tidak ada ilmu tersebut, maka ini juga bagian dari orang yang memilki penyakit ghurur.

Seorang yang berhasil mengamalkan ilmunya , menjauhkan anggota tubuhnya dari segala maksiat, melaksanakan segala amalan ta`at, tetapi lupa membersihkan dirinya dan hatinya dari segala maksiat hati seperti hasad, riya`, takabbur, ini juga orang yang terserang penyakit ghurur.

Seorang ulama yang mengamalkan segala ta`at dan menjauhkan segala maksiat, beliau merasa bahwa dirinya bersih dan dekat dengan Allah, maka ini juga penyakit ghurur, sebab Allah lebih mengetahui keadaan hati para hambanya.

Seorang ulama yang sibuk dengan berjidal, berdebat, bukan untuk mencari kebenaran tetapi untuk mencari ketenaran dan kehebatan, bila mampu mengalahkan lawan maka dia tergolong orang yang hebat dan alim, ini juga tergolong penyakit ghurur.

Seorang ulama yang selalu berdakwah dan berceramah dengan menyampaikan untaian kata-kata yang indah, dapat menarik perhatian para pendengar, sehingga mendatangkan peminat-peminat yang banyak, pengikut yang setia, lupa dengan tujuan dakwah yang sebenarnya, sibuk hanya mencari ketenaran dan nama, penyakit ini juga tergolong ghurur.

2. Golongan 'Abid.

Kegiatan ibadah juga dapat membawa seseorang tertipu daya dengan diri sendiri sehingga bukan menjadikan diri semakin dekat dengan Allah bahkan membuat diri menjadi jauh, diantara contohnya :

Seseorang yang sibuk dengan ibadah-ibadah sunnah dan fadhilah tetapi melupakan dan meninggalkan ibadah-ibadah wajib, seperti sibuk melaksanakan shalat sunnah malam tetapi meninggalkan shalat subuh karena ketiduran dan kelelahan ketika waktu malamnya atau senang dengan sholat tarawih tapi masih punya hutang sholat fardlu/belum diqodlo'.

Orang yang sibuk mengambil air wudhu` dan berlebih-lebihan di dalam membasuhnya disebabkan was-was yang datang didalam hati mengkabarkan bahwa wudhu`nya tidak sah, penyakit was-was yang menimpa pada setiap ibadah merupakan bagian ghurur juga.

Seseorang yang terlalu sibuk membaca al-Qur`an, tetapi tanpa mau memikirkan dan memahami segala makna-maknanya, sehingga tidak memahami apa maksud atau penjelasan-penjelasan dari yang ia baca setiap hari.

Seseorang yang sibuk dengan puasa setiap harinya, tetapi lidahnya selalui menceritakan aib orang lain, tidak pernah menjauhkan hatinya dari riya` dan penyakit-penyakit hati, puasanya selalu dibuka dengan makanan-makanan yang haram.

Seseorang yang menunaikan ibadah haji hanya karena ingin digelar dengan haji, tidak mengikhlaskan diri untuk melaksanakan amal ibadah haji, tidak meninggalkan segala kejahatan-kejahatan, melaksanakan ibadah haji agar dipandang orang dan dianggap orang kaya.

Seseorang yang mengamalkan Ibadah sunnah dan fadhilah merasakan ibadah tersebut nikmat dan lezat, mendapatkan ke khusyu'an, tetapi jika melaksanakan ibadah yang wajib dan fardhu tidak merasakan kenikmatan dan kekhyusu'an.

Seseorang yang melaksanakan zuhud dan ibadah , bertaubat dan berzikir, merasakan bahwa dia telah sampai kepda derajat kezuhudan, telah sampai kepda derajat makrifah kepada Allah, padahal hatinya masih tersimpan segudang kecintaan terhadap dunia, mengaharap pangkat dan kedudukan, mengharap pujian dan penghormatan.

3. Golongan orang yang mengaku sufi.

Seseorang yang mengaku sufi, menggunakan pakaian-pakaian tertentu, bergaya dengan gaya ulama-ulama sufi, berzikir dengan menari dan nyanyian-nyanyian pemenuh hawa nafsu, menganggap diri telah sampai kepada Allah, menganggap mendapat ilham dan kasyaf. inilah termasuk mereka yang tertipu/ghurur.

Seorang yang mengaku sufi, merasa telah berbuat zuhud dan wara`, memakai pakaian yang usang dan bau, mementingkan bersih hati, tetapi segala anggota tubuh kotor dengan maksiat dan dosa. ini adalah penyakit ghurur

Seseorang yang mengaku sufi, tetapi tidak mengikuti jalan para ulama-ulama pembesar sufi seperti Imam Abu Qosim al-Junaidi al-Baghdadi dan yang lainnya, mengaku telah sampai kepada fana` fillah dan baqa fi llah , tidak menjadikan al-Qur`an dan sunnah sebagai pegangan, menghina syariat dan memuja-muja hakikat. ini adalah penyakit ghurur

4. Golongan orang yang memiliki harta dan orang yang tertipu daya dengan dunia.

Seseorang yang menganggap bahwa harta dan uangnya yang mampu menyelamatkannya dan memuliakannya di permukaan dunia ini, harta merupakan pujaan dan ketinggian, memiliki harta berarti memiliki kebesaran dan kesenangan yang hakiki, sehingga lupa membayar zakat, menyantuni orang miskin, dan bisa berbuat sesuka hatinya. ini adalah penyakit ghurur

Imam Nawawi Spd.i
Seseorang yang membangun masjid, menyantun anak yatim, membantu korban bencana alam, tetapi ingin di puji dan di besar-besarkan kebaikannya, agar orang menyanjungnya dan menggelarnya seorang yang dermawan. ini adalah penyakit ghurur

dengan memahami hal yang demikian, semoga kita semua tidak termasuk golongan orang-orang yang terkena penyakit ghurur (tipu daya) penyakit yang menjadikan seorang hamba jauh dari ridlo Allah Ta'ala

KESELARASAN NILAI-NILAI PANCASILA DENGAN AJARAN ISLAM



Dewasa ini banyak kalangan yang membincangkan kembali relevansi Pancasila dengan kondisi bangsa saat ini. Pancasila kini mulai terpinggirkan dari kancah pergaulan kebangsaan dan imbasnya, mungkin saja akan tergantikan dengan ideologi lain. Hal itu tidak akan terjadi bila semua pihak dan segenap elemen bangsa, konsisten mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen sebagai dasar negara dan sebagai sumber hukum positif yang berlaku.

Pasca tumbangnya Orde Baru tahun 1998 dan dilanjutkan dengan era reformasi yang ditandai dengan kebebasan disegala bidang, kebebasan tersebut juga turut dinikmati beberapa kelompok Islam yang konservatif atau radikal. Kelompok-kelompok tersebut sekarang bebas untuk secara lantang atau secara sembunyi-sembunyi memperjuangkan kembali kepentingan politis dan ideologinya. Ironisnya perjuangan besar itu bermuara pada obsesi mengganti Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia. Banyak varian bentuk, ide, gagasan dan cita-cita yang dikembangkan dari obsesi kelompok tersebut. Varian tersebut antara lain pendirian Khilafah Islamiyah, pendirian negara Islam, pelaksanaan syariat Islam dan sebagainya.

Tumbangnya Orde Baru juga dibarengi dengan problem berupa meluasnya krisis multi-dimensi. Krisis tersebut terjadi di bidang sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Kondisi tersebut semakin melegitimasi obsesi mengganti Pancasila, karena dianggap telah gagal membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Selanjutnya kelompok tersebut menganggap bahwa Islam dalam segala varian bentuknya merupakan solusi atas segala problem yang ada. Oleh karena itu slogan perjuangan mereka jelas, misalnya al-Islamu huwa al-halu (Islam adalah solusi) ataupun al-Islamu huwa al-dinu wa al-dawlah (Islam adalah agama dan sekaligus negara).

Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila, jadi bukan negara Islam dan bukan pula negara sekuler. Kalimat ini bagi beberapa pihak mungkin masih dirasa ambigu, apalagi bagi pihak-pihak yang tidak familiar dengan problem ideologi suatu bangsa. Bertumpu pada kenyataannya, fakta historis telah membuktikan bahwa itulah cara terbaik (the right way) bagi masyarakat Indonesia untuk mendiskripsikan ideologi negara. Pancasila merupakan ringkasan dari kompromi dan persetujuan yang sebelumnya amat sulit dicapai di antara para founding fathers pendiri negara ini.
Nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam telah mengajarkan dan memberikan teladan kepada umat Islam tentang bagaimana hidup berdampingan dengan berbagai perbedaan ras, suku bangsa, dan agama. Sebagaimana hal ini telah termaktub dalam Piagam Madinah (Nasution, 1985: 92). Mengenai urusan ke duniawian, umat Islam diberikan kebebasan untuk mengaturnya, namun tetap harus dilandasi olehta’abbud. Tanpa tujuan ta’abbud ini, niscaya kehidupan yang dijalani menjadi kosong tanpa tujuan yang berarti.

Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, materinya sudah ada sebelum bangsa Indonesia ada, hanya saja rumusannya secara formal baru terrealisasi sekitar tahun 1945. Apabila ada yang menyatakan bahwa hari lahirnya Pancasila adalah tanggal 1 Juni 1945, itu hanya sekedar pemberian nama saja, bukan materi Pancasila. Pancasila sebagai dasar filsafat negara dapat didefinisikan sebagai suatu ideologi negara yang berketuhanan berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan dan berkeadilan. Tokoh-tokoh kenegaraan Indonesia merumuskan Pancasila bukan mengada-ada, tetapi memang demikian keadaannya. Direnungkan dari kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia, yang selanjutnya memang dikehendaki oleh bangsa Indonesia dalam bernegara sebagai dasar filsafat negara. Dengan demikian kedudukan Pancasila selain sebagai dasar dan ideologi negara, Pancasila juga sebagai jati diri dan kepribadian bangsa Indonesia (Kaelan, 1998:  62).

Pancasila pada dasarnya mampu untuk mengakomodir semua lini kehidupan Indonesia. Pancasila harus dijadikan alat kesejahteraan, bukan alat kepentingan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki banyak perbedaan. Perbedaan itu merupakan suatu bawaan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan YME. Akan lebih baik jika perbedaan itu bukan untuk dipertentangkan ataupun diperuncing, namun dipersatukan dan disintesiskan dalam suatu sintesa yang positif dalam bingkai negara Kersatuan Republik Indonesia (Notonagoro, 1975: 106).

Menurut Notonogoro (dalam Bakry, 2008: 39) sila-sila Pancasila merupakan satu kesatuan yang susunannya adalah hirarkhis dan mempunyai bentuk piramidal. Sila pada Pancasila saling menjiwai dan dijiwai. Sila yang di atasnya menjiwai sila yang di bawahnya, tetapi sila yang di atasnya tidak dijiwai oleh sila yang di bawahnya. Sila yang di bawahnya dijiwai oleh sila yang di atasnya, tetapi sila yang di bawahnya tidak menjiwai sila yang di atasnya. Sebagai contoh nilai-nilai Ketuhanan menjiwai nilai-nilai Kemanusiaan Persatuan Kerakyatan dan Keadilan, sebaliknya nilai Ketuhanan tidak dijiwai oleh nilai-nilai Kemanusiaan Persatuan Kerakyatan dan Keadilan, begitulah seterusnya.

Pancasila juga merupakan ideologi terbuka (Bakry, 2008: 69-70). Ciri-ciri ideologi terbuka antara lain adalah realis, idealis dan fleksibel. Bersifat realis karena Pancasila sesuai dengan keadaan bangsa Indonesia yang mencerminkan keanekaragaman ras, suku serta kepercayaan. Besifat idealis karena Pancasila merupakan konsep hasil pemikiran yang mengandung harapan-harapan, optimisme, serta mampu menggugah motivasi pendukungnya untuk melaksanakan apa yang dicita-citakan. Bersifat fleksibel karena Pancasila dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang terus-menerus berkembang dan sekaligus mampu memberi arah melalui tafsir-tafsir baru yang konsisten dan relevan. Dengan demikian Pancasila sebagai ideologi, dasar negara serta kepribadian bangsa telah menopang dan mengakomodir berbagai suku, ras, dan agama yang ada di Indonesia.

Negara Indonesia memiliki dasar dan ideologi Pancasila. Negara kebangsaan Indonesia yang berPancasila bukanlah negara sekuler atau negara yang memisahkan antara agama dengan negara. Di sudut lain negara kebangsaan Indonesia yang berPancasila juga bukan negara agama (paham Theokrasi) atau negara yang berdasarkan atas agama tertentu (Suhadi, 1998: 114). Negara Pancasila pada hakekatnya adalah negara kebangsaan yang Berketuhanan YME. Dengan demikian makna negara kebangsaan Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalahkesatuan integral dalam kehidupan bangsa dan negara yang memilki sifat kebersamaan, kekeluargaan dan religiusitas.

Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, sebenarnya memiliki keselarasan dengan ajaran Islam sebagai agama mayoritas penduduk bangsa Indonesia. Sikap umat Islam di Indonesia yang menerima dan menyetujui Pancasila dan UUD 1945, dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya dari segala segi pertimbangan. Beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan keselarasan Pancasila dengan ajaran Islam adalah sebagaimana uraian berikut.

1. Pancasila bukan agama dan tidak bisa menggantikan agama.

2. Pancasila bisa menjadi wahana implementasi Syariat Islam.

3. Pancasila dirumuskan oleh tokoh bangsa yang mayoritas beragama Islam.

Selain hal-hal di atas, keselarasan Pancasila dengan ajaran Islam juga tercermin dari kelima silanya yang selaras dengan ajaran Islam. Keselarasan masing-masing sila dengan ajaran Islam, akan dijelaskan melalui uraian di bawah ini.

1. Sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa bermakna bahwa bangsa Indonesia berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Warga negara Indonesia diberikan kebebasan untuk memilih satu kepercayaan, dari beberapa kepercayaan yang diakui oleh negara. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah hablun min Allah, yang merupakan sendi tauhid dan pengejawantahan hubungan antara manusia dengan Allah SWT.  Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mengesakan Tuhan. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 163. Dalam kacamata Islam, Tuhan adalah Allah semata, namun dalam pandangan agama lain Tuhan adalah yang mengatur kehidupan manusia, yang disembah.

2. Sila kedua yang berbunyi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab bermakna bahwa bangsa Indonesia menghargai dan menghormati hak-hak yang melekat pada pribadi manusia. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah hablun min al-nas, yakni hubungan antara sesama manusia berdasarkan sikap saling menghormati. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu menghormati dan menghargai sesama. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Al-Maa’idah ayat 8.

3. Sila ketiga berbunyi Persatuan Indonesia bermakna bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang satu dan bangsa yang menegara.  Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah ukhuwah Islamiah(persatuan sesama umat Islam) dan ukhuwah Insaniah (persatuan sesama umat manusia). Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu menjaga persatuan. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 103.

4. Sila keempat berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmad Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan bermakna bahwa dalam mengambil keputusan bersama harus dilakukan secara musyawarah yang didasari oleh hikmad kebijaksanaan. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah mudzakarah (perbedaan pendapat) dan syura (musyawarah). Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu selalu bersikap bijaksana dalam mengatasi permasalahan kehidupan dan selalu menekankan musyawarah untuk menyelesaikannya dalam suasana yang demokratis. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 159.

5. Sila kelima berbunyi Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia bermakna bahwa Negara Indonesia sebagai suatu organisasi tertinggi memiliki kewajiban untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah adil. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya memerintahkan untuk selalu bersikap adil dalam segala hal, adil terhadap diri sendiri, orang lain dan alam. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat al-Nahl ayat 90.

Berdasarkan penjelasan di atas, sebenarnya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara memiliki keselarasan dengan ajaran Islam. Sikap umat Islam di Indonesia yang menerima dan menyetujui Pancasila dan UUD 1945, dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya dari segala segi pertimbangan.

Dengan demikian sudah semestinya tercipta kebersamaan antara golongan nasionalis dan golongan Islam di bumi pertiwi ini. Semoga suatu saat nanti terwujud kebersamaan antara golongan nasionalis (kebangsaan) dengan golongan Islam, sehingga terwujud suatu masa ketika PANCASILA BERTASBIH.

TAWASSUL

Post : Ahmad Nawawi


       Tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak pernah bertawassul,seluruh Nabi dan Rosul juga umat Islam seluruh dunia pasti setiap hari melakukan tawassul,disadari atau tidak oleh mereka. Saya sebagai ummat Nabi Muhammad saw. tentu melaksanakan perintah Allah, sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al-Ahzab ayat 56 yang terjemahnya: "Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya." dan senang membaca sholawat dalam sholawat banyak sekali tawassul2 yg kita ucapkan yakni berdoa meminta kepada Allah melalui Nabi Muhammad. seperti sholawat Nariyah,sholawat Munjiyat,sholawat Thibbil Qulub,sholawat Ibnu Abbas. Kalau ada orang ngaku tidak pernah bertawassul berarti dia bukan ummat Muhammad saw. karena jelas jarang atau bahkan gak mau membaca sholawat Nabi.
Tawassul itu maknanya perantara, mana ada orang yg tidak pake perantara, langsung pada Allah,ya banyak gagalnya daripada berhasilnya,bisa saya katakan kegagalan tanpa tawassul itu 99% dan kemungkinan berhasil hanya 1% jadi tanpa tawassul rasanya mustahil orang mencapai apa yg diharapkan atau mendapatkan terkabulnya do'a.
Contoh dalam kehidupan sehari-hari:

1. Kita yakin 100% yg memberi kehidupan adalah Allah SWT juga yg memberi rasa lapar dan rasa kenyang, coba kita saat lapar langsung berdoa Ya Allah saya minta kenyang, pa langsung dikabulkan?semua orang termasuk saya saat lapar pasti makan dan sebelum makan berdo'a Allahumma bariklana fima rozaqtana...ila akhirihi. dan makan baru oleh Allah dikasih kekenyangan,jadi kita semua bisa kenyang karena perantara (tawassul) makanan tersebut.

2. Saat kita sakit, tanpa perantara (tawassul) minum obat,dan langsung berdo'a Ya Allah sembuh,Ya Allah sembuh,kl bukan Nabi atau wali ya sulit itu terwujud.

3. Kita tahu pemberi rezeki itu Allah dan apakah Allah langsung berhadapan dg kita dalam memberi rezeki pada kita di dunia ini?impossible,bukan Allahnya yg tidak mampu,tapi kita yg tidak mampu berhadapan langsung dg Allah,makanya dulu saat sekolah kita minta uang pada orang tua "Pak minta uang jajan" atau saat sekarang dah kerja "saya minta gaji" dan orang tua atau bos perusahaan adalah perantara (tawassul) bagi kita untuk mendapat rezeki dari Allah.

Tiga contoh di atas saya rasa cukup membuktikan bahwa tidak ada orang tidak pernah bertawassul. memakai perantara (tawassul) nasi, obat, dokter, guru, dll aja dah jd kebiasaan kita sehari-hari untuk mendpatkan kenyang, kesehatan dan ilmu. Lebih2 kita bertwassul meminta pada Allah dengan para Nabi dan para wali, insya Allah juga lebih cepat dikabulkan
Adapun dasar tawassul adalah Sabda rasul-Nya sbb:

a. Hadits Riwayat Baihaqi dlm kitab Hayatul an-biya' hal.3 yg terjemahnya: Dari Anas bin Malik, Beliau berkata: Rosulullah bersabda: Para Nabi itu hidup di alam kubur mereka dan mereka melaksanakan sholat (HR. Imam Baihaqi).

b. Hadits riwayat al-Nasa'iy, Ibnu Majah dan Ahmad dan al-Darimy yg isinya hari utama itu hari jum'at maka bacalah sholawat kpdku shg langsung diberitahukan kpdku. para sahabat bertanya: Bagaimana mungkin sholawat kami sampai kpd engkau, sedang engkau sudah hancur,Beliau menjawab: sesungguhnya Allah melindungi jasad para Nabi dari kerusakan (HR. Nasa'i)

FATWA-FATWA ULAMA' AHLUSSUNNAH TENTANG TASAWUF


Post : M.abdulQodirNoer

Para ulama besar kaum muslimin sama sekali tidak menentang tasawuf, tercatat banyak dari mereka yang menggabungkan diri sebagai pengikut dan murid tasawuf, para ulama tersebut berkhidmat dibawah bimbingan seorang mursyd tarekat yang arif, bahkan walaupun ulama itu lebih luas wawasannya tentang pengetahuan syari’at Islam, namun mereka tetap menghormati para syaikh yang mulia, hal ini dikarenakan ilmu2 syari’at yang diperoleh dari jalur pendidikan formal adalah ilmu lahiriah, sedangkan untuk memperoleh ilmu batiniyah dalam membentuk “qalbun salim / akhlak yang mulia”, seseorang harus menyerahkan dirinya untuk berkhidmat dibawah bimbingan seorang mursyd Tarekat yang sejati. (yang silsilah keilmuannya jika dirunut keatas akan sampai kepada Nabi Muhammad SAW)

IMAM AL- GHAZALI
(450-505 H./1058-1111 M)
Imam Ghazali tentang tasawuf : “Saya tahu dengan benar bahwa para Sufi adalah para pencari jalan Allah, dan bahwa mereka melakukan yang terbaik, dan jalan mereka adalah jalan terbaik, dan akhlak mereka paling suci. Mereka membersihkan hati mereka dari selain Allah dan mereka menjadikan mereka sebagai jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran Ilahi [al-Munqidh min ad-dalal, hal. 131].
Dalam bukunya an-Nusrah an-Nabawiahnya mengatakan bahwa mendalami dunia tasawuf itu penting sekali. Karena, selain Nabi, tidak ada satupun manusia yang bisa lepas dari penyakit hati seperti riya, dengki, hasud dll. Dan, dalam pandangannya, tasawuf lah yang bisa mengobati penyakit hati itu. Karena dalam ilmu tasawuf konsentrasi mempelajari pada tiga hal dimana ketiga-tiganya sangat dianjurkan oleh al-Qur’an al-karim. Pertama, selalu melakukan kontrol diri, muraqabah dan muhasabah. Kedua, selalu berdzikir dan mengingat Allah Swt. Dan ketiga, menanamkan sifat zuhud, cinta damai, jujur, sabar, syukur, tawakal, dermawan dan ikhlas.

DR. YUSUF AL-QARDHAWI

(Ketua Ulama Islam Internasional dan juga guru besar Universitas al Azhar – Beliau merupakan salah seorang ulama Islam terkemuka abad ini) didalam kumpulan fatwanya mengatakan : “Arti tasawuf dalam agama ialah memperdalam ke arah bagian ruhaniah, ubudiyyah, dan perhatiannya tercurah seputar permasalahan itu.”
Beliau juga berkata, “Mereka para tokoh sufi sangat berhati-hati dalam meniti jalan di atas garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur,an dan As-Sunnah. Bersih dari berbagai pikiran dan praktek yang menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya. Banyak orang yang masuk Islam karena pengaruh mereka, banyak orang yang durhaka dan lalim kembali bertobat karena jasa mereka. Dan tidak sedikit yang mewariskan pada dunia Islam, yang berupa kekayaan besar dari peradaban dan ilmu, terutama di bidang marifat, akhlak dan pengalaman-pengalaman di alam ruhani, semua itu tidak dapat diingkari.”
EMPAT ORANG IMAM MAZHAB SUNNI, semuanya mempunyai seorang guru mursyd tarekat. Melalui mursyd tarekat tersebut mereka mempelajari Islam dalam sisi esoterisnya yang indah dan sangat agung. Mereka semua menyadari bahwa ilmu syariat harus didukung oleh ilmu tasawuf sehingga akan tercapailah pengetahuan sejati mengenai hakikat ibadah yang sebenarnya.

IMAM ABU HANIFAH (85 H -150 H)

(Nu’man bin Tsabit - Ulama besar pendiri mazhab Hanafi)
Beliau adalah murid dari Ahli Silsilah Tarekat Naqsyabandi yaitu Imam Jafar as Shadiq ra . Berkaitan dengan hal ini, Jalaluddin as Suyuthi didalam kitab Durr al Mantsur, meriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah berkata, “Jika tidak karena dua tahun, aku telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Imam Jafar as Shadiq, maka saya mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar”.

IMAM MALIKI

(Malik bin Anas - Ulama besar pendiri mazhab Maliki) juga murid Imam Jafar as Shadiq ra, mengungkapkan pernyataannya yang mendukung terhadap ilmu tasawuf sebagai berikut :
“Man tasawaffa wa lam yatafaqa faqad tazandaqa, wa man tafaqaha wa lam yatasawaf faqad tafasaq, wa man tasawaffa wa taraqaha faqad tahaqaq”.
Yang artinya : “Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawuf tanpa fiqih maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqih tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawuf dengan disertai fiqih dia meraih Kebenaran dan Realitas dalam Islam.” (’Ali al-Adawi dalam kitab Ulama fiqih, juz 2, hal. 195 yang meriwayatkan dari Imam Abul Hasan).

IMAM SYAFI’I (Muhammad bin Idris, 150-205 H)

Ulama besar pendiri mazhab Syafi’i berkata, “Saya berkumpul bersama orang-orang sufi dan menerima 3 ilmu:
1. Mereka mengajariku bagaimana berbicara
2. Mereka mengajariku bagaimana memperlakukan orang lain dengan kasih sayang dan kelembutan hati
3. Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawuf.”
(Riwayat dari kitab Kasyf al-Khafa dan Muzid al Albas, Imam ‘Ajluni, juz 1, hal. 341)

IMAM AHMAD BIN HANBAL (164-241 H)

Ulama besar pendiri mazhab Hanbali berkata, “Anakku, kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka selalu mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka adalah orang-orang zuhud yang memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi. Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka” (Ghiza al Albab, juz 1, hal. 120 ; Tanwir al Qulub, hal. 405, Syaikh Amin al Kurdi)

SYAIKH FAKHRUDDIN AR RAZI (544-606 H)
Ulama besar dan ahli hadits) berkata :
“Jalan para sufi adalah mencari ilmu untuk memutuskan hati mereka dari kehidupan dunia dan menjaga diri agar selalu sibuk dalam pikiran dan hati mereka dengan mengingat Allah pada seluruh tindakan dan perilaku .” (I’tiqad al Furaq al Musliman, hal. 72, 73)

IMAM AL MUHASIBI (243 H./857 M)
Imam al-Muhasibi meriwayatkan dari Rasul, “Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu yang akan menjadi kelompok yang selamat” . Dan Allah yang lebih mengetahui bahwa satu itu adalah Golongan orang TASAWUF. Dia menjelaskan dengan mendalam dalam Kitab al- Wasiya hal. 27-32.

IMAM AL QUSHAYRI (465 H./1072 M)
Imam al-Qushayri tentang Tasawuf: “Allah membuat golongan ini yang terbaik dari wali wali- Nya dan Dia mengangkat mereka di atas seluruh hamba-hamba-Nya sesudah para Rasul dan Nabi, dan Dia memberi hati mereka rahasia Kehadiran Ilahi-Nya dan Dia memilih mereka diantara umat-Nya yang menerima cahaya-Nya. Mereka adalah sarana kemanusiaan, Mereka menyucikan diri dari segala hubungan dengan dunia dan Dia mengangkat mereka ke kedudukan tertinggi dalam penampakan (kasyaf).
Dan Dia membuka kepada mereka Kenyataan akan Keesaan-Nya. Dia membuat mereka untuk melihat kehendak-Nya mengendalikan diri mereka. Dia membuat mereka bersinar dalam wujud-Nya dan menampakkan mereka sebagai cahaya dan cahaya-Nya .” [ar-Risalat al-Qushayriyyah, hal. 2]

IMAM NAWAWI (620-676 H./1223-1278 M)

Dalam suratnya al-Maqasid: “Ciri jalan sufi ada 5:
menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri mengikuti Sunah Rasul dengan perbuatan dan kata menghindari ketergantungan kepada orang lain, bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit, selalu merujuk masalah kepada Allah swt [Maqasid at-Tawhid, hal. 20]

IBNU KHALDUN (733-808 H)

Ulama besar dan filosof Islam berkata, “Jalan sufi adalah jalan salaf, yakni jalannya para ulama terdahulu di antara para sahabat Rasulullah Saww, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in. Asasnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan serta kesenangan dunia.” (Muqadimah ibn Khaldun, hal. 328)

IMAM JALALUDDIN AS SUYUTI

(Ulama besar ahli tafsir Qur’an dan hadits) didalam kitab Ta’yad al haqiqat al ‘Aliyyah, hal. 57 berkata, “Tasawuf yang dianut oleh ahlinya adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Ilmu ini menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi Saww dan meninggalkan bid’ah.”

TAJUDDIN AS SUBKI

Kitab Mu’iid an-Na’iim, hal. 190, tentang Tasawuf : “Semoga Allah memuji mereka dan memberi salam kepada mereka dan menjadikan kita bersama mereka di dalam sorga. Banyak hal yang telah dikatakan tentang mereka dan terlalu banyak orang-orang bodoh yang mengatakan hal-hal yang tidak berhubungan dengan mereka. Dan yang benar adalah bahwa mereka meninggalkan dunia dan menyibukkan diri dengan ibadah”
Dia berkata pula : “Mereka adalah manusia-manusia yang dekat dengan Allah yang doa dan shalatnya diterima Allah, dan melalui mereka Allah membantu manusia”

IBNU ‘ABIDIN

Ulama besar, Ibn ‘Abidin dalam Rasa’il Ibn cAbidin (p. 172-173) menyatakan: ” Para pencari jalan ini tidak mendengar kecuali Kehadiran Ilahi dan mereka tidak mencintai selain Dia. Jika mereka mengingat Dia mereka menangis. Jika mereka memikirkan Dia mereka bahagia. Jika mereka menemukan Dia mereka sadar. Jika mereka melihat Dia mereka akan tenang. Jika mereka berjalan dalan Kehadiran Ilahi, mereka menjadi lembut. Mereka mabuk dengan Rahmat-Nya. Semoga Allah merahmati mereka”. [Majallat al-Muslim, 6th ed., 1378 H, p. 24].

SYEIKH RASYID RIDHA

Dia berkata,”Tasawuf adalah salah satu pilar dari pilar-pilar agama. Tujuannya adalah untuk membersihkan diri danmempertanggung jawabkan perilaku sehari-hari dan untuk menaikan manusia menuju maqam spiritual yang tinggi” [Majallat al-Manar, tahun pertama hal. 726].

MAULANA ABUL HASAN ALI AN-NADWI

Maulana Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi anggota the Islamic-Arabic Society of India and Muslim countries. Dalam, Muslims in India, , p. 140-146, “Para sufi ini memberi inisiasi (baiat) pada manusia ke dalam keesaan Allah dan keikhlasan dalam mengikuti Sunah Nabi dan dalam menyesali kesalahan dan dalam menghindari setiap ma’siat kepada Allah SWT. Petunjuk mereka merangsang orang-orang untuk berpindah ke jalan kecintaan penuh kepada Allah”
“Kita bersyukur atas pengaruh orang-orang sufi, ribuan dan ratusan ribu orang di India menemukan Tuhan mereka dan meraih kondisi kesempurnaan melalui Islam”

ABU ‘ALA AL MAUDUDI

Dalam Mabadi’ al-Islam (hal. 17), “Tasawuf adalah kenyataan yang tandanya adalah cinta kepada Allah dan Rasul saw, di mana sesorang meniadakan diri mereka karena tujuan mereka (Cinta), dan seseorang meniadakan dari segala sesuatu selain cinta Allah dan Rasul” “Tasauf mencari ketulusan hati, menyucikan niat dan kebenaran untuk taat dalam seluruh perbuatannya.”

IBNU TAIMIYYAH (661-728 H)

Salah seorang ulama yang pada awalnya dikenal sangat sulit menerima tasawuf (seperti juga aliran baru yg mengaku Salafy dan Wahaby saat ini) dedengkotnya fatwa bid’ah, yang merupakan penentang tasawuf paling getol, pada akhirnya sebelum Ibnu Taimiyah menemui ajal, akhirnya mengakui bahwa tasawuf adalah jalan kebenaran, sehingga beliaupun mengambil bai’at dan menjadi pengikut Tarekat Qadiriyyah. Berikut ini perkataan Ibnu Taimiyyah didalam kitab Majmu al Fatawa Ibn Taimiyyah, terbitan Dar ar Rahmat, Kairo, juz 11, hal. 497, dalam bab. Tasawuf :
“Kalian harus mengetahui bahwa para syekh yang terbimbing harus diambil dan diikuti sebagai petunjuk dan teladan dalam agama, karena mereka mengikuti jejak Para Nabi dan Rasul. Tarekat para syekh itu adalah untuk menyeru manusia kepada kehadiran dalam Hadhirat Allah dan ketaatan kepada Nabi.”
Kemudian dalam kitab yang sama hal. 499, Ibnu Taimiyah berkata, “Para syekh harus kita ikuti sebagai pembimbing, mereka adalah teladan kita dan kita harus mengikuti mereka. Karena ketika kita berhaji, kita memerlukan petunjuk (dalal) untuk mencapai Ka’ bah, para syekh ini adalah petunjuk kita (dalal) menuju Allah dan Nabi kita.”
Di antara para syekh sufi yang beliau sebutkan didalam kitabnya adalah, Syaikh Ibrahim ibn Adham ra, Syaikh Ma’ruf al Karkhi ra, Syaikh Hasan al Basri ra, Sayyidah Rabi’ah al Adawiyyah ra, Syaikh Abul Qasim Junaid ibn Muhammad al Baghdadi ra, dan juga guru kami Syaikh Abdul Qadir al Jailani, Syaikh Ahmad ar Rifa’i ra, dll.
Dalam satu kesempatan, Ibnu taymiyah ketika ditanya tentang kasus yang menimpa Bayazid Bistami dan Al-Hallaj beliau mengatakan bahwa keduanya tidak sesat hanya saja beliau menyayangkan mengapa ungkapan-ungkapan mereka saat ekstase (Jadhab) itu terpublikasikan.
Didalam kitab “Syarh al Aqidah al Asfahaniyyah” hal. 128. Ibnu Taimiyyah berkata, “Kita (saat ini) tidak mempunyai seorang Imam yang setara dengan Malik, al Auza’i, at Tsauri, Abu Hanifah, as Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Fudhail bin Iyyadh, Ma’ruf al Karkhi, dan orang-orang yang sama dengan mereka.” Kemudian sejalan dengan gurunya, Ibnu Qayyim al Jauziyyah didalam kitab “Ar Ruh” telah mengakui dan mengambil hadits dan riwayat-riwayat dari para syekh sufi.

TAQIYUDDIN AN-NABHANY,

Pendiri Hizbut Tahrir adalah seorang sufi, beliau mempunyai buku berjudul: Jâmi’ Karâmât al-Auliyâ’ (beberapa karamah para kekasih Allah). Kemudian Syaikh Muhammad Ilyas, pendiri Jamaah Tabligh, pernah baiat kepada tareqat al-Jasytiyah, sebagai gurunya ketika itu adalah Syaikh Ahmad Al-Janjûhiy. Setelah itu memperbaharui baiatnya kepada Syaikh Ahmad Al-Sahârnafûry. Tidak ketinggalan pendiri gerakan dakwah Ikhwanul Muslimin, Imam Hasan Al-Banna. Sejak masih dalam jenjang ibtidaiyah (SD) beliau sudah bergabung dengan tarekat sufi Jamaah Ikhwanul Hashafiyah.
* * * * * * * * * * * *
Seperti itulah pengakuan para ulama besar kaum muslimin tentang tasawuf. Mereka semua mengakui kebenarannya dan mengambil berkah ilmu tasawuf dengan belajar serta berkhidmat kepada para syaikh tarekat pada masanya masing-masing. Oleh karena itu tidak ada bantahan terhadap kebenaran ilmu ini, mereka yang menyebut tasawuf sebagai ajaran sesat atau bid’ah adalah orang-orang yang tertutup hatinya terhadap kebenaran Allah SWT.
Ringkasnya, belajar Tasawuf dengan memilih Tarekat yang benar, Tarekat yang mu’tabaroh (yang diakui keabsahannya di dunia Islam) dari segi silsilah guru dan ajarannya dari dahulu maupun sekarang, adalah sarana efektif untuk menyebarkan kebenaran Islam, memperluas ilmu dan pemahaman spiritual, dan meningkatkan kebahagiaan serta kedamaian.
Dengan ilmu Tasawuf manusia dapat lebih mengenal diri sendiri, dengan demikian akan lebih mengenal Tuhannya. Sehingga manusia mendapatkan keselamatan dari kebodohan dunia serta dari godaan keindahan materi. Dan hanya Allah SWT yang lebih mengetahui niat hamba-hamba-Nya yang tulus.
* * * * * * * * * * * * *
Laa ilaha illa allah
Tiada Tuhan kecuali Allah

Laa ma’buda illa allah
Tiada yang disembah kecuali Allah

Laa ma’suda illa allah
Tiada yang dituju kecuali Allah

Laa maujuda illa allah
Tiada yang maujud (berwujud) kecuali Allah

Ilahi, anta maqsudi
Tuhanku, hanya engkau tujuanku,

Waridhokamatlubi
Dan hanya ridloMulah yang kucari,

A’tini mahabbataka wama’rifataka…
Limpahkan Cinta dan Ma’rifatMu kepadaku…

La Hawla Wala Quwata Ilabillah
Tiada Daya Kekuatan Kecuali Dari Allah

KONSEP AQIDAH ASY'ARIYAH (AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH)


1. Masalah ketuhanan :

a. Tidak ada Tuhan selain Allah.

b. Allah itu Esa tidak ada sekutu bagiNya.

c. Allah itu “laisa kamislihi syaiun” tidak ada sesuatupun yang menyerupaiNya.

d. Mengimani sifat-sifat Khabariah (yang dikhabarkan Allah tentang diriNya), yaitu :

1. Wujud (Ada).

2. Qidam (Maha Dahulu).

3. Baqa (Kekal Abadi)

4. Mukholafatul lil Hawaditsi (berbeda dengan semua makhluk yang baru).

5. Qiyamuhu bi Nafsihi (berdiri sendiri).

6. Wahdaniyah (Maha Esa)

7. Qudrat (Maha Kuasa).

8. Iradat (Maha Berkehendak).

9. Ilmu (Maha Mengetahui)

10. Hayat (Maha Hidup)

11. Sama’ (Maha Mendengar)

12. Bashar (Maha Melihat)

13. Kalam (Maha Berfirman)

14. Qodiron (Maha Berkuasa)

15. Muridan

16. Aliman

17. Hayyan

18. Sami’an

19. Bashiran

20. Mutakalliman

Disamping mengimani sifat-sifat Allah juga mengimani 99 Asmaul Husna (nama-nama baik yang juga menunjukkan sifat) bagi Allah, yaitu : Ar Rahman, Ar Rahim, Al Malik, Al Qudus, As Salam, Al Mukmin, Al Muhaimin, Al Azis, Al Jabbar, Al Mutakabir, Al Khaliq, Al Bari’, Al Musawwir, Al Ghofar, Al Qohar, Al Wahab, Al Fatah, Ar Rozaq, dst ada 99.

2. Akidah Tauhid :

a. Tauhid Rububiyah, meyakini bahwa Allah satu-satunya Rabb, pencipta seluruh alam semesta.

b. Tauhid Uluhiyah, meyakini bahwa Allah satu-satunya Ilah, sesembahan yang boleh diibadahi.

c. Tauhid Mulkiyah, meyakini bahwa Allah satu-satunya Mulk, penguasa, pengatur seluruh alam semesta, pemberi rejeki seluruh makhluk-Nya.

3. Al-Qur’an

a. Al-Qur’an merupakan Kalamullah (firman Allah) bukan makhluk.

b. Meyakini semua ayat Al-Qur’an benar dari sisi Allah, tidak ada kesalahan, kebatilan dan pertentangan dalam semua ayat-ayatnya.

c. Mengimani kitab suci sebelum Al-Qur’an pernah berlaku pada masanya masing-masing seperti : Injil nabi Isa, Zabur nabi Daud, Taurat nabi Musa, Suhuf-suhuf (lembaran suci) nabi Ibrahim.

4. Rasul

a. Mengimani 25 Nabi dan Rasul yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Diluar 25 Nabi dan Rasul yang disebutkan dalam Al-Qur’an ada Nabi dan Rasul yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.

b. Mengimani bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul terakhir yang membawa syariat agama Islam yang telah sempurna untuk seluruh umat manusia dimuka bumi dan untuk golongan jin.

c. Mengimani tidak ada Nabi dan Rasul baru yang menerima wahyu dan membawa syariat baru sesudah Nabi Muhammad SAW.

d. Mengimani bahwa Nabi Muhammad SAW makshum (terpelihara dari dosa dan kesalahan).

4. Malaikat

a. Mengimani adanya para Malaikat yang selalu taat dan patuh kepada Allah :

1. Malaikat Jibril, pemimpin para Malaikat yang menyampaikan wahyu kepada Nabi.

2. Malaikat Mikail, pembagi rezeki, pengatur hujan, berhembusnya angin.

3. Malaikat Isrofil, peniup sangkakala saat hari kiamat.

4. Malaikat Izrail, pencabut nyawa.

5. Malaikat Munkar, penanya dalam alam kubur.

6. Malaikat Nakir, penanya dalam alam kubur.

7. Malaikat Rokib, pencatat amal baik.

8. Malaikat Atid, pencatatat amal buruk.

9. Malaikat Ridwan, pemimpin penjaga surga.

10. Malaikat Malik, pemimpin penjaga neraka.

11. Malaikat Hafadah, mengiringi setiap manusia.

12. Malaikat Zabaniah, petugas menjaga neraka.

13. Malaikat Muqorrobin, pemikul Arsy

b. Mengimani bahwa para malaikat selalu taat, patuh, beribadah, berdzikir dan memuji Allah.

5. Mengimani adanya Iblis, syaiton dan Jin.

6. Akhirat

a. Mengimani adanya alam kubur.

b. Mengimani adanya Masyar.

c. Mengimani adanya Mizan (timbangan).

d. Mengimani adanya hisab (perhitungan amal).

e. Mengimani adanya Shirat (jembatan).

f. Mengimani adanya telaga Kautsar.

g. Mengimani adanya syafa’at Nabi Muhammad dan orang-orang yang diijinkan oleh Allah untuk memberi syafa’at.

h. Mengimani adanya surga dan neraka.

7. Iman

a. Iman itu keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan.

b. Iman dapat bertambah karena ilmu dan amal saleh, iman juga dapat berkurang karena kelalaian dan dosa-kemaksiatan.

8. Dosa besar

a. Pelaku dosa besar menjadi fasik.

b. Pelaku dosa besar yang akidahnya masih sempurna, tidak keluar dari Islam.

c. Dosa besar selain Syirik masih bisa diampuni oleh Allah bila mau taubat dengan sungguh-sungguh.

d. Pelaku dosa besar kelak akan masuk neraka sampai waktu tertentu sebagai hukuman atas dosa-dosanya kemudian akan dimasukkan kedalam surga.

9. Takdir dan keadilan Allah

a. Mengimani adanya takdir Allah pada induk kitab Lauhful Mahfudz.

b. Manusia diberi kebebasan ber ikhtiar.

c. Allah bersifat adil dalam memberi pahala-surga bagi mukmin yang taat dan memberi dosa-neraka bagi yang durhaka.

10. Khilafah dan imamah

a. Wajib adanya khilafah (pemerintahan)

b. Tidak boleh memberontak selama Khalifah masih mendirikan shalat.

c. Prinsip pemerintahan : Quraisy (memiliki keutamaan seperti orang Quraisy), baiat, syuro (musyawarah) dan keadilan.

d. Rasulullah tidak mewasiatkan seseorang tertentu (Ali dan keturunannya) sebagai satu-satunya yang berhak atas kekhalifahan.

11. Filsafat

a. Dalam urusan akidah tidak boleh mengutamakan dominasi rasio (apalagi liberal seenaknya) dalam menafsirkan nash.

b. Dalam urusan dunia (kedokteran, matematika, kimia, astronomi, dsb), Islam juga menganjurkannya karena hidup di dunia, sehingga ilmu dunia juga penting.

12. Sahabat Nabi

a. Semua sahabat Nabi adalah adil, artinya diterima kesaksian dan periwayatan haditsnya.

b. Generasi Islam terbaik adalah generasi sahabat Nabi, generasi Tabi’in dan generasi Tabi’it Tabi’in.

c. Tidak boleh mencaci, mencela dan mengatakan tentang keburukan para sahabat Nabi.

d. Sahabat Nabi yang terlibat pertikaian pada perang Jamal dan Shiffin, walaupun ada yang bersalah, namun mereka telah taubat dan jasa mereka terhadap Islam masih lebih besar dari kesalahannya.

e. Sahabat Nabi yang utama adalah :

1. Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali).

2. Sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga.

3. Orang-orang Muhajirin dan Anshar yang paling dahulu masuk Islam.

4. Para peserta perang Badar.

5. Para peserta Baiat dibawah pohon (Bai'atur Ridwan).

6. Para veteran perang-perang lain dimasa Nabi.



13. Nash-nash Tasybih dan Tajsim.

a. Tasybih, yaitu nash yang mengabarkan penyerupaan Allah dengan makhluk, seperti :

1. “Tuhan yang Rahman bersemayam diatas Arsy.” (Q Thaha : 5)

2. “Dan datanglah Tuhanmu, sedang para Malaikat berbaris-baris” (QS Al Fajr : 22).

3. “Dan Dia (Allah) bersama kamu dimana saja kamu berada.” (QS AL-Hadid : 4)

4. “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS Qaaf : 16)

5. “Bukanlah engkau yang melempar ketika engkau melempar (musuh) tetapi Allah lah yang melempar (mereka)” (QS Al-Hadid : 22).

6. Hadits Riwayat Bukhari :

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda : “Tuhan kita, tiap-tiap malam turun kelangit dunia pada ketika tinggal sepertiga malam yang terakhir, lalu Dia berkata : ‘Siapakah yang akan berdo’a maka Aku kabulkan, siapakah yang meminta maka akan Aku beri, siapakah yang mohon ampunan, maka Aku ampuni.”

b. Tajsim, yaitu nash yang mengkhabarkan “anggota tubuh Allah”

1. “Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah, tangan Allah diatas tangan mereka.” (QS Al-Fath : 10)

2. “Hai Iblis, apa yang menghalangimu untuk sujud kepada apa yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku” (QS Ash Shaf : 7).

3. “Dan Langit kami bangun dengan tangan Kami.” (QS Az Zariat : 47)

4. “Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya.” (QS Az Zumar : 67).

5. Hadits Riwayat Muslim :

“Bahwasanya hati anak Adam seluruhnya terletak diantara dua anak jari Tuhan yang Rahman.”

6. “Dan buatlah perahu dengan mata Kami dan wahyu kami.” (QS Hud : 37).

7. “Aduhai, sesalanku atas kelalaianku dalam mengurus sisi rusuk Tuhanku.” (QS Az Zumar : 56)

8. “Segala yang didunia akan lenyap binasa, dan yang akan kekal hanyalah wajah Tuhanmu.” (QS Ar Rahman : 26)

9. “Kemana saja kamu menghadap disitulah wajah Allah.” (Al Baqarah : 115)

10. “Allah cahaya langit dan bumi” (QS An Nur : 35).

11. Hadits riwayat Muslim:

“Tuhan menjadikan Adam atas rupa (citra) Nya.”

12. Hadits riwayat Bukhari dan Muslim :

“Kepada neraka jahanam selalu dilemparkan sesuatu, dan ia selalu bertanya : ‘Adakah tambahannya ?’ sampai tuhan meletakkan tumit-Nya dalam neraka jahanam itu, sehingga berhimpit isi neraka itu yang satu dengan yang lainnya, lalu jahanam berkata : ‘Cukuplah, cukup’.”

Terhadap nash-nash Al-Qur’an dan Hadits yang mengkhabarkan tasybih, tajsim, sifat-sifat Allah, maka yang demikian itu termasuk ayat-ayat mutasyabih maka kita wajib mengimani semua ayat-ayat mutasyabih tersebut berasal dari sisi Allah. Tidak ada yang tahu ta’wil sebenarnya kecuali Allah, dan kita tidak diwajibkan mengetahui ta’wilnya, maka tidak perlu membahasnya secara mendetail berdasarkan akal pikiran.

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”. (QS Asy Syura : 11).

(Dialah yang menurunkan kepadamu Alquran, di antara isinya ada ayat-ayat yang muhkamat) jelas maksud dan tujuannya (itulah dia pokok-pokok Alquran) yakni yang menjadi pegangan dalam menetapkan (sedangkan yang lainnya mutasyabihat) tidak dimengerti secara jelas maksudnya, misalnya permulaan-permulaan surah. Semuanya disebut sebagai 'muhkam' seperti dalam firman-Nya 'uhkimat aayaatuh' dengan arti tak ada cacat atau celanya, dan 'mutasyaabiha' pada firman-Nya, 'Kitaaban mutasyaabiha,' dengan makna bahwa sebagian menyamai lainnya dalam keindahan dan kebenaran. (Adapun orang-orang yang dalam hatinya ada kecenderungan pada kesesatan) menyeleweng dari kebenaran, (maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat untuk membangkitkan fitnah) di kalangan orang-orang bodoh dengan menjerumuskan mereka ke dalam hal-hal yang syubhat dan kabur pengertiannya (dan demi untuk mencari-cari takwilnya) tafsirnya (padahal tidak ada yang tahu takwil) tafsirnya (kecuali Allah) sendiri-Nya (dan orang-orang yang mendalam) luas lagi kokoh (ilmunya) menjadi mubtada, sedangkan khabarnya: (Berkata, "Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyaabihat) bahwa ia dari Allah, sedangkan kami tidak tahu akan maksudnya, (semuanya itu) baik yang muhkam maupun yang mutasyabih (dari sisi Tuhan kami," dan tidak ada yang mengambil pelajaran) 'Ta' yang pada asalnya terdapat pada 'dzal' diidgamkan pada dzal itu hingga berbunyi 'yadzdzakkaru' (kecuali orang-orang yang berakal) yang mau berpikir. Mereka juga mengucapkan hal berikut bila melihat orang-orang yang mengikuti mereka. (Tafsir Jalalain QS. Al-Imron ayat 7)

berdasarkan QS. Al-Imron ayat 7 ini yg mengetahui takwil ayat2 mutasyabihat hanya Allah dan orang2 yg mendalam ilmunya (Nabi saw. sahabat pilihan dan Ulama'2 pilihan)

website berbahaya Ahmadiyah


Jakarta. Suparman dihadapan guru ngajinya mengaku bahwa ia bersedia menjadi anggota Ahmadiyah dan bahkan menjadi Ketua Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Cikeusik lantaran faktor ekonomi. Hal itu diungkapkan Ketua MUI Banten KH Aminudin Ibrahim dalam acara Halqah Islam dan Peradaban (HIP) ke-27, Ahad (20/2) di Wisma Antara, Jakarta. Anggota Tim Pencari Informasi dan Fakta (TPF) MUI Pusat Kasus Cikeusik ini menjelaskan panjang lebar tentang keberadaan Ahmadiyah di Pandeglang. Sekitar 250 anggota Ahmadiyah Pandeglang akhirnya kembali ke pangkuan Islam setelah diadakannya sosialisasi SKB 3 Menteri pada Nopember 2008 lalu.
Namun tersisa delapan orang warga yang bersikukuh tetap tidak mau tobat. Mereka adalah para mubaligh Ahmadiyah, salah satunya adalah Suparman warga Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang.
Dalam sosialisasi SKB 3 Menteri itu, terjadilah dialog antara Suparman dengan guru ngajinya yakni Ketua MUI Cikeusik KH Amir. Amir pun menanyakan mengapa Suparman bisa masuk Ahmadiyah. Semua dalil yang diajukan Suparman tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad, terbantahkan dengan telak. Namun Suparman enggan keluar dari Ahmadiyah.
Akhirnya, karena sudah tidak ada argumen berdasarkan dalil Al-Qur’an maupun Hadits lagi, maka ia pun mengakui alasan yang sebenarnya sehingga ia tidak mau kembali ke jalan yang benar.
“Pak Kiai kalau saya tidak melaksanakan ini (ajaran Ahmadiyah, red), priyuk nasi saya tidak ngebul” ujar Aminudin menirukan ucapan Suparman kepada Amir.
Maka terungkaplah bahwa Suparman diberi berbagai fasilitas yang menggiurkan oleh JAI Pusat. Di antaranya, tiap bulan ia digaji Rp 10 juta perbulan, diberi uang Rp 150 juta untuk membeli rumah, diberi dana Rp 150 juta untuk kegiatan ‘dakwah’ di bulan Ramadhan.
Karena Suparman tidak mau meninggalkan mencari nafkah dengan cara yang haram itu, akhirnya masalah ini naik ke Bakorpakem tingkat Kabupaten Pandeglang. Terjadilah dialog dan disepekatilah bahwa Suparman tidak akan mengajarkan lagi ajaran sesatnya.
“Bahkan kesepakatan itu ditandatangani oleh Suparman sendiri,” ujar Aminudin di hadapan 600 peserta talkshow yang bertema Ahmadiyah Berulah,Umat Islam di Fitnah (Menelisik Konspirasi dan Targetnya) itu.
Aminudin pun mengungkapkan bahwa ternyata Suparman melanggar perjanjian itu. Karena faktanya ia malah terus mengembangkan ajaran Mirza Ghulam Ahmad, nabi palsu utusan kolonial Inggris.
“Ia tetap door to door mengajak orang untuk masuk Ahmadiyah dengan iming-iming akan diberi uang,” ujarnya. Berdasarkan pengakuan warga kepada Aminudin, uang yang akan diberikan itu variatif tergantung tugasnya nanti. “Yang jelas berkisar 1,5 juta-10 juta rupiahlah,” ujarnya kepada mediaumat.com. Sehingga akhirnya di Cikeusik saat ini ada 25 warga yang turut menjadi anggota JAI .http://www.berita-terbaru.com 
download   fatwa mui tentang ahmadiyah.   AhmadiyahQadiyan  aliran ahmadiyah . 
atau download mp3 cari di sini ( oleh buya yahya)
"Maka terungkaplah bahwa Suparman diberi berbagai fasilitas yang menggiurkan oleh JAI Pusat. Di antaranya, tiap bulan ia digaji Rp 10 juta perbulan, diberi uang Rp 150 juta untuk membeli rumah, diberi dana Rp 150 juta untuk kegiatan ‘dakwah’ di bulan Ramadhan."
hati-hati dengan situs nekat di bawah ini:


beberapa hari ini saya sengaja berselancar di dunia maya untuk mencari keberadaan situs/ kabar dari lia edan(lia eden)ternyata situsnya masih aktif,meskipun ada beberapa situs yang sudah di tutup oleh pemerintah.
maka sudah saat pemerintah kembali untuk segera menutup situs pemecah belah umat ini.
di bawah ini gambar situs lia edan(lia eden) yang masih aktif.

semoga saudara dan anak cucu kita terhindar dari golongan ahmadiyah.....dan aliran yang keluar dari ahlussunnah wal jama'ah......!!!!!!

4 madzhab tentang tasawuf

IMAM’ MADZAB EMPAT MEMUJI ORANG SHUFI / TASAWUF

1. Pendapat Imam Syafi’I Rahimahullah :

فقيهاً وصوفياً فكن ليس واحدا فإنــي وحـق الله إيـاك أنصح
فذلك قاس لم يذق قلبه تقــى وهذا جهول كيف ذو الجهل يصلح

“ Jadilah kamu seorang ahli fiqih yang bertasawwuf jangan jadi salah satunya, sungguh dengan haq Allah aku menasehatimu.

Jika kamu menjadi ahli fiqih saja, maka hatimu akan keras tak akan merasakan nikmatnya taqwa. Dan jka kamu menjadi yang kedua saja, maka sungguh dia orang teramat bodoh, maka orang bodoh tak akan menjadi baik “.

(Diwan imam Syafi’i halaman : 19)

2. Pendapat Imam Malik Rahimahullah :

يقول الإِمام مالك رحمه الله تعالى: (مَنْ تفقَّهَ ولم يتصوف فقد تفسق، ومَنْ تصوَّف ولم يتفقه فقد تزندق، ومن جمعَ بينهما فقد تحقَّق(

حاشية العلامة علي العدوي على شرح الإِمام الزرقاني على متن العزية في الفقه المالكي ج3. ص195. وشرح عين العلم وزين الحلم للإِمام ملا علي القاري المتوفى 1014هـ. ج1. ص33.

3. Pendapat Imam Abu Hanifah Rahimahullah :

وقد مر بك في بحث بين الشريعة والحقيقة الكلام المفصل عن الإِمام الأكبر أبي حنيفة النعمان رحمه الله تعالى، وكيف أنه كان يعطي الشريعة والطريقة، وأنه كان فارس هذا الميدان، كما ذكر العلامة ابن عابدين في حاشيته المشهورة
)أبو حنيفة أحد الأئمة الأربعة، أشهر من أن يعرف، توفي في بغداد سنة 150هـ. انظر (395 - 396) من هذا الكتاب(

4. Pendapat Imam Ahmad Rahimahullah :

كان الإِمام أحمد رحمه الله تعالى [الإِمام أحمد رحمه الله تعالى أحد الأئمة الأربعة المشهورين توفي سنة 241هـ] قبل مصاحبته للصوفية يقول لولده عبد الله رحمه الله تعالى: (يا ولدي عليك بالحديث، وإِياك ومجالسة هؤلاء الذين سموا أنفسهم صوفية، فإِنهم ربما كان أحدهم جاهلاً بأحكام دينه. فلمَّا صحب أبا حمزة البغدادي الصوفي، وعرف أحوال القوم، أصبح يقول لولده: يا ولدي عليك بمجالسة هؤلاء القوم، فِإِنهم زادوا علينا بكثرة العلم والمراقبة والخشية والزهد وعلو الهمة) [“تنوير القلوب” ص405 للعلامة الشيخ أمين الكردي المتوفى سنة 1332هـ[.

ونقل العلامة محمد السفاريني الحنبلي رحمه الله تعالى عن إِبراهيم بن عبد الله القلانسي رحمه الله تعالى أن الإِمام أحمد رحمه الله تعالى قال عن الصوفية: (لا أعلم أقواماً أفضل منهم. قيل: إِنهم يستمعون ويتواجدون، قال: دعوهم يفرحوا مع الله ساعة..) [“غذاء الألباب شرح منظومة الآداب” ج1. ص120[

Kekeliruan Wahabi Dan Kekolotan Pemahaman Lafadh كل بدعة ضلالة

Berikut ini tulisan lengkap pembahasan tentang kesalahpahaman dan kekolotan sekte wahabi memahami hadits كل بدعة ضلالة . Sehingga mudah menjadi Ahli Bid’ah karena sering menuduh bid’ah.
image
PEMAHAMAN LAFADZ KULLU كل  VERSI WAHABI YANG KOLOT
Bagi para penuntut ilmu yang sudah pernah mempelajari ilmu mathiq di pesantren Salafiyyah (pesantren klasik NU), Bahwa menurut istilah ilmu manthiq arti kata KULLU sudah
sangat dimaklumi pengertiannya, yaitu:
1- Ada kata “kullu” yang berarti “setiap/tiap-tiap/semua″ ini disebut “kullu kulliyah”
2- Ada kata “kullu” yang berarti “sebagian” yang disebut “kullu kully”
PERTAMA
Syikil awal
ﻛﻞ ﻣﺤﺪﺛﺔ ﺑﺪﻋﺔ ﻭﻛﻞ ﺑﺪﻋﺔ ﺿﻼﻟﺔ
Kullu beridhofah kepada Nakiroh, Dan khobarnya dengan nakiroh dan khobarnya juga mufrad, Bukan  jumlah.
Syikil awal had wasathnya yaitu mahmul kepada shugro dan maudhu kepada kubro, Maka natijahnya kulliyah mujabah.
Natijah syikil awal adalah
ﻛﻞ ﻣﺤﺪﺛﺔ ﺿﻼﻟﺔ
Idhofatnya tetap dengan nakiroh, Khobarnya juga mufrad dan nakiroh.
Adapun  lafadh,
كل ضلالة في النار
Ini ada perbedaan dengan kullu sebelumnya, Karena khobarnya dengan memakai huruf jar yang menyebabkan ada jumlah di sana atau ghoiru mufrad, Tidak bisa disamakan dengan kullu sebelumnya.
Makanya ulama yang Alim seperti Al Imam An – Nawawi akan bilang bahwa itu عام مخصوص. Kecuali ulama kolot wahabi yang kelahiran badui nejd pasti salah kaprah.
Mungkin mereka akan bantah dengan KULLU dalam Al Qur’an secara sepotong -potong?!
Kita akan beberkan:
ﻛﻞ ﻧﻔﺲ ﺫﺍﺋﻘﺔ ﺍﻟﻤﻮﺕ
Walaupun kullu beridhofah kepada nakiroh seperti yang di atas, Tapi lihat khobarnya. Khobarnya itu adalah sesuatu yangg beridhofah kepada alif lam yaitu makrifah. Sedangkan kullu diatas khobarnya nakiroh, Tidak bisa di samakan juga kalo dengan pendapat Imam An Nawawi yang pertama. Apalagi disini kullu nya cuma sekali/ tidak bermurakkab, Jadi langsung itu natijahnya. Tidak perlu ada qiyas lagi. Jadi ini sama sekali tidak bisa di samakan dengan yang pertama.
Dalam kitabnya Al Ibda’ Fi Kamalis Syar’i Wa Khothor al Ibtida’  Ulama Wahabi Syekh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin berkata secara jujur tentang KULLU dalam Al Quran yang pasti butuh pengecualian:
ﺍَﻥَّ ﻣِﺜْﻞَ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟﺘَّﻌْﺒِﻴْﺮِ ( ﻛُﻞُّ ﺷَﻴْﺊٍ ) ﻋَﺎﻡٌّ ﻗَﺪْ ﻳُﺮَﺍﺩُ ﺑِﻪِ ﺍﻟْﺨَﺎﺹُّ , ﻣِﺜْﻞُ ﻗَﻮْﻟِﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻋَﻦْ ﻣَﻠَﻜَﺔِ ﺳَﺒَﺄٍ : ( ﻭَﺃُﻭْﺗِﻴَﺖْ ﻣِﻦْ ﻛُﻞِّ ﺷَﻴْﺊٍ ) ﻭَﻗَﺪْ ﺧَﺮَﺝَ ﺷَﻴْﺊٌ ﻛَﺜِﻴْﺮٌ ﻟَﻢْ ﻳَﺪْﺧُﻞْ ﻓِﻲ ﻣُﻠْﻜِﻬَﺎ ﻣِﻨْﻪُ ﺷَﻴْﺊٌ ﻣِﺜْﻞُ ﻣُﻠْﻚِ ﺳُﻠَﻴْﻤَﺎﻥَ .
Sesungguhnya redaksi seperti ini “  (segala sesuatu) adalah kalimat general yang terkadang dimaksudkan pada makna terbatas, seperti firman Alloh tentang ratu Saba’; “Ia dikaruniai segala sesuatu” (QS, An Naml: 23). Sedangkan banyak sekali sesuatu yang tidak masuk dalam kekuasaannya, seperti kerajaan Nabi Sulaiman. (Syeh al ‘Utsaimin, ,hal 336)
Kita lihat Sang Syekh mengacu pada kenyataan, bahwa tidak semua berada dalam kekuasaan ratu Saba’, karena kenyataannya banyak yang tidak masuk dalam kekuasaannya termasuk kerajaan Nabi Sulaiman. Pertanyaannya, mengapa beliau dan pengikut kolotnya tidak melakukan hal yang sama (melihat kenyataan) pada hadits “”. Terlebih jika memperhatikan hadits-hadis yang lain…???
Contoh Hadits:
ﻛﻞ ﻣﺴﻜﺮ ﺧﻤﺮ ﻭﻛﻞ ﻣﺴﻜﺮ ﺣﺮﺍﻡ
Orang cerdas pasti tahu bahwa tidak semua yang memabukkan bisa disebut Khomr. Seperti minum bensin, Oli, Gas, Makan kecubung dll.
Contoh Hadits lain:
كلطم راع وكلكم مسؤل عن راعيته
Tentunya anak kecil, orang gila dll tidak termasuk. karena kaidah masyhur mengatakan كل قاعدة مستسنيات Setiap kaidah pasti ada pengecualian begitu juga hadits كل بدعة.
Adapun sebagai contoh “kullu kully”, adalah firman Allah: “wa ja’alnaa minal maa’i kulla syai’in hayyin” yang artinya “Dan telah kami jadikan dari air SEBAGIAN makhluk hidup”. Dalam ayat ini kalau kata “kulla syai’in” diartikan “setiap/semua” maka akan kontra (bertentangan) dengan kenyataan bahwa ada makhluk hidup yang
dijadikan Allah tidak dari air. Ada makhluk yang dijadikan dari cahaya seperti malaikat, dan ada yang dijadikan dari api; contohnya jin juga syetan dijadikan dari api.
Sebagaimana firman Allah: “wa kholaqol jaanna min maarijin min naar” yang artinya “Dan Allah telah menjadikan jin itu dari api” Dari uraian di atas maka sudah jelaslah bahwa arti “kullu” itu ada dua yaitu “setiap/semua″ dan “sebagian”. Dalam mengartikan “KULLU” tidak bisa serampangan begitu saja, tetapi harus melihat kontek kalimatnya agar nantinya tidak menjadi kontra dengan realitas, fakta atau kenyataan yang ada.
Oleh karena itu menjadi sangat mengherankan apa yang selama ini
diperlihatkan oleh kaum wahabi yang bangga dengan kesalahan dan kekolotan dalam mengartikan “kullu” tanpa melihat kontek kalimat, sehingga mereka memaksakan arti “setiap/ semua” untuk kata KULLU dalam hadits BID’AH tersebut. Sehingga mereka ngotot menggunakan dalil “kullu bid’atin dlolalah” sebagai alat untuk membid’ahkan (baca: mengharamkan) apa saja yang tidak ada contohnya dari Nabi. Ini karena mereka menganggap semua/setiap bid’ah itu sesat tanpa kecuali.
Tentunya ini kontra dengan kenyataan dan realitas bahwa ternyata ada bid’ah (hal baru) yang baik (hasanah). Sampai-sampai sayyidina Umar RA memuji bid’ah “NI’MATUL BID’ATU HADZIHI; alangkah bagus bid’ah ini”.
Sesuai pendapat Imam An Nawawi, Amirul Mukminin Fil Hadits Al Imam Al Hafidz Ibnu Hajar al ‘Asqolani dalam Fathul Bari berkata :
ﻭَﺍﻟْﻤُﺮَﺍﺩُ ﺑِﻘَﻮْﻟِﻪِ ﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻠَﺎﻟَﺔٌ ﻣَﺎ ﺃُﺣْﺪِﺙَ ﻭَﻟَﺎ ﺩَﻟِﻴْﻞَ ﻟَﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺸَّﺮْﻉِ ﺑِﻄَﺮِﻳْﻖٍ ﺧَﺎﺹٍّ ﻭَﻟَﺎ ﻋَﺎﻡٍّ
Dan yang dikehendaki dengan Hadits Kullu Bid’atin Dholalah adalah Perkara yang diadakan dan baginya tidak terdapat dalil (yang bersumber) dari syara’, baik dengan jalan Khusus maupun dalil umum. ( Fathul Bari Syarah Shohih Al Bukhori , vol. 13, hlm. 254)
Al ‘Allamah Muhammad Abdur Rouf al Manawi dalam Faidhul Qodir :
ﻭَﻗَﻮْﻟُﻪُ – ﻭَﻛُﻞُّ… ﺇِﻟَﻰ ﺁﺧِﺮِﻩِ – ﻋَﺎﻡٌ ﻣَﺨْﺼُﻮْﺹٌ
Dan adapun Sabda Rosul “Wa Kullu”‘ dst.. adalah ‘Am Makhsush ( Faidhul Qodir syarah Al Jami’us Shoghir , vol. 2, hlm. 217,
Sebenarnya Syekh Wahabi Al Utsaimin secara tidak langsung mengakui hal ini, berikut pernyataan beliau selanjutnya :
ﺍَﻟْﺎَﺻْﻞُ ﻓِﻲ ﺍُﻣُﻮْﺭِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺍَﻟْﺤِﻞُّ ﻓَﻤَﺎ ﺍُﺑْﺘُﺪِﻉَ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﺣَﻠَﺎﻝٌ ﺍِﻟَّﺎ ﺍَﻥْ ﻳَﺪُﻝَّ الدَّﻟِﻴْﻞُ ﻋَﻠَﻰ ﺗَﺤْﺮِﻳْﻤِﻪِ , ﻟَﻜِﻦْ ﺍُﻣُﻮْﺭِ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ ﺍَﻟْﺎَﺻْﻞُ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﺍﻟْﺤَﻈَﺮُ ,ﻓَﻤَﺎ ﺍُﺑْﺘُﺪِﻉَ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﺣَﺮَﺍﻡٌﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﺍِﻟَّﺎ ﺑِﺪَﻟِﻴْﻞٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﻭَﺍﻟﺴُّﻨَّﺔِ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺸْﺮُﻭْﻋِﻴَّﺘِﻪِ
Hukum asal dalam perkara perkara dunia adalah halal, maka inofasi (bid’ah) dalam urusan dunia adalah halal, kecuali ada dalil yang menunjukkan ke-haram- annya. Tetapi hukum asal dalam urusan agama adalah terlarang, maka apa yang diadakan (bid’ah) dalam urusan-urusan agama adalah haram dan bid’ah, kecuali ada dalil dari al Kitab dan Sunnah yang menunjukkan kemasyru’annya. (Syeh al ‘Utsaimin Syarah al Aqidah al Wasithiyyah hal 639-640)
ﻭَﻣِﻦَ ﺍﻟْﻘَﻮَﺍﻋِﺪِ ﺍﻟْﻤُﻘَﺮَّﺭَﺓِ ﺍَﻥَّ ﺍﻟْﻮَﺳَﺎﺋِﻞَ ﻟَﻬَﺎ ﺍَﺣْﻜَﺎﻡُ ﺍﻟْﻤَﻘَﺎﺻِﺪِ , ﻓَﻮَﺳَﺎﺋِﻞُ ﺍﻟْﻤَﺸْﺮُﻭْﻉِ ﻣَﺸْﺮُﻭْﻋَﺔٌ, ﻭَﻭَﺳَﺎﺋِﻞُ ﻏَﻴْﺮِ
ﺍﻟْﻤَﺸْﺮُﻭْﻉِ ﻏَﻴْﺮُ ﻣَﺸْﺮُﻭْﻋَﺔٍ , ﺑَﻞْ ﻭَﺳَﺎﺋِﻞُ اﻟْﻤُﺤَﺮَّﻡِ ﺣَﺮَﺍﻡٌ , ﻓَﺎﻟْﻤَﺪَﺍﺭِﺱُ ﻭَﺗَﺼْﻨِﻴْﻒُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻭَﺗَﺄْﻟِﻴْﻒُ ﺍﻟْﻜُﺘُﺐِ ﻭَﺍِﻥْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﺑِﺪْﻋَﺔً ﻟَﻢْ ﻳُﻮْﺟَﺪْ ﻓِﻲ ﻋَﻬْﺪِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻋَﻠَﻰ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﻮَﺟْﻪِ ﺍِﻟَّﺎ ﺍَﻧَّﻪُ ﻟَﻴْﺲَ ﻣَﻘْﺼَﺪًﺍ ﺑَﻞْ ﻫُﻮَ ﻭَﺳِﻴْﻠَﺔٌ, ﻭَﺍﻟْﻮَﺳَﺎﺋِﻞُ ﻟَﻬَﺎ ﺍَﺣْﻜَﺎﻡُ ﺍﻟْﻤَﻘَﺎﺻِﺪِ, ﻭَﻟِﻬَﺬَﺍ ﻟَﻮْ ﺑَﻨَﻰ ﺷَﺤْﺺٌ ﻣَﺪْﺭَﺳَﺔً ﻟِﺘَﻌْﻠِﻴْﻢِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻣُﺤَﺮَّﻡٍ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟْﺒِﻨَﺎﺀُ ﺣَﺮَﺍﻣًﺎ, ﻭَﻟَﻮْ ﺑَﻨَﻰ ﻣَﺪْﺭَﺳَﺔً ﻟِﺘَﻌْﻠِﻴْﻢِ ﻋِﻠْﻢٍ ﺷَﺮْﻋِﻲٍّ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟْﺒِﻨَﺎﺀُ ﻣَﺸْﺮُﻭْﻋًﺎ
“Dan diantara kaedah yang ditetapkan adalah bahwa “Perantara (wasilah) itu memiliki hukum-hukum maqoshid (tujuan) nya. Jadi perantara untuk tujuan yang disyari’atkan adalah disyari’atkan (pula), dan perantara untuk tujuan yang tidak disyari’atkan (perantara tsb) juga tidak disyari’atkan, bahkan perantara tujuan yang diharamkan adalah haram (hukumnya) Adapun pembangunan madrasah- madrasah, menyusun ilmu, mengarang kitab, meskipun itu semua Bid’ah dan tidak ditemukan/tidak didapati pada masa Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam dalam bentuk seperti  ini, namun ia bukan tujuan melainkan hanya perantara, sedang hukum perantara (wasilah) mengikuti hukum tujuannya. Oleh karena itu bila seseorang membangun madrasah untuk mengajarkan ilmu yang diharamkan maka membangunnya dihukumi haram, dan bila membangun madrasah untuk mengajarkan ilmu syari’at, maka pembangunannya disyari’atkan.” (Syekh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin,hal; 18-19)
Contoh pembahasan Mantik
ﻛﻞ ﻣﺴﻜﺮ ﺧﻤﺮ ﻭﻛﻞ ﻣﺴﻜﺮ ﺣﺮﺍﻡ
Syikil awal Syikil tsani adhrubnya Yaitu kulliyatani mujabatani. Pada shugro dan kubronya:
ﻛﻞ ﻣﺴﻜﺮ ﺧﻤﺮ ﻭﻛﻞ ﻣﺴﻜﺮ ﺣﺮﺍﻡ
Natijahnya adalah juz-iyah mujabah yaitu
ﺑﻌﺾ الخمر ﺣﺮﺍﻡ
Rumus:
ﺍﻟﺸﻜﻞ ﺍﻷﻭﻝ
ﺗﻘﺪﻡ ﺃﻥ ﺑﺎﻟﻘﻴﺎﺱ ﻣﺘﻘﺪﻣﺘﻴﻦ, ﺻﻐﺮﻯ, ﻭ ﻛﺒﺮﻯ : ﻭﺍﻟﻤﻘﺪﻣﺔ
ﺍﻟﺼﻐﺮﻯ ﺇﻣﺎ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﻣﻮﺟﺒﺔ ﻛﻠﻴﺔ ﺃﻭ ﻣﻮﺟﺒﺔ ﺟﺰﺋﻴﺔ ﺃﻭ ﺳﺎﻟﺒﺔ ﻛﻠﻴﺔ ﺃﻭ ﺳﺎﻟﺒﺔ ﺟﺰﺋﻴﺔ.
ﻓﺄﺣﻮﺍﻟﻬﺎ ﺇﺫﻥ ﺃﺭﺑﻌﺔ, ﻭﺃﺣﻮﺍﻝ ﺍﻟﻜﺒﺮﻯ ﻛﺬﻟﻚ: ﻓﺈﺫﺍ ﺿﺮﺑﻨﺎ
ﺃﺣﻮﺍﻝ ﺍﻟﺼﻐﺮﻯ ﻓﻰ ﺃﺣﻮﺍﻝ ﺍﻟﻜﺒﺮﻯ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﺼﻮﺭ ﺍﻟﻌﻘﻠﻴﺔ
ﺍﻟﺘﻰ ﻳﺼﺢ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻣﻘﺪﻣﺘﺎ ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ ﺳﺖ ﻋﺸﺮﺓ
ﺻﻮﺭﺓ ﻭﻛﻞ ﺻﻮﺭﺓ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺼﻮﺭ ﺗﺴﻤﻰ ﺿﺮﺑﺎ . ﻭ ﺫﻟﻚ
ﻷﻥ ﺍﻟﺼﻐﺮﻯ :
1 ) ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﻣﻮﺟﺒﺔ ﻛﻠﻴﺔ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻜﺒﺮﻯ ﻳﺼﺢ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ:
ﻣﻮﺟﺒﺔ ﻛﻠﻴﺔ, ﻣﻮﺟﺒﺔ ﺟﺰﺋﻴﺔ, ﺳﺎﻟﺒﺔ ﻛﻠﻴﺔ , ﺳﺎﻟﺒﺔ ﺟﺰﺋﻴﺔ.
2) ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﻣﻮﺟﺒﺔ ﺟﺰﺋﻴﺔ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻜﺒﺮﻯ ﻳﺼﺢ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ:
ﻣﻮﺟﺒﺔ ﻛﻠﻴﺔ, ﻣﻮﺟﺒﺔ ﺟﺰﺋﻴﺔ, ﺳﺎﻟﺒﺔ ﻛﻠﻴﺔ , ﺳﺎﻟﺒﺔ ﺟﺰﺋﻴﺔ.
3) ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﺳﺎﻟﺒﺔ ﻛﻠﻴﺔ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻜﺒﺮﻯ ﻳﺼﺢ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ:
ﻣﻮﺟﺒﺔ ﻛﻠﻴﺔ, ﻣﻮﺟﺒﺔ ﺟﺰﺋﻴﺔ, ﺳﺎﻟﺒﺔ ﻛﻠﻴﺔ , ﺳﺎﻟﺒﺔ ﺟﺰﺋﻴﺔ.
4) ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﺳﺎﻟﺒﺔ ﺟﺰﺋﻴﺔ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻜﺒﺮﻯ ﻳﺼﺢ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ:
ﻣﻮﺟﺒﺔ ﻛﻠﻴﺔ , ﻣﻮﺟﺒﺔ ﺟﺰﺋﻴﺔ , ﺳﺎﻟﺒﺔ ﻛﻠﻴﺔ , ﺳﺎﻟﺒﺔ ﺟﺰﺋﻴﺔ.
Bahwa qiyas memiliki dua muqodimah, shugra dan kubra: muqodimah shugra adakalanya menjadi mujabah kuliah, mujabah juz-iyah, salibah kulliah atau salibah juz-iyah. Dengan demikian bentuknya menjadi empat, begitupun pada bentuk kubra :
Apabila kita kalikan bentuk muqodam shugra kedalam muqodimah kubra maka muncullah 16 bentuk aqliyah yang sah menjadi dua muqodimah qiyas, dan setiap bentuk dari bentuk-bentuk ini dinamakan dharb.
1. Mujibah kulliah dengan:
Mujibah kulliah, mujibah juz-iyah, salibah kulliah, salibah juz-iyah.
2. Mujibah juz-iyah dengan:
Mujibah kulliah, mujibah juz-iyah, salibah kulliah, salibah juz-iyah.
3. Salibah kulliah dengan :
Mujibah kulliah, mujibah juz-iyah, salibah kulliah, salibah juz-iyah.
4. salibah juz-iyah dengan :
Mujibah kulliah, mujibah juz-iyah, salibah kulliah, salibah juz-iyah.
Dan begitu seterusnya.
LAFADZ KULLU DALAM AL QUR’AN PUN MENERIMA TAHSISH, PEMAHAMAN WAHABI DALAM MEMAHAMI LAFADZ KULLU MENYERUPAI MU’TAZILAH
Dalam tulisan kami sebelumnya sudah kami paparkan kekolotan wahabi memahami lafadz kullu ( كل ) dalam hadits كل بدعة ضلالة. Rupanya wahabi tidak bisa memahami ilmu mantiq. Namun kali ini kami akan membahas lafadz كل dengan gaya lain supaya badui dari nejd dapat memahami.
Dalam Al Qur’an disebutkan Ayat:
كل من عليها فان (الرحمن : ٢٦)
Menurut pembahasan tauhid Aswaja seperti yang di jabarkan Imam Al Bajuri bahwa Ayat ini memunculkan pengecualian yaitu: 4 Malaikat pemimpin, Bidadari dan Nabi Musa As saat Malaikat Isrofil As meniup terompet pertama.
Takhsish dari hadits riwayat muslim:
كل ابن ادم يأكله التراب إلا عجب الذنب.
Jadi menurut hadits ini Tulang ekor belakang manusia merupakan pengecualian yang tidak akan hancur.
Berikutnya firman Allah:
كل شيء هالك إلا وجهه (القصص : ٨٨)
Ayat ini juga عام مخصوص Selain di Takhsish dengan lafadz إلا Berkata Imam Jalaluddin Asy Suyuthi dalam nadhom bait:
ثمانية حكم البقاء يعمها  # من الخلق والباقون في حيز العدم
هي العرش و الكرسي نار و جنة # و عجب و أرواح كذا اللوح والقلم
Maksudnya pengecualian dari Lafadh كل dalam Ayat di atas ada 8 Yaitu: Arsyi, Kursi, Neraka, Surga, Tulang ekor , Para arwah dan ruh, Lauh mahfudz dan Qolam. 8 makhluk Allah ini tidak akan musnah dan hancur.
Logikanya jika dalam Al Qur’an Kalam Allah saja menerima pengecualian tentu sudah sepantasnya hadits kalam Nabi juga menerima. seperti qoidah menyebutkan:
كل قاعدة مستثنيات
و كل عا م مخصوص
Setiap Qoidah ada pengecualian dan Setiap yang umum ada kekhususan.
Tentu Bid’ah Hasanah sangat layak menjadi kekhususan dari hadits كل بدعة ضلالة. Terakhir kami akan suguhkan dialog Imam Ahmad Bin Hanbal dengan pengikut Muktazilah yang berpikiran dangkal seperti kaum wahabi dalam memahami lafadz Kullu (كل):
ﺃﻥ ﻛﻠﻤﺔ ” ﻛﻞ” ﺗﻄﻠﻖ ﻓﻲ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻋَﻠَﻰ ﻣﻌﺎﻥٍ ﻛﺜﻴﺮﺓ ﻭﻣﻨﻬﺎ : ﺍﻟﻌﻤﻮﻡ، ﻭﻟﺬﻟﻚ ﻳﺴﻤﻮﻧﻬﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻨﻄﻖ: ﺃﻟﻔﺎﻅ ﺍﻟﻌﻤﻮﻡ، ﻭﻫﻲ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﺼﻮﺭ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﻭﺗﺤﻴﻂ ﺑﺠﻤﻴﻊ ﻣﺎ ﺗﺪﻝ ﻋﻠﻴﻪ، ﻓﺈﺫﺍ ﻗﻠﺖ : ﻛﻞ ﺍﻟﻄﻼﺏ. ﻣﻌﻨﻰ ﺫﻟﻚ ﺃﻧﻚ ﻻ ﺗﺴﺘﺜﻨﻲ ﻣﻨﻬﻢ ﺃﺣﺪﺍً، ﻭﻟﻜﻨﻬﺎ ﺃﻳﻀﺎً ﺗﺄﺗﻲ ﺃﺣﻴﺎﻧﺎً ﻟﻌﻤﻮﻡ ﻣﻘﻴﺪ، ﻭﻫﻮ ﻻ ﻳﻌﻨﻲ ﺍﻟﻌﻤﻮﻡ ﺍﻟﻤﻄﻠﻖ ﻣﻦ ﻛﻞ ﻭﺟﻪ،
ﻭﻟﻬﺬﺍ ﻟﻤﺎ ﺟَﺎﺀَ ﺍﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ، ﻳﻨﺎﻇﺮﻭﻥ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃَﺣْﻤَﺪ ﺭَﺣِﻤَﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻓﻲ ﻣﺠﻠﺲ ﺍﻟﺨﻠﻴﻔﺔ، ﻗﺎﻟﻮﺍ ﻟﻪ: ﻳﺎ ﺃَﺣْﻤَﺪ ! ﺃﻟﻴﺲ ﺍﻟﻘُﺮْﺁﻥ ﺷﻲﺀ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﺑﻠﻰ . ﻗﺎﻟﻮﺍ : ﺃﻟﻴﺲ ﺍﻟﻠﻪ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻳﻘﻮﻝ: ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺧَﺎﻟِﻖُ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ [ﺍﻟﺰﻣﺮ 62:]؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺑﻠﻰ، ﻗﺎﻟﻮﺍ : ﺇﺫﻥ ﺍﻟﻘُﺮْﺁﻥ ﻣﺨﻠﻮﻕ.
ﻓﺮﺩ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃَﺣْﻤَﺪ ﺑﺈﻟﺰﺍﻡ ﻳﻮﺿﺢ ﺃﻥ ﻛﻠﻤﺔ ﻛﻞ ﻫﻨﺎ ﻟﻴﺴﺖ ﺑﻤﻌﻨﻰ ﺍﻹﻃﻼﻕ .
ﻭﺫﻟﻚ ﺃﻧﻪ ﻟﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃَﺣْﻤَﺪ : ( ﺃﻭ ﻟﻴﺲ ﺍﻟﻠﻪ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻳﻘﻮﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﻳﺢ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﺭﺳﻠﻬﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻋﺎﺩ : ﺗُﺪَﻣِّﺮُ ﻛُﻞَّ ﺷَﻲْﺀٍ ﺑِﺄَﻣْﺮِ ﺭَﺑِّﻬَﺎ ) ﺍﻷﺣﻘﺎﻑ 25:]؟ ﻓﻬﻞ ﺩﻣﺮﺕ ﺍﻟﺴﻤﺎﻭﺍﺕ؟ ﻭﻫﻞ ﺩﻣﺮﺕ ﺍﻷﺭﺽ؟ ﻭﻫﻞ ﺩﻣﺮﺕ ﺍﻟﺮﻣﺎﻝ؟ ﺇﻧﻤﺎ ﺗﺪﻣﺮ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ ﺃﻣﺮﺕ ﺑﺘﺪﻣﻴﺮﻩ، ﻭﻫﻮ ﻫَﺆُﻻﺀِ ﺍﻟﻨﺎﺱ، ﻭﻣﺎ ﻳﺘﻌﻠﻖ ﺑﻬﻢ ﻣﻦ ﺃﻣﻮﺍﻟﻬﻢ ﻭﺃﻣﺘﻌﺘﻬﻢ، ﺃﻭ ﻣﺴﺎﻛﻨﻬﻢ ﺃﻭ ﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ.
ﻓﻜﻠﻤﺔ ” ﻛﻞ” ﺇﺫﺍً ﻟﻴﺲ ﻣﺪﻟﻮﻟﻬﺎ ﺍﻟﺸﻤﻮﻟﻴﺔ ﺍﻟﻜﺎﻣﻠﺔ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻭﻗﺖ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺗﺄﺗﻲ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻜﻠﻤﺔ ﺑﺤﺴﺐ ﺍﻟﺴﻴﺎﻕ ﺍﻟﺬﻱ ﺗﺪﻝ ﻋﻠﻴﻪ، ﻓﻌﻤﻮﻣﻬﺎ ﻗﺪ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻄﻠﻘﺎً، ﻭﻗﺪ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﺨﺼﻮﺻﺎً، ﺃﻭ ﺧﺎﺻﺎً ﺑﻤﺎ ﻳﻘﻴﺪﻩ، ﻭﺗﻌﻴﻨﻪ ﺍﻟﻘﺮﺍﺋﻦ ﺍﻟﺤﺎﻓﺔ ﺑﻪ.
ﺛُﻢَّ ﺍﻧﺘﻘﻞ ﺇِﻟَﻰ ﺗﺤﺮﻳﻒ ﺍﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ ﻟﻤﻌﻨﻰ : ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻗَﺪِﻳﺮٌ ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ [ 284: ] ، ﺑﺄﻧﻪ: ﻭﻫﻮ ﻋَﻠَﻰ ﻣﺎ ﻳﻘﺪﺭ ﻋﻠﻴﻪ ﻗﺪﻳﺮ، ﺃﻭ ﻋَﻠَﻰ ﻣﺎ ﻳﺸﺎﺀ ﻗﺪﻳﺮ، ﻭﻣﻘﺼﻮﺩﻫﻢ ﺑﺬﻟﻚ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺸﺎﺀ ﺃﻓﻌﺎﻝ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ ﺍﻟﻘﺒﻴﺤﺔ، ﻭﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳﺸﺎﺀ ﻣﻌﺎﺻﻲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ، ﻛﻤﺎ ﺳﺒﻖ ﻓﻲ ﺑﺤﺚ ﺍﻹﺭﺍﺩﺓ، ﻗﺎﻟﻮﺍ: ﻭﻫﻮ ﻋَﻠَﻰ ﻣﺎ ﻳﺸﺎﺀ ﻗﺪﻳﺮ، ﻭﻻ ﻳﻘﻮﻟﻮﻥ: ﻋَﻠَﻰ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ ﻗﺪﻳﺮ، ﺣﺘﻰ ﻻ ﻳﺪﺧﻠﻮﺍ ﺃﻓﻌﺎﻝ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ ﻫﺬﻩ، ﻭَﻗَﺎﻟُﻮﺍ : ﻭﻫﻮ ﻋَﻠَﻰ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ ﻣﻘﺪﻭﺭ ﻟﻪ ﻗﺪﻳﺮ ، ﻭﺃﻓﻌﺎﻝ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ ﻟﻴﺴﺖ ﻣﻘﺪﻭﺭﺓ ﻟﻪ. ﻓﺮﺩ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺍﻟﻤُﺼﻨِّﻒ ﺭَﺣِﻤَﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻫﻨﺎ ﺑﺄﻧﻚ ﺇﺫﺍ ﻗﻠﺖ: ﻓﻼﻥ ﺑﻤﺎ ﻳﻌﻠﻤﻪ ﻋﻠﻴﻢ، ﻭﻓﻼﻥ ﺑﻤﺎ ﻳﻘﺪﺭ ﻋﻠﻴﻪ ﻗﺪﻳﺮ، ﺃﻧﻬﺎ ﻻ ﺗﺜﺒﺖ ﻓﺎﺋﺪﺓ ﻓﻲ ﺣﻖ ﺍﻟﻤﺨﻠﻮﻕ، ﻓﻜﻴﻒ ﻓﻲ ﺣﻖ ﺍﻟﻠﻪ – ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻪُ ﻭَﺗَﻌَﺎﻟَﻰ -؟ !
ﻭﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ – ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻪُ ﻭَﺗَﻌَﺎﻟَﻰ – ﻗﺪﻳﺮ ﻋَﻠَﻰ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ ﺑﺈﻃﻼﻕ، ﺣﺘﻰ ﺃﻓﻌﺎﻝ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ ، ﻓﻬﻲ ﻣﻦ ﻣﺸﻴﺌﺘﻪ ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻪُ ﻭَﺗَﻌَﺎﻟَﻰ. ﺍﻟﺸﺎﻫﺪ ﺃﻥ ﻗﺪﺭﺓ ﺍﻟﻠﻪ – ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ – ﺗﺘﻀﻤﻦ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ ﻛﻠﻴﺔ ﻣﻄﻠﻘﺔ، ﻟﻜﻦ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻃﻤﺲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋَﻠَﻰ ﺑﺼﺎﺋﺮﻫﻢ، ﻭﺃﺿﻞ ﻋﻘﻮﻟﻬﻢ، ﻭﺧﺘﻢ ﻋَﻠَﻰ ﻗﻠﻮﺏ ﻫﻢ، ﺩﺧﻠﻮﺍ ﻓﻲ ﺃﺳﺌﻠﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﺍﻟﻤﺘﻨﺎﻗﺾ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺮﻳﺪﻭﻥ ﺑﻪ ﺍﻟﺘﺸﻜﻴﻚ، ﻭﺑﺬﺭ ﺍﻟﺸﺒﻬﺎﺕ ﻓﻲ ﻗﻠﻮﺏ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴﻦَ. ﻣﻦ ﻣﻌﺎﻧﻲ ﻛﻠﻤﺔ ” ﻛﻞ” ﻓﻲ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﻭﺍﻟﺮﺩ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ
Datang orang Muktazilah mendatangi  Imam Ahmad Bin Hanbal untuk menantangnya berdebat di depan Khalifah.
Al-Mu’tazili berkata: “Allah telah berfirman:
ﺧَﺎﻟِﻖُ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ
“Pencipta segala sesuatu.” (QS. al-An’am: 102 )
dan Al-Qur’an adalah “sesuatu”, berarti Al-Qur’an
adalah makhluk!”
Berkata Imam Ahmad: “Sesungguhnya ayat yang ada lafadz كل  ini bersifat umum akan tetapi yang dikehendaki adalah khusus bukan umum. Sebagaimana firman Allah Ta’ala tentang angin yang menyebabkan kaum ‘Ad binasa karenanya:
ﺗُﺪَﻣِّﺮُ ﻛُﻞَّ ﺷَﻲْﺀٍ ﺑِﺄَﻣْﺮِ ﺭَﺑِّﻬَﺎ
“Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya.” (QS. Al-Ahqof: 25 )
ﻭﺫﻟﻚ ﺃﻧﻪ ﻟﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃَﺣْﻤَﺪ : ( ﺃﻭ ﻟﻴﺲ ﺍﻟﻠﻪ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻳﻘﻮﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﻳﺢ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﺭﺳﻠﻬﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻋﺎﺩ : ﺗُﺪَﻣِّﺮُ ﻛُﻞَّ ﺷَﻲْﺀٍ ﺑِﺄَﻣْﺮِ ﺭَﺑِّﻬَﺎ ) ﺍﻷﺣﻘﺎﻑ 25:]؟
Imam Ahmad menjawab lafadz Kullu tidak bermakna mutlak. seperti lafadz كل dalam kisah azab terhadap kaum ‘Ad. Apakah angin tersebut telah membinasakan langit ? membinasakan bumi ? membumihanguskan pasir ?
segala sesuatunya secara merata ? ataukah angin tersebut tidak membinasakan kecuali yang Allah perintahkan saja?” tanya Imam Ahmad.
Namun Muktazilah masih tetap kolot tidak mau menerima pengecualian كل dari Imam Ahmad bin Hanbal dan tetap menuduh Al Qur’an adalah Makhluk. Hampir sama dengan Wahabi yang kolot  tidak mau menerima pengecualian BID’AH HASANAH dari hadits كل بدعة ضلالة. Andai mau sedikit berpikir cerdas.
Wallahu Alam
https://m.facebook.com/LaskarLirboyo