Sebuah Pengantar
Daftar isi bab 1 diantaranya:
|
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُم اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَاَهْدَى سَبِيْلاً
“Katakanlah
(hai Muhammad) : Biarlah setiap orang berbuat menurut keadaannya
masing-masing, karena Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih lurus
(jalan yang ditempuhnya).” (Al-Isra’ : 84)
فَلاَ تُزَكُّوا أنْفُسَكُم هُوَ أعْلَمُ بِمَن اثَّـقَى
“….janganlah kamu merasa sudah bersih, Dia (Allah) lebih mengetahui siapa yang bertaqwa.” (An-Najm : 32)
Segala
puji bagi Allah seru sekalian alam, shalawat dan salam terlimpah atas
penghulu manusia, yang terdahulu dan yang terakhir, yakni junjungan kita
Nabi Muhammad saw., juga atas segenap keluarganya yang suci sampai hari
kemudian.
Alhamdulillah dengan kesuksesan peredaran buku yang berjudul Tanggapan mengenai Bid’ah Tawassul dan Tabarruk dan cetakan pertama buku Telah Kritis atas doktrin Faham Wahabi/Salafi
ini, kami memperbaharui cetakan kedua dengan memperbanyak dalil-dalil
yang mutawatir, shohih, hasan dan sebagainya mengenai masalah-masalah
yang dikemukakan pada daftar isi buku ini. Tidak lain tujuan penulis
buku ini adalah untuk membuka pikiran kita kaum muslimin agar tidak
saling cela mencela antara satu golongan madzhab dengan golongan madzhab
lainnya.
Pada akhir-akhir ini sebagian golongan umat Islam yang mengklaim dirinya telah menjalankan syari’at (agama) paling benar, paling murni, pengikut para Salaf Sholeh
dan menuduh serta melontarkan kritik tajam sebagai perbuatan sesat dan
syirik kepada sesama muslim, bahkan sampai berani mengkafirkannya, hanya
karena perbedaan pendapat dengan melakukan ritual-ritual Islam seperti
ziarah kubur, berkumpul membaca tahlilan/yasinan untuk kaum muslimin
yang telah meninggal, berdo’a sambil tawassul kepada Nabi saw. dan para
waliyyullah/sholihin, mengadakan peringatan keagamaan diantaranya
maulidin/kelahiran Nabi saw., pembacaan Istighotsah, dan sebagainya.
Bahkan ada yang sampai berani mengatakan bahwa pada majlis-majlis
peringatan keagamaan tersebut adalah perbuatan mungkar karena didalamnya
terdapat, minuman khamar (alkohol), mengisap ganja dan
perbuatan-perbuatan munkar lainnya. Golongan yang sering mengata- kan
dirinya paling benar itu tidak segan-segan menuduh orang dengan fasiq, sesat, kafir, bid’ah dholalah, tahrif Al-Qur’an
(merubah al-Qur’an) dan tuduhan-tuduhan keji lainnya. La haula walaa
quwwata illah billahi. Ini fitnahan yang amat keji dan membuat
perpecahan antara sesama muslim.
Alasan yang sering mereka katakan bahwa semuanya ini tidak pernah
dilakukan oleh Rasulallah saw., atau para sahabat, dengan mengambil
dalil hadits-hadits dan ayat-ayat Al Qur’an yang menurut paham mereka
bersangkutan dengan amalan-amalan tersebut. Padahal ayat-ayat ilahi dan
hadits Rasulallah saw. yang mereka sebutkan tersebut ditujukan untuk
orang-orang kafir dan orang-orang yang membantah, merubah dan menyalahi
perintah Allah dan Rasul-Nya.
Golongan pengingkar ini sering mengatakan hadits-hadits mengenai suatu amalan yang bertentangan dengan pahamnya itu semuanya tidak ada, palsu, lemah, terputus dan lain sebagainya, walaupun hadits-hadits tersebut telah dishohihkan oleh ulama-ulama pakar hadits.
Begitu
juga bila ada ayat Ilahi dan hadits yang maknanya sudah jelas tidak
perlu ditafsirkan lagi serta makna ini disepakati oleh ulama-ulama
pakar dan sebagian ulama dari golongan pengingkar ini sendiri, mereka
dengan sekuat tenaga akan merubah makna ayat dan hadits ini bila
berlawanan dengan paham golongan ini sampai sesuai/sependapat dengan
pahamnya. Disamping itu golongan pengingkar ini akan
mentakwil (menggeser arti) omongan ulama mereka yang menyetujui arti
dari ayat ilahi dan hadits itu sampai sesuai dengan paham mereka. Oleh
karenanya banyak ulama pakar hadits dari berbagai madzhab mencela dan
mengeritik kesalahan golongan pengingkar yang sudah jelas itu. Para
pembaca bisa meneliti dan menilai sendiri nantinya apa yang tercantum
dalam buku dihadapan anda ini.
Kita
semua tahu bahwa firman Allah swt. (Alqur’an) yang diturunkan pada
Rasulallah saw. itu sudah lengkap tidak satupun yang ketinggalan dan
dirubah. Bila ada orang yang mengatakan bahwa kalimat-kalimat/tekts yang
tertulis didalam Alqur’an telah dirubah dan lain sebagainya, omongan
seperti ini harus diteliti dan diselidiki apakah omongan ini bisa
dipertanggung jawabkan kebenarannya. Begitu juga dalam ayat Ilahi dan
hadits-hadits Rasulallah mengenai masalah haram atau halal
telah diterangkan dengan jelas. Bila tidak ada keterangan yang jelas
untuk suatu masalah, para ulama akan menilai dan meneliti amalan itu,
apakah sejalan dan tidak bertentangan dengan syari’at yang telah
digariskan oleh Allah swt. dan Rasul-Nya.
Bila
amalan tersebut tidak bertentangan dengan syari’at, malah sebaliknya
banyak hikmah dan manfaat bagi ummat muslimin khususnya, maka para ulama
ini tidak akan mengharamkan amalan tersebut. Karena mengharam- kan atau
menghalalkan suatu amalan harus mengemukakan nash-nash yang khusus
untuk masalah itu. Apalagi amalan-amalan dzikir yang masih ada dalilnya baik secara langsung maupun tidak langsung
yang semuanya mengingatkan kita kepada Allah swt. dan Rasul-Nya serta
bernafaskan tauhid, umpamanya, kumpulan/majlis dzikir (tahlilan,
istighotsah, peringatan keagamaan ..), ziarah kubur, bertawasul dalam
do’a, bertabarruk dan lain sebagainya, tidak ada alasan
orang untuk mengharamkannya. Jadi dalil-dalil yang mereka sebutkan
untuk melarang amalan-amalan yang dikemukakan tadi, itu tidaklah tepat,
karena hal itu termasuk kategori dzikir kepada Allah swt. dan merupakan
perbuatan kebaikan. Dan semua perbuatan baik dengan cara apapun asal tidak melanggar dan menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya yang telah digariskan malah dianjurkan oleh agama.
Yang lebih mengherankan, para ulama golongan pengingkar amalan-amalan tadi, berani menvonis bahwa amalan-amalan itu bid’ah munkar, sesat, syirik
dan lain sebagainya. Kalau seorang ulama sudah berani memfitnah seperti
itu, apalagi orang-orang awam yang membaca tulisan tersebut justru
lebih berbahaya lagi, karena mereka hanya menerima dan mengikuti tanpa
tahu dan berpikir panjang mengenai kata-kata ulama tersebut.
Perbedaan
pendapat antara kaum muslimin itu selalu ada, tetapi bukan untuk
dipertentangkan dan dipertajam dengan saling mensesatkan dan
mengkafirkan satu dengan yang lainnya. Pokok perbedaan pendapat
soal-soal sunnah, nafilah yang dibolehkan ini hendaknya dimusyawarahkan
oleh para ulama kedua belah pihak. Karena masing-masing pihak sama-sama
berpedoman pada Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasulallah saw.
(hadits), namun berbeda dalam hal penafsiran dan penguraiannya (sudut
pandang mereka).
Janganlah
setelah menafsirkan dan menguraikan ayat-ayat Allah dan hadits Nabi
saw. mengecam dan menyalahkan atau berani mensesatkan/meng- kafirkan
kaum muslimin dan para ulama dalam suatu perbuatan karena tidak sepaham
dengan madzhabnya. Orang seperti ini sangatlah fanatik dan extreem yang
menganggap dirinya paling benar dan faham sekali akan dalil-dalil
syari’at, menganggap kaum muslimin dan para ulama yang tidak sependapat
dengan mereka, adalah sesat, bodoh dan lain sebagainya. Kami berlindung
pada Allah swt., dalam hal tersebut. Allah Maha Mengetahui hamba-Nya
yang benar jalan hidupnya. Ingat firman Allah swt. diatas (Al-Isra’[17] :
84 dan An Najm [53] : 32).
Kita
boleh mengeritik atau mensalahkan suatu golongan muslimin, bila
golongan ini sudah jelas benar-benar menyalahi dan keluar dari
garis-garis syari’at Islam. Umpama mereka meniadakan kewajiban sholat
setiap hari, menghalalkan minum alkohol, makan babi dan lain sebagainya,
yang mana hal ini sudah jelas dalam nash bahwa sholat itu wajib dan
minum alkohol dan makan babi itu haram. Jadi bukan mensesatkan,
mengkafirkan amalan-amalan sunnah yang baik, seperti berkumpulnya orang
untuk berdzikir bersama pada Allah swt. ( pembacaan istighothah,
yasinan, tahlilan, ziarah kubur dan lain sebagainya), apalagi
sampai-sampai menghalalkan darah mereka karena tidak sependapat dengan
golongan tersebut, ‘Audzubillahi.
Begitu
juga kita boleh mengeritik/mensalahkan suatu golongan muslimin yang
meriwayatkan hadits tentang tajsim/penjasmanian atau penyerupaan/
tasybih Allah swt. sebagai makhluk-Nya (Umpama; Allah mempunyai tangan,
kaki, wajah secara hakiki atau arti yang sesungguhnya), karena semua ini tidak
dibenarkan oleh ulama-ulama pakar Islam karena hadits tersebut
bertentangan dengan firman Allah swt. yang mengatakan tidak ada sesuatu-
pun yang menyerupai-Nya dan sebagainya, baca surat Asy-Syuura [42] :
11: surat Al-An’aam [6] : 103; dan surat Ash-Shaffaat [37] : 159 dan
lain-lain. Dengan demikian perbedaan pendapat antara golongan muslimin
yang sudah jelas dan tegas melanggar syari’at Islam, inilah yang harus
diselesai- kan dengan baik antara para ulama setiap golongan tersebut.
Jadi bukan dengan cara tuduh menuduh, cela-mencela antara setiap kaum
muslimin.
Kami
ambil satu contoh: “Pengalaman seorang pelajar di kota Makkah
berceritera bahwa ada seorang ulama tunanetra yang suka menyalahkan dan
juga mengenyampingkan ulama-ulama lain yang tidak sepaham dengan nya
mendatangi seorang ulama yang berpendapat tentang jaiznya/boleh- nya
melakukan takwil (penggeseran arti) terhadap ayat-ayat mutasyabihat/ samar seperti ayat: Yadullah fauqo aidiihim (tangan Allah diatas tangan mereka), Tajri bi a’yunina ( [kapal] itu berlayar dengan mata Kami) dan lain sebagainya. Ulama yang membolehkan ta’wil itu berpendapat bahwa kata tangan pada ayat itu berarti kekuasaan (jadi bukan berarti tangan Allah swt secara hakiki/sebenarnya) sedangkan kata mata pada ayat ini berarti pengawasan.
Ulama
tunanetra yang memang tidak setuju dengan kebolehan menakwil ayat-ayat
mutasyabihat diatas itu langsung membantah dan mengajukan argumentasi
dengan cara yang tidak sopan dan menuduh pelakuan takwil sama artinya dengan melakukan tahrif (perubahan)
terhadap ayat Al-Qur’an. Ulama yang membolehkan takwil itu setelah
didamprat habis-habisan dengan tenang memberi komentar: “Kalau saya tidak boleh takwil, maka anda akan buta di akhirat”.
Ulama tunanetra itu bertanya: “Mengapa anda mengatakan demikian?”.
Dijawab : Bukankah dalam surat al–Isra’ ayat 72 Allah swt berfirman: “Barangsiapa buta didunia, maka di akhirat pun dia akan buta dan lebih tersesat dari jalan yang benar”.
Kalau
saya tidak boleh takwil, maka buta pada ayat ini pasti diartikan dengan
buta mata dan tentunya nasib anda nanti akan sangat menyedihkan yakni
buta diakhirat karena didunia ini anda telah buta mata (tunanetra).
Karena- nya bersyukurlah dan hargai pendapat orang-orang yang
membolehkan takwil sehingga kalimat buta pada ayat diatas menurut
mereka diartikan dengan: buta hatinya jadi bukan arti sesungguhnya yaitu buta matanya. Ulama yang tunanetra itu akhirnya diam membisu, tidak memberikan tanggapan apa-apa”.
Banyak
sekali ayat-ayat Ilahi dan perintah Rasulallah saw. agar kita bersangka
baik dan tidak mengkafirkan antara sesama muslim, bila ada perbedaan
dengan mereka alangkah baiknya jika diselesaikan dengan ber- dialog !
Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 125 : ”Serulah (manusia) kepada
jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang
lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Sebagai
ummat yang terbaik, kita tentu tidak ingin tercerai berai hanya
lantaran berbeda pandangan dalam beberapa masalah yang tidak prinsipil.
Kalau kita teliti lebih dalam ajaran-ajaran Islam, maka kita akan
temukan persamaan diantara golongan masih jauh lebih banyak daripada
perbedaan dalam menafsirkan ajaran-ajaran Islam tersebut. Tapi kenyataan
yang terjadi justru perbedaan yang tidak banyak itulah yang sering
diperuncing dan ditampakkan sementara persamaan yang ada malah
disembunyikan.
Jika
perkumpulan (majlis) dzikir dan peringatan keagamaan dilarang, tidak
disenangi dan dianggap sebagai perbuatan bid’ah dholalah (sesat), bagai
mana dengan majlis yang tanpa di-iringi dengan dzikrullah dan shalawat
pada Nabi saw. seperti berkumpulnya kaum muslimin disuatu tempat hanya
sekedar ngobrol-ngobrol saja ?
Mari kita perhatikan hadits-hadits Nabi saw. berikut ini :
Rasulallah
saw. bersabda: “Lan yadkhula ahadan minkum ‘amaluhul jannata qooluu wa
laa anta yang Rasulallah, qoola wa laa anaa illaa an yataghom-
madaniyallahu bi fadhlin minhu wa rohmatin”
Artinya: “Tidak ada seorangpun diantara kamu yang akan masuk surga lantaran amal ibadahnya. Para sahabat bertanya: ‘Engkau juga tidak wahai Rasulallah?’ Nabi menjawab: ‘Saya juga tidak, kecuali kalau Allah melimpahkan kepadaku karunia dan rahmat kasih sayang-Nya’ ”. (HR. Muslim)
Juga sabda Nabi saw dalam hadits yang lain:
“Ayyuhan
Naas ufsyuu as salaama wa ath’imuu ath tho’aama wa shiluu al arhaama wa
sholluu bil laili wan naasu niyaamu tadkhuluu al jannata bi salaamin”
Artinya:“Wahai
sekalian manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambungkanlah
hubungan persaudaraan dan dirikanlah sholat ditengah malam niscaya
kalian akan masuk surga dengan penuh keselamatan”.
Memahami
hadits diatas ini maka kita akan seharusnya bertanya; ‘Apakah mungkin
karunia dan rahmat kasih sayang Allah swt. akan dilimpahkan kepada kita
sementara perbedaan yang kecil dalam masalah ibadah sunnah senantiasa
kita perbesar dengan saling mengejek, mengolok-olok, men- fitnah,
mensesatkan, saling melukai bahkan saling bunuh….?’
Kunci
untuk masuk surga tidaklah cukup dengan hanya melakukan shalat tengah
malam saja, tapi harus ada upaya untuk menyebarkan salam, memberi
bantuan dan menyambung tali persaudaraan. Tanpa adanya tiga upaya ini,
maka sebagian kunci surga kita telah terbuang. Bukankah perbedaan paham
disikapi dengan saling sesat menyesatkan satu sama lain, sudah tentu,
akan mengakibatkan munculnya permusuhan, membikin kesulit an dan
memutuskan tali persaudaraan. Menuduh, mengolok-ngolok kaum muslimin
dengan tuduhan dan memberi gelar yang sangat buruk seperti bid’ah
dholalah, laknat atau syirik ini sama dengan ‘kufur’.
Kalau
memang dakwah golongan yang suka mengolok-olok ini senantiasa
berdasarkan Al-Qur’an, mengapa mereka melanggar tuntunan Al-Qur’an dalam
surat Al-Hujurat ayat 11 yang artinya:
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah satu kelompok mengolok olok
kelompok yang lain karena bisa jadi mereka yang diolok-olok itu justru
lebih baik dari mereka yang mengolok-olok. Janganlah pula sekelompok
wanita mengolok-olok kelompok wanita yang lain karena bisa jadi kelompok
wanita yang diolok-olok justru lebih baik dari kelompok wanita yang
mengolok-olok. Janganlah kalian mencela sesamamu dan janganlah pula
kalian saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Sejelek-jelek
sebutan sesudah beriman adalah sebutan ‘fasiq’. Karenanya siapa yang tidak bertobat (dari semua itu), maka merekalah orang-orang yang dzalim”.
Begitu
juga kalau dakwah golongan tersebut senantiasa berdasarkan kepada
hadits Nabi saw yang shahih, lalu mengapa mereka melanggar beberapa
hadits shahih diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim:
“Almu’minu lil mu’mini kal bunyaana ya syuddu ba’dhohu ba’dhan”
Artinya: “Seorang mukmin itu terhadap mukmin yang lain adalah laksana bangunan, yang sebagiannya mengokohkan sebagian yang lain”
Hadits lainnya riwayat Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar:
اِذَا قَالَ الرَّجُلُ لأِخِهِ: يَا كَافِرُ! فَقَدْ بَاءَ بِهَا أحَدُهُمَا فَاِنْ كَانَ
كَمَا قَالَ وَاِلَى رَجَعَتْ عَلَيْـهِ.
“Barangsiapa
yang berkata pada saudaranya ‘hai kafir’ kata-kata itu akan kembali
pada salah satu diantara keduanya. Jika tidak (artinya yang dituduh
tidak demikian) maka kata itu kembali pada yang mengucapkan (yang menuduh)”.
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori :
“Man
syahida an Laa ilaha illallahu was taqbala giblatanaa wa shollaa
sholaatana wa akala dzabiihatanaa fa hua al muslimu lahu lil muslimi
‘alaihi maa ‘alal muslimi”
“Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, menganut kiblat kita (ka’bah),
shalat sebagaimana shalat kita, dan memakan daging sembelihan
sebagaimana sembelihan kita, maka dialah orang Islam. Ia mempunyai hak
sebagaimana orang-orang Islam lainnya. Dan ia mempunyai kewajiban
sebagaimana orang Islam lainnya”.
Hadits riwayat At-Thabrani dalam Al-Kabir ada sebuah hadits dari Abdullah bin Umar dengan isnad yang baik bahwa Rasulallah saw.pernah memerintahkan:
كُفُّوْا
عَنْ أهْلِ (لاَ إِِلَهَ إِلاَّ اللهُ) لاَ تُكَفِّرُوهُمْ بِذَنْبٍ وَفِى
رِوَايَةٍ وَلاَ تُخْرِجُوْهُمْ مِنَ الإِسْلاَمِ بِعَمَلٍ.
“Tahanlah
diri kalian (jangan menyerang) orang ahli ‘Laa ilaaha illallah’ (yakni
orang Muslim). Janganlah kalian mengkafirkan mereka karena suatu dosa”. Dalam riwayat lain dikatakan : “Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari Islam karena suatu amal ( perbuatan)”.
Hadits riwayat Bukhori, Muslim dari Abu Dzarr ra. telah mendengar Rasulallah saw. bersabda:
وَعَنْ أبِي ذَرٍّ (ر) اَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ .صَ.
يَقُوْلُ : مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أوْ قَالَ: عَـدُوُّ اللهِ
وَلَيْسَ كَذَلِكَ أِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ(رواه البخاري و مسلم)
“Siapa
yang memanggil seorang dengan kalimat ‘Hai Kafir’, atau ‘musuh Allah’,
padahal yang dikatakan itu tidak demikian, maka akan kembali pada
dirinya sendiri”.
Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Itban bin Malik ra berkata:
وَعَنْ
عِتْبَانَ ابْنِ مَالِكٍ (ر) فِي حَدِيْثِهِ الطَّوِيْلِ الْمَشْهُوْرِ
الَّذِي تَقَدََّّمِ فِي بَابِ الرََََََََّجََاءِ قَالَ :
قَامَ النَّبِيّ .صَ. يُصَلِّّي فَقَالَ: اَيْنَ مَالِكُُ بْنُ الدُّخْشُمِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ: ذَالِكَ مُنَافِقٌ, لاَ يُحِبُّ اللهَ وَلاَ رَسُولَهُ,
فَقَالَ النَّبِيُّ .صَ. : لاَتَقُلْ ذَالِكَ, أَلاَ تَرَاهُ قَدْ قَالَ: لاَ اِلَهَ اِلاَّ الله ُ
يُرِيْدُ بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ وَاِنَّ اللهَ قدْ حَرَّمَ عَلَي النَّاِر مَنْ قَالَ :
لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَالِكَ وَجْهَ الله (رواه البخاري و مسلم)
“Ketika Nabi saw. berdiri sholat dan bertanya: Dimanakah Malik bin Adduch-syum? Lalu dijawab oleh seorang: Itu munafiq,
tidak suka kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka Nabi saw. bersabda: Jangan
berkata demikian, tidakkah kau tahu bahwa ia telah mengucapkan
‘Lailahailallah’ dengan ikhlas karena Allah. Dan Allah telah
mengharamkan api neraka atas orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah
dengan ikhlas karena Allah”.
Dari Zaid bin Cholid Aljuhany ra berkata: Rasulallah saw. bersabda;
عَنْ زَيْدِ أبْنِ خَالِدٍ اَلْجُهَنِيَّّ(ر) قاَلَ: قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ .صَ . لاَ تَسُبُّوْا
الدِّيْكَ فَأِنَّهُ يُوْقِظُ لِلصَّلاَةِ (رواه أيو داود)
“Jangan kamu memaki ayam jantan karena ia membangunkan untuk sembahyang”. (HR.Abu Daud).
Binatang
yang dapat mengingatkan manusia untuk sholat shubuh yaitu berkokoknya
ayam jago pada waktu fajar telah tiba itu tidak boleh kita maki/cela,
bagaimana dengan orang yang suka mencela, mensesatkan saudaranya yang
mengadakan majlis dzikir (peringatan maulidin nabi, pembacaan
Istighotsah dan sebagainya) yang disana selalu didengungkan
kalimat-kalimat ilahi, sholawat pada Nabi saw.. serta pujian-pujian pada
Allah swt. dan Rasul-Nya yang semuanya ini tidak lain bertujuan untuk
mengingatkan serta mendekatkan diri pada Allah swt. agar menjadi hamba
yang mencintai dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya? Pikirkanlah !
Hadits riwayat Bukhori, Muslim dari Abu Hurairah ra telah mendengar Rasulallah saw. bersabda :
وَعَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ (ر) أنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ.صَ.
يَقُوْلُ: أِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ
فِيْهَا يَزِلُّ بِهَا أِلَى النَّارِ اَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ المَشْرِقِ
وَالمَغْرِبِ (رواه البخاري ومسلم)
Memahami
hadits ini kita disuruh hati-hati untuk berbicara, karena sepatah kata
yang tidak kita perhatikan bisa menjerumuskan kedalam api neraka. Nah
kita tanyakan lagi, bagaimana halnya dengan seseorang yang sering
mensesatkan golongan muslimin yang selalu mengadakan majlis dzikir,
peringatan-peringatan agama yang didalam majlis-majlis tersebut selalu
dikumandangkan tasbih, tahmid, sholawat pada Nabi saw. dan lain
sebagainya ? Pikirkanlah !
Didalam surat An-Nisaa [4]: 94 artinya; “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang)
di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada
orang yang mengucapkan ‘salam’ kepadamu ‘Kamu bukan seorang mukmin’ (lalu kamu membunuhnya).. sampai akhir ayat.”
Lihat
ayat ini dalam waktu perang pun kita tidak boleh menuduh atau
mengucapkan pada orang yang memberi salam (dimaksud juga orang yang
mengucapkan Lailaaha illallah) sebagai bukan orang mukmin sehingga kita
membunuhnya.
Masih
banyak riwayat yang melarang orang mencela, mengkafirkan sesama
muslimin yang tidak dikemukakan disini. Jelas buat kita dengan adanya
ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulallah saw. diatas, kita bisa
bandingkan sendiri bagaimana tercelanya orang yang suka menuduh sesat,
kafir, syirik terhadap sesama musliminnya yang senang melakukan
amalan-amalan kebaikan (diantaranya dzikir bersama, tahlilan,
memperingati hari lahir Nabi saw. dan sebagainya) disebabkan mereka
tidak sefaham atau sependapat dengan orang ini ? Begitu juga orang yang
mencela, mensesatkan satu madzhab karena tidak sepaham dengan
madzhabnya.
Sebab
tuduhan ini sangat berbahaya. Nabi saw. menyuruh agar kita harus
berhati-hati dan tidak sembarangan untuk berbicara, yang mana ucapan itu
bisa mengantarkan kita keneraka. Malah perintah Allah swt. (dalam surat
Toha ayat 43-44) kepada Nabi Musa dan Harun -‘alaihimassalam- agar
mereka pergi keraja Fir’aun yang sudah jelas kafir dan melampaui batas
untuk mengucapkan kata-kata yang lunak/halus terhadapnya, barangkali
dia (Fir’aun) bisa sadar/ingat kembali dan takut pada Allah swt. Untuk
orang kafir (Fir’aun) saja harus berkata halus apalagi sesama muslim.
Wallahu a’lam.
Buku dihadapan para pembaca ini menjawab seputar masalah Bid’ah (masalah baru), Tawassul, Tabarruk
dan sebagainya yang penulis kutip dan kumpulkan bagian-bagian yang
penting saja dari keterangan dan tulisan para ulama. Insya Allah akan
lebih jelas bagi kita untuk bisa membedakan bid’ah dholalah yang dilarang dan bid’ah hasanah yang dianjurkan agama.
Sebagian besar isi buku ini saya kutip dan kumpulkan dari kitab-kitab: Keagungan
Rasulallah saw. dan Keutamaan Ahlul Bait oleh Almarhum H.M.H.Al-Hamid
Al-Husaini ; Keutamaan Keluarga Rasulallah saw. oleh Almarhum
K.H.Abdullah bin Nuh ; Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah oleh
Almarhum H.M.H Al-Hamid Al-Husaini; Argumentasi Ulama Syafi’iyah oleh
Ustadz H.Mujiburrahman, Kitab -Asbabun Nuzul dan Hadits Pilihan-
sebagai penyusunnya saudara Syamsuri Rifa’i dan Ahmad Muhajir ; dari
Kitab Fiqih Sunnah oleh Sayyid Sabiq; dari Kitab Riyadhus Sholihin;
Kitab At-Taj Al-Jaami’ Lil Ushuuli Fii Ahaadititsir Rasuuli oleh Syeikh
Manshur Ali Nashif Al-Husaini; dari website Abusalafy.wordpress.com dan website-website lainnya.
Semoga
dengan hadirnya buku ini menjadikan kita memahami dan tidak ikut
mensesatkan atau mengkafirkan kaum muslimin yang menghadiri majlis
majlis dzikir atau mengikuti madzhab yang lain dari madzhabnya sehingga
mewujudkan kesatuan dan persatuan antar umat Islam yang sudah terpecah
belah. Insya Allah semuanya ini bisa membuka hati kita untuk menyelidiki
dan berpikir apakah benar amalan-amalan tersebut sebagai bid’ah
dholalah/rekayasa sesat ?
Hanya
kepada Allah swt. penulis memohon agar manfaat buku ini bisa tersebar
dan dicatat oleh-Nya sebagai amalan yang ikhlas untuk yang Maha Mulia,
menjadi penyebab keridhaan-Nya serta mendekatkan kita kepada-Nya kelak
di Surga, demi kebenaran (bi haqqi) Rasul-Nya junjungan kita Nabi besar
Muhammad saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar