MAULID DAN KEKONYOLAN MUFTI WAHABI WAHABI
OLEH : UST IDRUS RAMLI
OLEH : UST IDRUS RAMLI
Wahabi: “Berapa kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum merayakan maulid?”
Sunni: “Kalau merayakan maulid dengan
berpuasa, maka telah menjadi sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,
dan tidak bisa dihitung berapa kali. Tapi kalau maksudnya merayakan
maulid dengan acara yang kami lakukan memang tidak pernah.”
Wahabi: “Kalau tidak pernah merayakan
maulid seperti yang kalian rayakan mengapa kalian tidak cukup berpuasa
saja, tanpa perayaan yang beliau tidak pernah mencontohkan?”
Sunni: “Pertanyaan Anda justru sejak
awal salah dan tidak ilmiah. Sehingga akhirnya Anda mengeluarkan
keputusan hukum yang salah pula. Pertanyaan awam Anda yang selalu
diulang-ulang kepada kaum awam adalah:
Berapa kali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merayakan maulid?
Berapa kali Khalifah Abu Bakar merayakan maulid?
Berapa kali Khalifah Umar merayakan maulid? Dan seterusnya.
Inilah rangkaian dari banyak pertanyaan Anda yang bodoh dan disebarkan kepada kaum Muslimin untuk membodohi mereka dengan kedok kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah.”
Berapa kali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merayakan maulid?
Berapa kali Khalifah Abu Bakar merayakan maulid?
Berapa kali Khalifah Umar merayakan maulid? Dan seterusnya.
Inilah rangkaian dari banyak pertanyaan Anda yang bodoh dan disebarkan kepada kaum Muslimin untuk membodohi mereka dengan kedok kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah.”
Wahabi: “Kok bisa, pertanyaan-pertanyaan kami dianggap salah dan suatu kebodohan?”
Sunni: “Dalam teori ilmu ushul fiqih,
seorang penuntut/penggugat (mu’taridh) tidak boleh menanyakan dalil
khusus kepada mustadil (ulama yang berdalil), misalnya harus dalil dari
al-Qur’an dan hadits secara nash (tekstual). Tuntutan semacam ini adalah
kebodohan. Karena di dalam agama, dalil itu ada banyak macamnya.
Dalil-dalil yang disepakati oleh seluruh ulama ada empat; al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Sementara dalil-dalil yang masih
diperselisihkan masih banyak lagi, seperti mashalih mursalah, saddu
al-dzari’ah, istihsan, ‘amal ahl al-madinah, fatwa shahabi, dan
lain-lain. Nah, karena dalil dalam pengambilan hukum tidak hanya
terbatas pada al-Qur’an dan Sunnah, tetapi juga mencakup terhadap Ijma’
dan Qiyas, maka ketika seorang ulama menjawab suatu persoalan hukum
dengan dalil Ijma’ dan Qiyas, jawabannya dapat diterima dan harus
dihargai.”
Wahabi: “Mana dalilnya, bahwa fatwa ulama yang tidak berdasarkan nash al-Qur’an dan Sunnah harus diterima?”
Sunni: “Fatwa ulama yang tidak
berdasarkan nash al-Qur’an dan Sunnah harus diterima apabila memiliki
dalil yang lain, seperti Ijma’ dan Qiyas, atau selain Ijma’ dan Qiyas
menurut ulama yang mengakuinya. Ini yang disebut dengan proses ijtihad
atau istinbath. Hal tersebut sesuai dengan hadits-hadits berikut ini:
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رضي الله عنه
أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ إِذَا حَكَمَ
الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ
فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ. رواه البخاري (6805).
“Apabila seorang hakim melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala. Dan apabila melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya keliru, maka ia memperoleh satu pahala.” (Al-Bukhari [6805]).
“Apabila seorang hakim melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala. Dan apabila melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya keliru, maka ia memperoleh satu pahala.” (Al-Bukhari [6805]).
Dalam hadits di atas, jelas sekali
keutamaan ulama yang mengeluarkan hukum berdasarkan ijtihad, ketika
tidak ada nash dalam al-Qur’an dan hadits, apabila hasil ijtihadnya
benar, maka mendapatkan dua pahala, dan jika salah maka mendapatkan satu
pahala.
Dalam hadits yang sangat populer juga disebutkan:
عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصَ مِنْ
أَصْحَابِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ
-صلى الله عليه وسلم- لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى
الْيَمَنِ قَالَ « كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ». قَالَ
أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ ».
قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ « فَإِنْ
لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلاَ فِى
كِتَابِ اللهِ ». قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِى وَلاَ آلُو. فَضَرَبَ رَسُولُ
اللهِ -صلى الله عليه وسلم- صَدْرَهُ وَقَالَ « الْحَمْدُ للهِ الَّذِى
وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللهِ ». رواه أبو
داود والترمذي وأحمد
Dari beberapa orang penduduk Himash dari
kalangan sahabat Mu’adz bin Jabal, bahwa ketika Rasulullah shallallahu
’alaihi wasallam hendak mengutus Mu’adz ke Yaman (sebagai Qadhi), beliau
bersabda: ”Bagaimana cara kamu memutuskan hukum, apabila menghadapi
suatu persoalan?” Mu’adz menjawab: ”Aku akan memutuskan berdasarkan
Kitabullah.” Beliau bertnya: ”Apabila kamu tidak menemukan keputusan
dalam Kitabullah? ” Mu’adz menjawab: ”Berdasarkan Sunnah Rasulullah
shallallahu ’alaihi wasallam.” Beliau bertanya: ”Apabila kamu tidak
menemukan dalam Sunnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dan tidak
menemukan pula dalam Kitabullah?” Mu’adz menjawab: ”Aku berijtihad
dengan pendapatku secara sungguh-sungguh”. Lalu Rasulullah shallallahu
’alaihi wasallam memukul dada Mu’adz seraya bersabda: ”Segala puji bagi
Allah yang telah memberikan pertolongan kepada utusan Rasulullah pada
apa yang diridhai oleh Allah.” (HR. Al-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).
Perhatikan dalam hadits di atas,
bagaimana Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam mendidik umatnya,
ketika menghadapi persoalan yang tidak terdapat nash dalam al-Qur’an dan
hadits, agar melakukan ijtihad, dan hal itu termasuk diridhai oleh
Allah. Dalam hadits di atas, ketika Mu’adz bin Jabal ditanya tentang
persoalan yang tidak ada nash dalam al-Qur’an dan hadits, beliau tidak
menjawab, aku akan menghukumi bid’ah kepada persoalan tersebut, karena
setiap bid’ah itu sesat dan masuk neraka. Tetapi Mu’adz akan berijtihad
dengan sungguh-sungguh. Semua hukum tidak bisa didalili dengan hadits
kullu bid’atin dholalah.
Dalam hadits lain, juga diriwayatkan:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ
رَجُلٌ مِنْ الأَنْصَارِ يَؤُمُّهُمْ فِي مَسْجِدِ قُبَاءٍ وَكَانَ
كُلَّمَا افْتَتَحَ سُورَةً يَقْرَأُ بِهَا لَهُمْ فِي الصَّلاةِ مِمَّا
يُقْرَأُ بِهِ افْتَتَحَ بِقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهَا
ثُمَّ يَقْرَأُ سُورَةً أُخْرَى مَعَهَا وَكَانَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي
كُلِّ رَكْعَةٍ فَكَلَّمَهُ أَصْحَابُهُ فَقَالُوا إِنَّكَ تَفْتَتِحُ
بِهَذِهِ السُّورَةِ ثُمَّ لا تَرَى أَنَّهَا تُجْزِئُكَ حَتَّى تَقْرَأَ
بِأُخْرَى فَإِمَّا تَقْرَأُ بِهَا وَإِمَّا أَنْ تَدَعَهَا وَتَقْرَأَ
بِأُخْرَى فَقَالَ مَا أَنَا بِتَارِكِهَا إِنْ أَحْبَبْتُمْ أَنْ
أَؤُمَّكُمْ بِذَلِكَ فَعَلْتُ وَإِنْ كَرِهْتُمْ تَرَكْتُكُمْ وَكَانُوا
يَرَوْنَ أَنَّهُ مِنْ أَفْضَلِهِمْ وَكَرِهُوا أَنْ يَؤُمَّهُمْ غَيْرُهُ
فَلَمَّا أَتَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَخْبَرُوهُ الْخَبَرَ فَقَالَ يَا فُلانُ مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَفْعَلَ
مَا يَأْمُرُكَ بِهِ أَصْحَابُكَ وَمَا يَحْمِلُكَ عَلَى لُزُومِ هَذِهِ
السُّورَةِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَقَالَ إِنِّي أُحِبُّهَا فَقَالَ حُبُّكَ
إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ الْجَنَّةَ. (رواه البخاري).
“Dari Anas radhiyallahu ‘anhu: “Seorang
laki-laki dari kaum Anshar selalu menjadi imam mereka di Masjid Quba’.
Kebiasaannya, setiap ia akan memulai membaca surat dalam shalat selaku
imam mereka, ia akan mendahului dengan membaca surah Qul Huwallaahu ahad
sampai selesai, kemudian membaca surah yang lain bersamanya. Dan ia
melakukan hal itu dalam setiap raka’at. Lalu para jamaahnya menegurnya
dan berkata: “Anda selalu memulai dengan surah (al-Ikhlash) ini,
kemudian Anda merasa tidak cukup sehingga membaca surah yang lain pula.
Sebaiknya Anda membaca surah ini saja, atau Anda tinggalkan dan membaca
surah yang lain saja.” Laki-laki itu menjawab: “Aku tidak akan
meninggalkan surah al-Ikhlash ini dalam setiap raka’at jika kalian
senang aku menjadi imam kalian, aku tetap begitu. Jika kalian keberatan,
akan berhenti menjadi imam kalian.” Sementara para jamaah memandang
laki-laki itu orang yang paling utama di antara mereka. Mereka juga
tidak mau jika selain laki-laki itu yang menjadi imam shalat mereka.
Maka ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepada mereka,
mereka pun menceritakan perihal imam tersebut. Lalu beliau bertanya
kepada laki-laki itu: “Wahai fulan, apa yang menghalangimu untuk
melakukan apa yang diperintahkan oleh sahabat-sahabatmu dan apabula yang
mendorongmu membaca surat al-Ikhlash ini secara terus menerus dalam
setiap raka’at?” Ia menjawab: “Aku sangat mencintainya.” Beliau
bersabda: “Cintamu pada surah ini akan mengantarmu masuk surga.” (HR.
al-Bukhari).
Perhatikan hadits di atas, seorang
laki-laki yang menjadi imam kaum Anshar di Masjid Quba’, memiliki
kebiasaan yang berbeda dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
yaitu membaca surah al-Ikhlash dalam setiap raka’at shalatnya ketika
menjadi imam, sebelum membaca surah yang lain. Ketika hal tersebut
dilaporkan kaumnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
beliau justru bertanya, apa dasarnya membuat kebiasaan yang berbeda
dengan orang kebanyakan itu. Lalu laki-laki tersebut menjawab, dasarnya
karena sangat mencintai surah al-Ikhlash. Atas dasar inilah, laki-laki
tersebut berijtihad untuk membaca surah al-Ikhlash dalam setiap raka’at.
Dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar alasannya,
beliau justru memberinya kabar gembira, bahwa ia akan masuk surga
karenanya. Coba Anda perhatikan, ketika laki-laki tersebut mempunyai
kebiasaan dalam shalat yang berbeda dengan sunnah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak langsung menegurnya dengan berkata:
“kullu bid’atin dholalah, wa kullu dholalatin finnar.” Karena hadits ini
tidak bisa diapakai untuk semua persoalan yang tidak ada nash nya dalam
al-Qur’an dan hadits. Dalam persoalan-persoalan yang tidak ada nashnya
dalam al-Qur’an dan hadits, masih banyak ruang untuk berijtihad, dan
tidak berdasarkan hadits kullu bid’atin dholalah.
Dalam hadits lain juga diriwayatkan:
عن ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَصَلَّيْتُ خَلْفَهُ فَأَخَذَ بِيَدِي فَجَرَّنِي فَجَعَلَنِي حِذَاءَهُ فَلَمَّا أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى صَلاتِهِ خَنَسْتُ فَصَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ لِي مَا شَأْنِي أَجْعَلُكَ حِذَائِي فَتَخْنِسُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَوَيَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يُصَلِّيَ حِذَاءَكَ وَأَنْتَ رَسُولُ اللهِ الَّذِي أَعْطَاكَ اللهُ قَالَ فَأَعْجَبْتُهُ فَدَعَا اللهَ لِي أَنْ يَزِيدَنِي عِلْمًا وَفَهْمًا. رواه أحمد وابو يعلى وصححه الحاكم.
عن ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَصَلَّيْتُ خَلْفَهُ فَأَخَذَ بِيَدِي فَجَرَّنِي فَجَعَلَنِي حِذَاءَهُ فَلَمَّا أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى صَلاتِهِ خَنَسْتُ فَصَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ لِي مَا شَأْنِي أَجْعَلُكَ حِذَائِي فَتَخْنِسُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَوَيَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يُصَلِّيَ حِذَاءَكَ وَأَنْتَ رَسُولُ اللهِ الَّذِي أَعْطَاكَ اللهُ قَالَ فَأَعْجَبْتُهُ فَدَعَا اللهَ لِي أَنْ يَزِيدَنِي عِلْمًا وَفَهْمًا. رواه أحمد وابو يعلى وصححه الحاكم.
Ibnu Abbas berkata: “Aku mendatangi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada akhir malam, lalu aku
shalat (bermakmum) di belakang beliau. Lalu beliau mengambil tanganku,
menarikku, hingga menjadikanku lurus dengan beliau. Setelah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam konsentrasi pada shalatnya, aku mundur.
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat. Ketika beliau
selesai, beliau bertanya: “Kenapa diriku? Aku luruskan kamu denganku,
kok malah mundur.” Aku menjawab: “Wahai Rasulullah, apakah pantas bagi
seseorang menunaikan shalat, berdiri lurus dengan engkau, sedangkan
engkau adalah Rasulullah yang telah diberi anugerah oleh Allah.” Lalu
beliau kagum dengan jawabanku. Lalu beliau berdoa kepada Allah agar
menambah ilmu dan kecerdasanku.” (HR. Ahmad dan Abu Ya’la. Dan al-Hakim
menilainya shahih).
Perhatikan dalam hadits di atas,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meluruskan shaf Ibnu Abbas
dengan beliau, karena menjadi makmum sendirian, tanpa bersama jamaah
lain. Tapi kemudian Ibnu Abbas mundur lagi. Setelah selesai shalat,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, justru bertanya, apa dasar Ibnu
Abbas tidak mau lurus dengan beliau dan justru mundur? Setelah Ibnu
Abbas menjawab, bahwa dasar beliau mundur, adalah karena merasa tidak
pantas jika harus lurus dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
yang derajatnya sangat agung, beliau justru mengagumi dasar tersebut dan
mendoakannya agar bertambah alim dan cerdas. Dalam kejadian tersebut,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak langsung marah kepada Ibnu
Abbas dan tidak pula berkata kullu bid’atin dholalah wa kullu
dholalatin finnar. Tetapi masih menanyakan dasarnya apa? Hadits kullu
bid’atin dholalah, tidak bisa dijadikan dalil setiap persoalan hukum
yang tidak ada nash nya dalam al-Qur’an dan hadits. Setiap persoalan ada
dalilnya sendiri-sendiri.
Inilah sebagian dalil yang membuktikan
kesalahan pertanyaan-pertanyaan kaum Wahabi di atas.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu, tidak ilmiah. Hukum perayaan maulid
telah difatwakan oleh para ulama besar, ratusan tahun sebelum lahirnya
aliran Wahabi. Ketika perayaan maulid ditanyakan hukumnya kepada para
ulama ahli hadits, mereka justru berpendapat positif dan menganjurkan
untuk melakukannya. Mereka antara lain al-Hafizh Ibnu Dihyah al-Kalbi,
al-Hafizh Ibnu al-Jauzi, al-Hafizh Ibnu Katsir, al-Hafizh al-’Iraqi,
al-Hafizh Ibnu Nashiruddin al-Dimasyqi, al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Hafizh
al-Sakhawi, al-Hafizh al-Suyuthi dan lain-lain. Mereka semuanya ahli
hadits, dan hafal di luar kepala hadits kullu bid’atin dholalah.
Wahabi: ”Terus kalau memang acara maulid ada dalilnya, apa saja dalilnya?”
Sunni: ”Dalilnya banyak sekali. Antara lain:
Dalil pertama) Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. al-Anbiya’ : 107)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
إِنَّمَا أَنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ. صححه الحاكم (1/91) ووافقه الحافظ الذهبي.
“Aku hanyalah rahmat yang dihadiahkan”. (Hadits sahih menurut al-Hakim (1/91) dan al-Hafizh al-Dzahabi.
Dengan demikian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam adalah al-rahmat al-‘uzhma (rahmat yang paling agung)
bagi umat manusia. Sedangkan Allah subhanahu wata’ala telah merestui
kita untuk merayakan lahirnya rahmat itu. Dalam hal ini Allah subhanahu
wata’ala berfirman:
قل بفضل الله وبرحمته فبذلك فليفرحوا
“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira”. (QS. Yunus : 58).
Ibn Abbas menafsirkan ayat ini dengan, “Dengan karunia Allah (yaitu ilmu) dan rahmat-Nya (yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam), hendaklah dengan itu mereka bergembira”. (Al-Hafizh al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, 2/308).
Dengan demikian merayakan maulid, berarti mengamalkan dalil-dalil di atas.
Ibn Abbas menafsirkan ayat ini dengan, “Dengan karunia Allah (yaitu ilmu) dan rahmat-Nya (yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam), hendaklah dengan itu mereka bergembira”. (Al-Hafizh al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, 2/308).
Dengan demikian merayakan maulid, berarti mengamalkan dalil-dalil di atas.
Dalil Kedua) Allah subhanahu wata’ala juga berfirman:
وكلا نقص عليك من أنباء الرسل ما نثبت به فؤادك
“Dan semua kisah dari rasul-rasul kami
ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan
hatimu.” (QS. Hud : 120).
Ayat ini menegaskan bahwa penyajian
kisah-kisah para rasul dalam al-Qur’an adalah untuk meneguhkan hati Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan tentu saja kita yang dha’if dewasa
ini lebih membutuhkan peneguhan hati dari beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam, melalui penyajian sirah dan biografi beliau shallallahu
‘alaihi wasallam. Dalam perayaan maulid, bukankah membacakan dan
menguraikan sirah beliau?
Dalil Ketiga) Sisi lain dari perayaan
maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, mendorong kita untuk
memperbanyak shalawat dan salam kepada beliau sesuai dengan firman
Allah:
إن الله وملائكته يصلون على النبي يا أيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما
“Sesungguhnya Allah dan
malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya.” (QS. al-Ahzab : 56).
Dan sesuai dengan kaedah yang telah ditetapkan, bahwa sarana yang dapat mengantar pada anjuran agama, juga dianjurkan sebagaimana diakui oleh al-‘Utsaimin dalam al-Ibda’ (hal. 18). Sehingga perayaan maulid menjadi dianjurkan.
Dan sesuai dengan kaedah yang telah ditetapkan, bahwa sarana yang dapat mengantar pada anjuran agama, juga dianjurkan sebagaimana diakui oleh al-‘Utsaimin dalam al-Ibda’ (hal. 18). Sehingga perayaan maulid menjadi dianjurkan.
Dalil Keempat) Allah subhanahu wata’ala juga berfirman:
قال عيسى ابن مريم اللهم ربنا أنزل علينا مائدة من السماء تكون لنا عيدا لأولنا وآخرنا وآية منك وارزقنا وأنت خير الرازقين
“Isa putera Maryam berdoa: “Ya Tuhan
kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang
hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang
bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi
kekuasaan Engkau; beri rezkilah kami, dan Engkaulah pemberi rezki yang
paling Utama”. (QS. al-Ma’idah: 114).
Dalam ayat ini, ditegaskan bahwa
turunnya hidangan dianggap sebagai hari raya bagi orang-orang yang
bersama Nabi Isa ‘alaihissalam dan orang-orang yang datang sesudah
beliau di bumi agar mengekspresikan kegembiraan dengannya. Tentu saja
lahirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai al-rahmat
al-‘uzhma lebih layak kita rayakan dengan penuh suka cita dari pada
hidangan itu.”
Wahabi: ”Mengapa para ulama kami kaum wahabi tidak tahu dengan dalil-dalil di atas?”
Sunni: ”Mereka membaca al-Qur’an, tetapi
al-Qur’an tidak sampai melewati kerongkongan mereka, al-Qur’an sebatas
sampai di mulut, tidak meresap di hati mereka. Hati mereka buta.
Sebagaimana diterangkan dalam hadits-hadits shahih, tentang ciri-ciri
kaum Khawarij. Anda tahu bahwa mufti wahabi meskipun membid’ahkan dan
mensyirikkan perayaan maulid dan mengenang biografi Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, mereka justru mewajibkan mengenang perjalanan hidup
dan perjuangan pendiri Wahabi, Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi.”
Wahabi: ”Ah masak begitu.”
Sunni: ”Silahkan Anda buka, Majmu’
Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, buku himpunan fatwa mufti wahabi yang
tunanetra, Syaikh Ibnu Baz, pada juz 1 halaman 178, beliau mengharamkan
dan membid’ahsesatkan perayaan maulid. Tapi pada juz 1 halaman 382, dia
berkomentar tentang acara tahunan wahabi yang berjudul Usbu’ al-Syaikh
Muhammad bin Abdil Wahhab (sepekan kewajiban mengenang dan menghayati
sejarah perjalanan hidup dan jihad Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab),
dia mewajibkan. Dia berkata:
كلمة في أسبوع الشيخ محمد بن عبد الوهاب رحمه الله
أيها الإخوة الكرام, إن الاجتماع لدراسة مذهب السلف الصالح ومنه دعوة الشيخ محمد بن عبد الوهاب , وتعريف الناس بها, … أمر واجب ومن أعظم القرب إلى الله; لأنه تعاون على الخير, وتشاور في المعروف, وبحث للوصول إلى الأفضل, (الشيخ ابن باز، مجموع فتاوى ومقالات متنوعة، ج 1 ص 382).
أيها الإخوة الكرام, إن الاجتماع لدراسة مذهب السلف الصالح ومنه دعوة الشيخ محمد بن عبد الوهاب , وتعريف الناس بها, … أمر واجب ومن أعظم القرب إلى الله; لأنه تعاون على الخير, وتشاور في المعروف, وبحث للوصول إلى الأفضل, (الشيخ ابن باز، مجموع فتاوى ومقالات متنوعة، ج 1 ص 382).
Prakata Tentang Sepekan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Saudara-saudara yang mulia. Sesungguhnya berkumpul untuk mempelajari madzhab salaf yang saleh, antara lain mempelajari dakwahnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan mengenalkannya kepada masyarakat … adalah perkara yang wajib dan termasuk ibadah sunnah yang paling agung kepada Allah, karena sesungguhnya hal itu tolong menolong atas kebaikan, tukar pikiran dalam kebaikan dan kajian untuk mencapai pada yang lebih utama.” (Ibn Baz, Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 1 hlm 382).
Saudara-saudara yang mulia. Sesungguhnya berkumpul untuk mempelajari madzhab salaf yang saleh, antara lain mempelajari dakwahnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan mengenalkannya kepada masyarakat … adalah perkara yang wajib dan termasuk ibadah sunnah yang paling agung kepada Allah, karena sesungguhnya hal itu tolong menolong atas kebaikan, tukar pikiran dalam kebaikan dan kajian untuk mencapai pada yang lebih utama.” (Ibn Baz, Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 1 hlm 382).
Coba perhatikan fatwa di atas, berkumpul
untuk mempelajari perjalanan hidup dan dakwah pendiri wahabi termasuk
wajib dan ibadah yang paling agung. Mengapa memperingati kelahiran Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam malah bid’ah dan haram. Alangkah konyolnya
mufti wahabi tersebut dalam berfatwa.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar