Di antara perbedaan akidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah dengan Salafi-
Wahabi adalah tentang konsep keberadaan Allah SWT itu tanpa tempat atau
bertempat. Ahlussunnah Wal-Jama’ah meyakini bahwa Allah ada tanpa tempat
Sedangkan Salafi-Wahabi meyakini Allah bertempat di arasy. Di antara
dasar yang digunakan oleh Salafi-Wahabi dalam meyakini Allah bertempat
di ‘arasy adalah beberapa ayat mutasyabihat dalam alQur’an yang
menjelaskan Allah ber-istiwa’ pada ‘arasy, dimana mereka mengartikannya
secara literal, dengan arti bersemayam Ahlussunnah Wal-Jama’ah
menafsirkan istiua’ tersebut dengan dua pendekatan. Pertama, pendekatan
tafwidh yaitu menyerahkan makna yang sesungguhnya kepada Allah.
Pendekatan ini diambil oleh mayoritas ulama Salaf. Kedua, pendekatan
ta’wil, yaitu mengartikan istiwa’ Allah dengan makna yang dapat
dibenarkan secara bahasa, misalnya bermakna menguasai Pendekatan ini
diambil oleh mayoritas ulama khalaf.
Penafsiran Salafi-Wahabi terhadap istawa dalam al-Qur’an dengan
arti bersemayam dan bertempat, tidak memiliki dasar yang kuat, baik
secara syar’i maupun secara logika. Al-Imam al-Baihaqi meriwayatkan
dalam al-Asma’ wa al-Shifat, melalui jalur sanad yang sangat lemah,
bahwa Ibnu Abbas RA menafsirkan ayat istawa dengan bersemayam. Tetapi
kemudian al-Baihaqi menjelaskan bahwa riwayat tersebut munkar atau
dusta, karena diriwayatkan melalui beberapa perawi yang tidak dapat
dijadikan hujjah dan pendusta. Selanjutnya Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya
Ijtima’ al-Juyusy al-lslamiyyah, kitab yang ditulis untuk menghimpun
pernyataan para ulama yang mendukung akidah kaum ghulat alhanabilah,
mengutip penafsiran Ibnu Abbas tersebut dari al-Baihaqi dalam al-Asma’
wa al-Shifat. Hanya saja, Ibnu al-Qayyim membuang penjelasan al-Baihaqi,
bahwa riwayat tersebut munkar alias dusta dan palsu.
Keterangan dalam scan di atas:
(1) Ibnu al-Qayyim dalam kitab Ijtima’ al- Juyusy al-lslamiyyah
halaman 249, mengutip penafsiran Ibnu Abbas terhadap istawa dengan
bersamayam, dari al-Baihaqi, tetapi membuang penjelasan al- Baihaqi
bahwa riwayat tersebut dusta dan palsu.
(2) Al-Baihaqi dalam kitab al-Asma” wa al-Shifat, halaman 383-384,
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yang menafsirkan istawa dengan istaqarra
(bersemayam).
(3) Lalu al-Baihaqi menjelaskan bahwa riwayat dari Ibnu Abbas
tersebut dusta, di dalam sanadnya terdapat Abu Shalih al-Kalbi dan
Muhammad bin Marwari al-Suddi, dua perawi yang pendusta.
M. Idrus Ramli
Bekal Pembela Ahlussunnah Wal-Jama’ah Menghadapi Radikalisme Salafi-Wahabi , hal. 65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar